
Nama yang saya ingat adalah Soto Ayam Pamularsih. Pertama kali ke sini dikenalkan oleh senior di kampus dulu yang macul daily di kota Semarang. Nama aslinya adalah Soto Ayam Khas Semarang Pak Man.
Baca lebih lanjutNama yang saya ingat adalah Soto Ayam Pamularsih. Pertama kali ke sini dikenalkan oleh senior di kampus dulu yang macul daily di kota Semarang. Nama aslinya adalah Soto Ayam Khas Semarang Pak Man.
Baca lebih lanjutJogjaROCKarta. Yogyakarta. Ngayogyakarta Hadiningrat. Jogja. Yogjo. Plat AB. Daerah Istimewa Yogyakarta. DIY. Keping Y di kumpulan keping A ke keping Z tentang saya (tentang keping-keping itu bisa baca di sini). Tetap saja selalu istimewa.
Baca lebih lanjutSebenarnya sih sudah sarapan spesial pagi itu. Gudeg. Tapi tawaran dari sepupu untuk mencari makan sebelum muter-muter Yogya sayang untuk dilewatkan begitu saja.
“Lotek, yuk.” Saya mengajukan rencana.
Sang sepupu masih berpikir kira-kira dimana, saya sudah punya bayangan. Lokasi gampang ditempuh dan gak terlalu menyimpang untuk rencana-rencana selanjutnya sebelum menunggu jadwal kereta kembali sore nanti (30/9). Baca lebih lanjut
Bisa dibilang tahun ini (bagi saya) adalah tahun fakir piknik. Mari kita pakai istilah yang lebih keren saja: moratorium untuk sejumlah hal, mengencangkan ikat pinggang, apalagi ya, ah iya: penurunan daya beli. Hihihi. Bahaya memang. Kata orang-orang, fakir piknik bisa mengurangi konsentrasi, nyinyir di media sosial serta terseret bahaya laten hoaxisme. Baca lebih lanjut
Layaknya tiap lebaran, perjalanan pulang ke keluarga besar adalah hal yang masih dan perlu diagendakan bagi sebagian besar rakyat negeri ini. Siapa saja kemudian mendapat berkah acara tahunan yang tiap tahunnya bergeser maju penyelenggaraannya karena mengikuti penanggalan hijriah karena bagaimanapun lebaran identik dengan Idul Fitri.
Fenomena gegap gempitanya perjalanan pulang ke keluarga besar pas momen Idul Fitri itu kita mengenalnya sebagai mudik. Baca lebih lanjut
Friggatriskaidekaphobia
Pernah dengar kata di atas? Mungkin baru pertama kali ya dengar kata itu. Sudah pertama kali, susah pula membacanya. Eh, Kata itu punya sinonim juga lho, paraskevidekatriaphobia. Nah, gak lebih mudah kan. Hihihi.
Sejak dikenalkan aplikasi waze oleh seorang kawan yang day-to-day-nya mengarungi kerasnya rimba jalanan ibukota, praktis aplikasi tersebut masih setia ter-install di handphone saya hingga hari ini, meskipun day to day jalanan keseharian saya jauh lebih bersahabat dibandingkan Jakarta.
Selamat pagi Jakarta!!
Masih ngantuk. Tadi malam (Sabtu malam (12/9) hingga Minggu dinihari) barusan nobar di Rolling Stones Cafe, jalan Ampera Raya. Baru pertama kalinya nobar di sana, di sebuah kawasan di Jakarta yang saya akrabi dua tahun belakangan ini. Kemang – Ampera Raya – Citos.
Hasilnya? Kalah. Dengan kondisi Liverpool sekarang, harapan tentang Liverpool juara masih terpelihara meski terasa muskil. Harapan selalu ada. Dari musim ke musim, sebagaimana bermusim-musim yang lalu. Dan kini, jangankan juara, menang ataupun berharap permainan cantik nan brilian adalah sebuah anugerah selama Brendan Rodgers sebagai manager LFC. Baca lebih lanjut
Minggu 28 Desember 2014. Mendung masih mewarnai Belitung di pagi itu. Saya mengendarai kendaraan sewaan dan mengantarkan adik bungsu saya ke Bandara H. AS. Hanandjoedin, 15 menit perjalanan dari kota. Ia harus balik ke Malang dengan pesawat Citilink jam 07.30, sementara saya dan keluarga masih melanjutkan liburan ke Pangkal Pinang nanti jam 10.20 menggunakan Sriwijaya Air.
Tak pernah terbesit, jika tak jauh dari situ, di kisaran jam yang sama, sebuah pesawat hilang kontak dan belum diketahui keberadaannya hingga pagi ini (29/12), hampir 24 jam kemudian. Belum ada kesibukan yang berarti di kawasan bandara kecil itu.
… patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat … ~ Soe Hok Gie
Saat membaca kutipan tersebut di awal masa menjadi mahasiswa, pernah terbesit untuk menjejak tanah air untuk mengenal Indonesia dari dekat.
Memaknai “bhineka tunggal ika” hanya bisa dilakukan dengan merasakannya pada tiap perjumpaannya. Tanpa perjumpaan dengan perbedaan, pemaknaan perbedaan hanyalah sebuah wacana yang mengawan.