Ada kolom pojok di Harian Kompas, sederhana hanya terdiri dari beberapa kalimat saja. Kadang tak dicari, tapi juga kadang sayang jika dilewatkan. Usai membacanya sering senyum-senyum sendiri. Senyum kecut atau malah tertawa lebar tergantung kadar bagaimana mencermati sebuah keusilan. Itulah dia, kolom Mang Usil, kolom yang konon hadir sejak pertama harian tersebut terbit di pertengahan 1965.
Formatnya sederhana: sebuah peristiwa, kemudian diberi komentar. Peristiwa bisa berlatar belakang apa saja dan dikomentari sebagai sindiran, kritikan, pujian, ajakan, harapan, atau keluhan. Singkat tapi gaya bahasanya tergantung siapa yang menggawanginya. Ia mirip editorial dan tajuk rencana, tetapi ia tak mengumbar kata dan rangkaian kalimat. Ia mirip karikatur, tapi tak berupa gambar.
Jauh sebelum Kompas lahir, kolom pojok semacam itu sudah dikenal sejak jurnalistik jaman kolonial. Bintang Hindia (1922) mempunyai kolom bernama “suara pers”. Bintang Timur (1926) punya kolom “tjabe rawit”. Sebelum perang dunia kedua, wartawan Saerun mengasuh pojok bernama “kampret”, sedangkan Parada Harahap (Tjahaja Timoer) menulis dengan nama “Baron Maturaipek”. Di jaman pendudukan Jepang, harian Asia Raya punya “Mas Cloboth” dan “Bang Bedjat”. (Nama yang terakhir ini mengingatkan saya pada sang kawan, yang punya nickname Hang Bejat: sudah jadi belum novelnya?)
Begitulah, kolom pojok terus menghiasi pers Indonesia. Dan kini rasanya siapa saja masyarakat Indonesia bisa menjadi penulis kolom pojok. Tak perlu mengirimkan surat pembaca tetapi cukup melalui media sosialnya. Sebuah peristiwa, kemudian dikomentari untuk mengkritisi, memuji, memperolok dan mengeluh. Sinis dan sarkas hanya tergantung kepada gaya masing-masing yang menuliskan.
Termasuk yang beberapa hari jelang Idul Fitri 1439H kali ini. Sebuah peristiwa yang mentradisi di Indonesia, mudik kemudian banyak dikomentari. Ada yang aneh dengan mudik kali ini? Yang berbeda sih ada beberapa. Pertama, rentang liburan yang lumayan panjang. Mestinya libur resmi jatuh tanggal 15-16 (Juni), jadi bergeser maju menjadi 13, kemudian bergeser lagi menjadi tanggal 11. Karena 11 jatuh hari Senin, jadilah pemudik bisa start jalan sejak tanggal 8. Kedua, jalan tol yang membentang di Pulau Jawa sudah saling terkoneksi dan bisa dioperasikan mesti beberapa masih berstatus fungsional (bisa baca di sini).
Peristiwa itu kemudian dikomentari. Mirip format kolom pojok. Ada peristiwa, ada komentar. Ada yang netral, ada yang kritikan, serta ada yang pujian. Tetapi ada juga yang usil. Bagi kaum usil, peristiwa mudik via tol sepanjang pulau Jawa dipergunakan sebagai momen untuk memperolok sebagian yang lain. Usil yang tak kepalang. Malah dibuatkan di spanduk (bisa baca di sini). Nah, alih-alih hanya tersenyum kecut atau tertawa ngakak, eh, yang diusilin juga jadi tersulut sumbunya dan ingin membalas. Mirip kolom pojok jaman pers era 1950-an. Kolom pojok saling berbalas satu sama lain.
Saya mah, cuma tertawa di pojokan melihat mereka yang menebar usil berbalas-balasan kelucuan. Lha bagaimana tidak, dari Jokowi hingga Daendels jadi ikut terbawa-bawa.
Selamat bermudik, pembaca blog yang budiman! Semoga selamat sampai tujuan. Selamat berkumpul kembali bersama keluarga, sanak dan kerabat. Jangan lupa tertawa! Hehehe.
[kkpp, 11.06.2018]