Layaknya tiap lebaran, perjalanan pulang ke keluarga besar adalah hal yang masih dan perlu diagendakan bagi sebagian besar rakyat negeri ini. Siapa saja kemudian mendapat berkah acara tahunan yang tiap tahunnya bergeser maju penyelenggaraannya karena mengikuti penanggalan hijriah karena bagaimanapun lebaran identik dengan Idul Fitri.
Fenomena gegap gempitanya perjalanan pulang ke keluarga besar pas momen Idul Fitri itu kita mengenalnya sebagai mudik. Sebuah upaya kembali berlayar dan pergi ke udik, hulu sungai dan pedalaman (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisa baca di sini).
Bisa dibayangkan jika mudik adalah berlayar kembali ke hulu sungai maka bagaimana susahnya perjalanan menyongsong arus dari hulu tersebut. Tetapi seberapapun susahnya rintangan tersebut tetapi tetap saja sebagian besar dari kita menyambutnya. Maka tak heran, mudik masihlah menjadi bagian dari tradisi keindonesiaan kita. Menurut Prof. Azyumardi Azra di kolom Resonansi, Republika hari ini (29/6), lebaran telah melewati batas batas-batas ritual dan telah menjadi semacam cultural fest bagi Indonesia, yang agaknya secara pergerakan warga hanya bisa ditandingi oleh Republik Rakyat China menyambut Imlek serta di belahan dunia yang lain ada perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat.
Tahun ini, kita mungkin sudah kehilangan berita bagaimana pemudik berebut naik kereta hingga berjejalan di atap tiap gerbongnya. Kita mungkin juga sudah kehilangan berita bagaimana para pemudik berebut masuk ke bus-bus dengan meluberi berbagai terminal dan terminal bayangan. Tetapi di tahun ini meme para pemudik naik motor masih ramai ditemukan dan diperbincangkan di media sosial. (Sila mampir ke sini)
Bagaimana dengan saya? Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang biasanya pakai moda angkutan udara, dengan berbagai pertimbangan yaitu salah satunya adalah sudah lama juga tidak menyetir ke Jakarta untuk berlebaran, serta iming-iming foto pintu tol Salatiga yang sedemikian cantiknya (bisa baca di sini) dan progress tol Trans Jawa yang sekian lama jadi rencana tetapi kemudian terus digeber di pemerintahan Presiden Joko Widodo, jadilah saya bermaksud menjajal Tol Trans Jawa tersebut di edisi lebaran 1438 Hijriah kali ini. Eh, bukan menjajal sih, tapi mencicip lebih tepat. Karena aktualnya memang Tol Trans Jawa itu belum sepenuhnya terhubung.
Berangkat dari Malang di hari kedua bulan Syawal 1438 H, tepat jam 07.00 perlu waktu 58 menit untuk sampai di pintu tol Pandaan. Pintu tol ini menurut saya juga cukup cantik untuk diabadikan jika dari arah Surabaya karena berlatar belakang Gunung Penanggungan. Berikut ini adalah foto Gunung Penanggungan diambil jelang pintu tol Pandaan di suatu senja, sebagai ganti foto yang masih imajiner tersebut.

Gunung Penanggungan, difoto dari jalan tol ruas Gempol-Pandaan, di suatu senja.
Di ruas ini, perlu 11 menit untuk menempuh 17 km dan selanjutnya keluar di jalan Arteri Porong Baru dan masuk kembali di pintu tol Sidoarjo jam 09.48. Pintu tol Sidoarjo ini adalah salah satu bagian dari ruas tol tertua di negeri ini selain tol Jagorawi. Dari Sidoarjo langsung terhubung ke Waru sejauh 12 km. Dari Waru bisa terhubung ke tol bandara Juanda, tol Surabaya-Gresik, serta ruas baru yang kali ini masih fungsional: Surabaya-Mojokerto.

Pintu tol Surabaya-Mojokerto yang masih fungsional di edisi Lebaran 1438H. Tampak masih menggunakan terop yang bersifat sementara.
Dari pintu tol ini, ruas jalan tol masih bersifat sementara, hanya tersedia satu arah, dengan berbagai sisa pekerjaan yang masih harus diselesaikan, termasuk masih adanya perlintasan dengan jalan desa tetapi sudah disediakan petugas untuk buka tutup di perlintasan tersebut. Selain itu, disediakan pula sarana rest area dan juga Kiosk Pertamax, layanan mobile station pengisian bahan bakar oleh Pertamina. Kabarnya, Pertamina menyediakan 25 Kiosk Pertamax ini (penulisannya memang KIOSK, kios pakai k, bukan typo/salah ketik).

