Indonesiana, Islam, Kisah Kehidupan, Travelling

Mencicip Trans Jawa

Layaknya tiap lebaran, perjalanan pulang ke keluarga besar adalah hal yang masih dan perlu diagendakan bagi sebagian besar rakyat negeri ini. Siapa saja kemudian mendapat berkah acara tahunan yang tiap tahunnya bergeser maju penyelenggaraannya karena mengikuti penanggalan hijriah karena bagaimanapun lebaran identik dengan Idul Fitri.

Fenomena gegap gempitanya perjalanan pulang ke keluarga besar pas momen Idul Fitri itu kita mengenalnya sebagai mudik. Baca lebih lanjut

Standar
Kisah Kehidupan, Travelling

Duka dan Doa untuk QZ8501

Minggu 28 Desember 2014. Mendung masih mewarnai Belitung di pagi itu. Saya mengendarai kendaraan sewaan dan mengantarkan adik bungsu saya ke Bandara H. AS. Hanandjoedin, 15 menit perjalanan dari kota. Ia harus balik ke Malang dengan pesawat Citilink jam 07.30, sementara saya dan keluarga masih melanjutkan liburan ke Pangkal Pinang nanti jam 10.20 menggunakan Sriwijaya Air.

Tak pernah terbesit, jika tak jauh dari situ, di kisaran jam yang sama, sebuah pesawat hilang kontak dan belum diketahui keberadaannya hingga pagi ini (29/12), hampir 24 jam kemudian. Belum ada kesibukan yang berarti di kawasan bandara kecil itu.

Baca lebih lanjut

Standar
Indonesiana, Politik

Presiden Truk Gandeng

Pernah merasa gemas saat mengendarai kendaraan di jalur Jombang-Kertosono atau Nganjuk-Caruban, atau jalur setipe lainnya? Gemasnya dikarenakan ada truk gandeng beriringan tepat di depan kita. Besar dan lambat, sementara kita terpuruk di belakangnya. Bersama debu dan asap engine yang terengah.

Mau disalip kondisi tidak memungkinkan, mau disabar-sabarkan, kok ya kepikiran kapan sampainya jika terus menguntit di belakangnya. Sebagian besar kemudian memilih menyalip saja. Nunggu saat yang tepat, atau nekat melawan marka yang tak putus-putus. Bisa saja langsung bablas lancar jaya, atau bisa ketilang pak polisi di kawasan itu yang teliti mengamati marka, atau malah menjadi sumber kecelakaan.

Bandingkan dengan di luar negeri... (pic source: http://glamgirlcars.com/car-tuning/truck-tuning-ride-the-best-truck/)

Iseng-iseng saya mengamati catatan perjalanan di GPS saya. Untuk Surabaya-Madiun yang menempuh 160-an kilometer ditempuh kecepatan rata-rata 40 km/jam, padahal kecepatan maksimum yang tercatat adalah di atas 100-an km/jam (saya malu menuliskan kecepatan sebenarnya, hihihi). Sementara jika pas di belakang truk gandeng, bisa dapet 30 km/jam adalah sebuah kemewahan.

Saya maklum sih mengapa mereka lambat. Dimensi yang besar, ditambah dengan konfigurasi gandeng, pasti membutuhkan skill mengemudi tersendiri. Belum lagi dengan beban penuh yang dua kali beban truk biasa pasti menguras torsi mesinnya. Lebih-lebih ketika di tanjakan maupun tikungan.

Tetapi jangan lupa, lihat juga resikonya. Berapa banyak kecelakaan melibatkan truk gandeng. Di tahun ini saja, sudah banyak kejadian yang melibatkan truk gandeng. Tanggal 11 Juni yang lalu, terjadi kecelakaan yang melibatkan dua truk gandeng bernopol L dengan satunya bernopol B di jalan tol Slipi arah Tomang. Di hari yang sama, tapi di jalan raya Sukowati, Sragen, truk gandeng yang melintas ditabrak dua kendaraan MPV. Tiga hari sebelumnya, kecelakaan kali ini terjadi anatara truk gandeng yang memuat drum menabrak tru tangki air yang sedang mengganti ban, satu orang meninggal menjadi korban. Tanggal 24 Februari, kali ini di ruas tol Cawang. Sementara di penghujung tahun kemarin, tiga hari menjaelang pergantian tahun 2011, truk gandeng memuat tepung batu putih seberat 31 ton terguling di jalur Kudus-Pati. Sembilan hari kemudian, kecelakaan truk gandeng juga terjadi di Cengkareng. Begitu banyak cerita tentang itu yang bakal menghabiskan banyak alinea.

