Because, a place doesn’t make home. Then, people do.
Rumah bukan hanya bangunan tempat kita pulang, tapi rumah adalah tempat kita menepi dari keriuhrendahan kesibukan. Rumah adalah tempat untuk melupakan sejenak kesumpekan aktifitas di luaran yang seakan dementor yang mencecap kebahagiaan. Rumah adalah colokan listrik tempat kita men-charge kembali energi yang telah habis tergadaikan berbagai kegiatan di luaran.
Menjadikan suatu tempat menjadi rumah tentunya bukan karena tempatnya itu sendiri. Suasana serta orang-oranglah yang menjadi faktor penentunya. Berbahagialah dulur-dulur BIGREDS Surabaya telah mendapatkan rumah selama satu dekade terakhir. Rumah itu adalah De Javu Cafe & Eatery. Tempat berkumpul, ngobrol ngalor ngidul tentang bursa transfer, membahas game yang sudah atau yang akan dipertandingkan, tentang pergerakan klasemen, tentang apa saja yang sedang trending, membunuh waktu dengan main game, guyonan memel … dan tentu saja untuk (ritual) nonton bareng Liverpool FC. Setiap kali ke sana, saya selalu feeling homey. Mirip seperti ketika zaman kuliah dulu kalau ke kantin pusat ITS. Feeling homey. Selalu menyenangkan bertemu wajah-wajah lama yang telah akrab sebelumnya serta juga menggembirakan ada kesempatan bertemu wajah-wajah baru yang berkenalan dengan hangat. Sebuah ruang yang nyaman untuk obrolan random layaknya sebuah rumah.
Tiap ke De Javu bagi saya, selalu ada satu wajah yang selalu saya cari. Senyum lebar dan sapaan –sehat cak?– tak bisa dilepaskan dari Jimbon, sang pemilik dari De Javu. Kalau belum terlihat, maka belum afdol jika saya tak bertanya “Jimbon endi?” ke sekitar, entah ke teman-teman yang lebih dulu datang atau ke teman-teman garda depan di sana. Pertanyaan itu seolah menjadi pertanyaan standar saya tiap ke De Javu, sejak di jalan Wijaya Kusuma, Pucang dan kini di Ngagel Jaya Selatan, pertanyaan saya tetap sama. Sayangnya kini saya tak bisa lagi bertanya seperti itu lagi. Jimbon telah berpulang ke Rahmatullah setelah usai berbuka puasa Ramadan (6/4) terkena serangan jantung hingga harus dilarikan ke RS Haji Surabaya untuk mendapatkan pertolongan. Jimbon nama panggilan dari Ferdian Rahmanto, meninggalkan sang istri, serta sang anak Bianca dan Xavi, juga keluarga besar De Javu, Bigreds Surabaya, Devadata di hari ke-54 jelang usianya ke-45.
Berita yang mengagetkan tentu saja, karena kematian memang rahasia terbesarNya.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun. Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.
Sepertinya baru kemarin Jimbon dan BIGREDS Surabaya dipamiti Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste, Mr. Moazzam Malik saat beliau menyelesaikan penugasannya di Indonesia (14/6/2019).

Sepertinya baru kemarin, Jimbon memfasilitasi pertemuan pertama BIGREDS Surabaya dengan Pak Duta Besar saat pertama beliau bertugas di Indonesia lima tahun sebelumnya (12/12/2014) di Tiga Tuan Kitchen & Bar, Surabaya Town Square. Mungkin karena berkesan dengan pertemuan pertama itu, maka Pak Dubes pun menyempatkan secara khusus ke rumah BIGREDS Surabaya untuk berpamitan.
Sepertinya baru kemarin, satu frame foto terakhir saya dengan almarhum saat bertemu menghadiri pernikahan Dennis awal tahun kemarin.

Sepertinya baru kemarin, ngobrol penuh optimisme pasca pandemi.
Sepertinya, baru kemarin kita-kita ngiri melihat kebahagiaan Jimbon yang dibagikan di media sosialnya, kebahagiaan Jimbon bisa bekerja kembali dengan passion-nya, kebahagiaan Jimbon bisa kembali band-band-an lagi.
Tapi koen budal dhisikan Mbon …
Oia, Mbon, sepertinya masih ada satu pertanyaanku yang selalu lupa kutanyakan padamu akan tetap tak terjawab langsung olehmu. Tentang nama De Javu bakal tersimpan terbungkus rapi.
Selamat jalan yo Mbon. Semoga ampunan dan rahmat Allah terlimpah untukmu, dan menempatkanmu di tempat terbaik di sisiNya. Semoga pula legasi dan inspirasi buat kami akan abadi.
Suwun yo Mbon, sudah menyediakan rumah buat kita semua.
Koen Gak Mlaku Ijenan! YNWA!
[kkpp, 09.04.2022]