Ruas Surabaya – Legundi (Krian) yang masih berpapasan dengan jalan desa

Gerbang tol Bandar, Kertosono
Perjalanan dari Surabaya hingga ke Gerbang Tol Bandar Kertosono ini sejauh 72 km, ditempuh 58 menit, dengan 3 kali pembayaran tol, masing-masing sebesar Rp. 1.500, Rp. 19.500 dan Rp. 11.000. Pas di perjalanan, dari radio Suara Surabaya mendapat informasi bahwa terjadi kepadatan di bypass Mojokerto dan disarankan untuk menghindarinya. Lumayanlah, dengan mencicip tol Surabaya-Mojokerto ini hanya dalam waktu kurang 1 jam sudah sampai di jelang Kertosono.
Selanjutnya dari gerbang tol Kertosono ini ada 2 pilihan, ikutan padat merayap di luaran jelang pertigaan Mengkreng, atau mengikuti jalur alternatif. Saya ikut yang kedua.
Jalur alternatif ini, sebagian awal mengikuti tol yang masih dalam pekerjaan, keluar di dekat PG Lestari, lanjut via Lengkong, dan mengikuti jalan makadam, tembus di sebelah barat perlintasan kereta api di Wilangan.

melewati jembatan sementara di ruas Kertosono

Disambut umbul-umbul dari produk mie instant, jelang masuk ke jalan raya Wilangan
Rute kali ini berasa seperti ikut rally dengan berbagai medan jalan. Pemandangannya pun lumayan kaya warna. Dari kebun tebu yang sedang berbunga, persawahan yang ditanami padi, tomat, cabai, kacang panjang dan bawang merah. Kemudian melewati kawasan Perhutani yang sedang ditanami kayu putih serta pohon jati di kejauhan. Dari gerbang tol Kertosono hingga keluar di jalan raya Wilangan ini menempuh 48 km dengan waktu tempuh 2 jam 5 menit. Selanjutnya sepanjang jalan padat hingga Caruban, 18 km ditempuh dalam waktu 1 jam.
Mestinya di jalur ini juga ada ruas tol Caruban-Wilangan, tetapi yang difungsikan kali ini adalah dari arah sebaliknya.
Setelah ishoma (istirahat, sholat dan makan) di Ngawi, perjalanan kembali dilanjutkan pukul 15.07. Sepertinya sudah tidak memungkinkan nguber ruas tol fungsional lainnya di ruas Solo-Ngawi. Apalagi begitu keluar Ngawi kota, jalanan relatif padat merayap hingga pertigaan Gendingan.

Antri dan gerimis di Ngawi, jelang pertigaan Gendingan
Jadinya kemudian saya mengalihkan rute ke Sragen – Gemolong – Salatiga. Itupun sudah gelap dan padat sepanjang jalan. Apalagi arah sebaliknya. Wuih, gak gerak. Kesempatan menyalip adalah sebuah kemewahan dan tak berarti apa-apa.

Gerbang Tol Salatiga. Tak terlihat kecantikannya. Apalagi fotonya miring, hihihi.
Alhamdulillah sampai juga di gerbang tol Salatiga pukul 21.17 setelah sebelumnya menempuh 114 km selama 6 jam 10 menit perjalanan dari pemberhentian terakhir di Ngawi.
Ruas tol ini sepertinya keren dan menantang buat diulangi lagi kapan-kapan. Gelap dan gerimis tak memungkinkan untuk memacu kecepatan. Saya jadi teringat ujaran peringatan sejenis kemarin saat melewati jalur Singosari-Karangploso via jalur alternatif lewat Desa Klampok. Kira-kira, bunyinya begini:
“pengen cepet matek, getno”
Gerbang tol Salatiga hingga exit tol Jatingaleh sejauh 52 km ditempuh 1 jam 40 menit termasuk 55 menit ishoma di rest area tol. Di jalur klasik pantura, tampak juga jalur tol Gringsing, tetapi sedang tidak difungsikan di waktu malam dengan mempertimbangkan faktor keselamatan. Dengan demikian masuk tol kembali di Pejagan, istirahat 2 kali di rest area, sampailah kami di exit tol terakhir, sejauh 297 km pas jam 6.30 pagi.
Keseluruhan kami menempuh perjalanan mudik 1438H ini sejauh 881 km, dengan 455 km via jalur tol selama hampir 24 jam. Lumayanlah, setidaknya 51.65% perjalanan ditempuh dengan mencicip tol trans Jawa dan jika berdasar pembagian waktu, maka 30.17% habis di jalan tol, 16.07% untuk berhenti dan istirahat, serta sisanya 53.76% dihabiskan di jalan biasa.
Mudah-mudahan, mudik tahun mendatang sudah semakin banyak ruas tol trans Jawa yang operasional tak hanya fungsional. Fenomena mudik memang hanya setahun sekali, tetapi setidaknya fenomena mudik ini sudah menjadi katalisator ide dasar mempermudah transportasi buat kesejahteraan bersama di sepanjang tahun. Semoga.
[kkpp, 30.06.2017]