Saya jadi mikir, siapa sih yang punya ide bikin truk gandeng? Ide utamanya mungkin sekali jalan bisa memuat lebih banyak muatan. Lebih ekonomis daripada menggunakan dua unit truk biasa. Tetapi tidakkah itu kemudian banyak mengganggu banyak kepentingan bersama. Apalagi di negeri kita, infrastruktur masih belum menunjang pengoperasian truk gandeng. Seandainya saja, truk gandeng hanya digunakan dari sebuah kawasan industri ke pelabuhan melalui jalan tol khusus, mungkin nilai gunanya bisa terasakan.

***

Perasaan gemas di alinea pembuka, juga saya rasakan sekarang. Gemas terhadap kepemimpinan RI-1 saat ini. Dengan legitimasi yang digenggamnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tak cukup tangkas membawa  negeri ini. Agak-agak mirip sopir truk gandeng. Kendaraannya berat dan terseok melewati jalanan berliku dan mendaki. Nggereng tapi cuma menghasilkan asap yang mengepul menambah polusi.

Sang sopir enggan menurunkan muatan yang memberatinya. Lupa bahwa tujuan sebenarnya adalah segera sampai ke tempat tujuan dan tidak menghalangi kendaraan-kendaraan lain di belakangnya yang juga ingin segera sampai ke tempat tujuan.

Jadi Pak Sopir, segeralah bertindak! Minggir sejenak, buang muatan tak perlu untuk menyelamatkan muatan yang lebih berharga lainnya. Atau, ganti kendaraan saja yang lebih tangkas dan sesuai untuk kondisi negeri ini yang tertatih di jalanan berkelok dan mendaki. Daripada mogok di tengah jalan lho …

Atau kita bersiap mencari sopir yang lebih sesuai. Yang lebih trampil mengemudikan amanah berat dari rakyat …

[kkpp, 22.07.2011]

Standar
Bisnis, Indonesiana, Kisah Kehidupan, Travelling

Jempol buat Garuda

Emirsyah Satar, salah satu nama yang disebut-sebut oleh Rheinald Kasali dalam buku terakhirnya Cracking Zone, pernah mengalami kejadian kehilangan koper pada saat terbang menggunakan salah satu penerbangan dari salah satu maskapai bintang lima dunia (di artikel tersebut tidak menyebutkan maskapai mana dengan jelas). Koper tersebut ditemukan dua minggu kemudian di salah satu hotel di kawasan Marina Bay, Singapore. Itupun ditemukan setelah pihak hotel menelpon nomer yang terdapat di name-tag yang terdapat pada koper yang hilang tersebut.

Kisah tentang koper yang hilang itu, diungkapkan oleh Emirsyah Satar, Direktur Utama PT. Garuda Indonesia Tbk sejak 2005 dan terpilih kembali oleh RUPST tanggal 29 April 2011, melalui artikel di Garuda In-Flight Magazine edisi Juni 2011 yang saya baca pada sebuah penerbangan Garuda dari Timika ke Denpasar lanjut ke Surabaya.

Kisah itu diungkapkan oleh sang Dirut, yang sukses membukukan pendapatan usaha tahun 2010 sebesar 19,534 triliun rupiah, meningkat sebesar 9,4% dibanding 2009 sebesar 17,860 triliun rupiah, serta laba bersih menjadi 515,5 miliar rupiah dari sebelumnya (2009) 1,01 triliun rupiah atau merosot 49,3%, sebagai bagian kisah bahwa Garuda Indonesia terus berbenah menjadi maskapai yang bukan saja ikon negeri ini tetapi juga menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Dengan kisah koper yang dialaminya, Emirsyah Satar mengajak pembaca artikel tersebut untuk memahami bahwa kadang memang masih terjadi hal-hal kecil yang tidak mengenakkan (bahkan dilakukan oleh maskapai top dunia) tetapi Garuda berusaha untuk terus menaikkan layanannya yang diujungnya juga menaikkan kinerja perusahaan. Di artikel tersebut, Emirsyah Satar menyebutkan sejumlah rencana-rencananya untuk mewujudkan agar Garuda makin terbang tinggi: penambahan jumlah pesawat, menjadikan Makassar sebagai hub Indonesia kawasan timur, serta kerjasama dengan pihak pariwisata di sejumlah daerah.

  ***

Entah sebuah kebetulan, usai membaca artikel tersebut, pada saat menunggu mengambil bagasi di Bandara Juanda, yang dinobatkan sebagai bandara terbersih tahun ini (yang saya baca di spanduk yang terpasang di Juanda), seseorang petugas Garuda,Vinda, menghampiri saya.

“Sudah lengkap, Pak? Boleh saya lihat kupon bagasinya?”

“Kurang satu,” kata saya sambil menunjukkan kupon yang menandakan kepemilikan atas bagasi tersebut.

“Tasnya warna apa?

Saya kemudian mendefinisikan tas yang belum ketemu tersebut.

Hingga semua bagasi telah diambil pemiliknya, tas saya tersebut tidak ditemukan. Sempat khawatir, karena di tas itu ada salah satu harddisk eksternal. Tetapi dengan penampilan para petugas yang tidak terlihat panik pun juga tidak terihat acuh, saya berharap bahwa tas saya itu dapat kembali tak kurang suatu apa.

“Kok bisa tahu kalau saya kehilangan tas, mbak?”

“Iya, tadi kami dapat fax dari Denpasar, bahwa mereka missing satu tas atas nama Bapak. Semoga cuma terbawa ke Jakarta,” kata Vinda sambil mengisi form kehilangan bagasi.

“Mohon maaf, pak, atas ketidaknyamanannya. Nanti akan kami antar ke alamat Bapak.”

“Bener dianter?” tanya saya agak sangsi, karena pengalaman sebelumnya dengan maskapai lain, saya harus kembali ke Bandara Soekarno Hatta untuk mengambil tas yang hilang.

“Wah, enak juga kalau sering kehilangan koper. Jadi gak perlu berat-berat pulangnya,” lanjut saya berseloroh. Habis gimana lagi, mau marah juga tidak bakal menyelesaikan masalah.

Benar saja, malamnya, lima jam sejak saya sampai di rumah, tas itu diantar! Terima kasih Garuda!

 ***

Ada dua hal yang biasanya menyebalkan pengguna jasa penerbangan yang tidak terkait dengan harga yaitu: pertama, jadual penerbangan yang terlambat, kedua, kehilangan bagasi. Sementara layanan lainnya akan setara mengikuti harga yang dibayarkan. Ono rego ono rupo, kata orang Jawa.

Untuk yang pertama, Garuda membukukan prestasi di tahun 2010, keterlambatan  (OTP) sebesar 80,2%. Sedangkan yang kedua, pengalaman saya di atas bisa jadi mewakilinya.

Tetapi yang terpenting adalah bahwa Garuda adalah salah satu ikon Indonesia. Dari nama, kepentingan, serta kemaslahatannya, rakyat Indonesia banyak berharap padanya. Jika nama Garuda jatuh begitu halnya nama Indonesia. Tetapi dengan dipiloti seorang yang cerdas dan idealis, maka boleh jadi kita banyak berharap.

“Fortunately, while I’m not filthy rich, I have enough. And if Indonesians don’t help this country, who will? Garuda is an Indonesian icon. If it improves, the country’s image improves. And I am a proud Indonesian. And I like challenges. I joined as one of Garuda’s youngest CEOs and it was a great opportunity to do something.”Emirsyah Satar

Terbanglah terus, Garuda! Kepak sayapmu membanggakan kami.

[kkpp, 17.06.2011]

Standar
Indonesiana

Sumber Bencono

Di awal bulan Syawal 1431 Hijriah ini, sungguh mengagetkan ternyata terjadi peristiwa yang sungguh membuat miris. Sebuah bus dibakar massa sesaat setelah terjadinya kecelakaan yang menewaskan dua orang pengendara sepeda motor, Sabtu 11 September 2010 di Ngawi, Jawa Timur. Massa pun juga sempat merusak bus yang bernaung di perusahaan yang sama yang kebetulan juga melintas di lokasi. Tak ayal, penumpang bus kedua itu pun jadi berlarian ketakutan.

Bus Sumber Kencono yang dirusak massa saat melintas pada pembakaran bus Sumber Kencono yang lain (terlihat terbakar) di Ngawi, 11/9. Sumber: ruanghati.com

Sungguh miris. Di saat suasana lebaran yang seharusnya penuh dengan nuansa kelapangan dada, massa  tak lagi menyisakan maaf. Bisa jadi, tindakan pembakaran yang dilakukan oleh massa adalah muara kekesalan mereka terhadap perusahaan otobus itu.  Pada kesempatan yang lain, Kombes Sam Budigusdian, Dirlantas Polda Jatim, selama setahun sejak September 2009 hingga 2010, perusahaan otobus itu telah mengalami kecelakaan sebanyak 51 kali, dengan korban 129 orang, 36 di antaranya meninggal dunia. Data itu dihimpun dari Polres Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun dan Ngawi. Belum termasuk kejadian yang terjadi sepanjang ruas jalan di wilayah Polda Jateng-DIY. Dan dari sejumlah kecelakaan itu, angka tertinggi terjadi di Ngawi, satu wilayah dengan lokasi pembakaran di Sabtu malam yang naas itu.

Sungguh miris pula, ternyata sehari sebelumnya, Jumat dinihari 10 September 2010, bus dari perusahaan yang sama menabrak penyeberang jalan di jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta. Korban juga meninggal dunia. Bahkan sehari sesudah kejadian pembakaran, hari Minggu di (12/9) Caruban, Madiun, korban Sujiono yang hendak menyalip mobil di depannya, terserempet bus dari perusahaan yang sama yang melintas berlawan dan kemudian tewas terlindas. Tak cukup dengan kejadian itu saja, dua hari sesudah kejadian pembakaran, hari Senin (13/9) di dekat jalan layang Trosobo, Sidoarjo, tiga orang sekeluarga tewas mengenaskan tertabrak bus yang melaju kencang menuju arah Krian.

***

Coba tanyakan kepada kaum komuter di jalur Surabaya-Yogyakarta. Pasti mereka mengenal bus yang berkombinasi warna silver dan biru, Sumber Kencono. Selain dominan karena jumlahnya paling banyak di antara bus yang lain (menurut Harian Surya (17/9) berjumlah 250 bus, tetapi sumber yang tidak resmi menyatakan jumlahnya sekitar 450), Sumber Kencono juga merupakan bus pilihan karena termasuk bus yang paling cepat sampai di tujuan.

Tetapi di sisi yang lain, bis-bis Sumber Kencono juga dikenal sebagai raja jalanan. Para pengendara yang lain, roda empat, roda dua, dan apalagi truk sering hanya menghela dada, melayani kemauan sang raja. Rambu, marka, lampu lalu lintas, bahkan pak polisi yang banyak berjaga di pos-pos yang bertebaran sepanjang lintasan Surabaya-Yogyakarta, hanyalah penyaksi kehebatan mereka di jalanan.

Sing waras ngalah,” demikian pikir para pengendara itu daripada melibatkan diri dengan kecelakaan yang seolah hanya menunggu waktu bila berada di dekat Sumber Kencono.

***

Siapa yang salah? Pengemudi memang adalah yang di balik kemudi saat kecelakaan itu terjadi. Tapi apakah memang semata salah para pengemudi itu?

Jika ditinjau dari kasus per kasus, bisa jadi kesalahan diakibatkan oleh pengendara lain, bukan semata pengemudi bus yang menabrak. Tahu sendiri kan, bagaimana perilaku mengemudi pengendara-pengendara kita. Tetapi, mari kita melihat dalam lingkup yang lebih luas, manakala kejadian demi kejadian berlalu sedemikian sering. Apakah memang nyawa itu sedemikian murah hingga kita tidak mencoba mencari akar masalahnya. Human error, senantiasa bisa diminimalkan seandainya ada regulasi sebagai turunan dari political will dari managemen.

Setiaki, pemilik PO Sumber Kencono (sumber: Harian Surya)

Setiaki, sang pemilik perusahaan Sumber Kencono yang telah menjalankan usahanya selama 27 tahun, menyampaikan melalui wawancaranya dengan Harian Surya (17/9), “Makanya mohon dengan kerendahan hati, berilah kami kesempatan untuk hidup dan memperbaiki. Karena kecelakaan yang terjadi tidak 100 persen kesalahan kami. Meski demikian, kami tidak akan banyak komentar, karena nyatanya masih banyak masyarakat yang naik bus Sumber Kencono”. Selanjutnya, Setiaki juga menyampaikan bahwa perusahaannya menggunakan sistem premi bukan setoran sebagaimana diduga banyak pihak bahwa para sopir yang berlomba saling berpacu di jalanan karena diduga mengejar setoran.

Lantas jika bukan karena menguber setoran, bagaimana dengan manajemen Sumber Kencono sendiri dalam penegakan guidance berkendara? Tampaknya, Setiaki tidak secara hitam putih menjawab, “Sebagai pimpinan, kalau kita memberi sanksi agak berat, perusahaan dianggap kejam dan salah. Kalau sanksinya ringan, juga ada salahnya karena bosnya dikira ngglembosi (setengah hati). Jadi, kalau Bapak-bapak ngasi satu job description, akan saya laksanakan. Monggo. Saya akan terima dengan hati terbuka dan tangan terbuka”.

***

Pada titik ini, bola kemudian terlempar kepada masyarakat dan pemerintah.

Pemerintah, berkaca dari beberapa kali kecelakaan yang terjadi di moda transportasi udara, kemudian turun tangan dengan menerbitkan sejumlah aturan dalam rangka meminimalkan kecelakaan. Bahkan, operator penerbangan yang sering terlibat kecelakaan, kini tidak ada lagi namanya.

Memang, mengatur transportasi udara lebih mudah karena jumlah operator jauh lebih sedikit dibandingkan moda transportasi lainnya. Keterkaitan antara operator dengan pemerintah pun lebih jelas, karena hanya ada satu perusahaan negara yang melayani operator-operator itu. Tetapi, sesulit apapun seharusnya bisa, karena tanggung jawab melindungi keselamatan rakyat adalah kewajiban negara.

Hampir menjadi rahasia umum, para petugas yang di lapangan, terlalu mudah untuk bersengkongkol dengan para kru bus. Saat melanggar, hampir dapat dipastikan, sang pelanggar akan mudah berlalu dari jeratan hukum. Jadi jangan salahkan masyarakat bila kemudian bertindak main hakim sendiri.

Mari sedikit menengok ke Tembagapura, Papua ataupun Batu Hijau, Sumbawa. Meski masih di wilayah Indonesia, hal-hal yang terkait dengan pengendaraan transportasi diatur sangat ketat oleh perusahaan. Upaya mendapatkan lisensi mengemudi, tidak segampang mencari SIM. Begitupun kalau sudah dapat, lisensi mengemudi jauh lebih mudah dicabut dibandingkan SIM (pernah dengar SIM yang dicabut?)

Akibatnya, pengendara benar-benar mengemudi dengan benar sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan. Tak ada cerita di jalan mereka berebut saling mendahului. Tak ada cerita mereka berani melanggar lampu lalu lintas ataupun marka jalan. Batas kecepatan adalah sesuatu yang mutlak dituruti.

***

Lalu, bagaimana dengan masyarakat?

Ungkapan sang pengusaha, bahwa jika perusahaannya salah mengapa masih banyak penumpang, juga benar adanya.

Seorang teman komuter jalur itu berkata, lebih enak naik bis Sumber Kencono karena lebih cepat sampai.

Tidak takut bila kecelakaan?

Ah, daripada pusing dan mual (karena selama perjalanan bis dikemudikan dengan serong kiri-serong kanan, rem pol gas pol), langsung tidur saja, tahu-tahu sudah nyampai Bungurasih, katanya sambil ketawa.

Seorang kawan komuter yang lain juga bercerita, kadang-kadang bila sang pengemudi mengemudi dengan sopan, banyak penumpang kemudian mengolok-olok sang sopir. Dikatainlah sang sopir dengan berbagai ejekan dan cemoohan yang menyebabkan sang sopir seperti seorang penakut dan pengecut bila menyetir dengan tertibnya.

Ah, susah juga kan. Bagaimanapun, masih banyak masyarakat yang merindukan transportasi yang murah dan cepat daripada yang selamat. Dan sayangnya, mereka tidak sadar bila kecepatan mereka sampai di tempat tujuan didapatkan dengan mendholimi pengguna jalan raya sepanjang perjalanan.

Semoga memang, kisah tentang Sumber Bencono ini tinggal menjadi legenda buat anak cucu kita. Bahwa, korban sia-sia di jalanan hanyalah dongeng masa lalu.

(kkpp, 19.09.2010)

*TERKAIT*

Tips Aman Berkendara


Standar