Di awal bulan Syawal 1431 Hijriah ini, sungguh mengagetkan ternyata terjadi peristiwa yang sungguh membuat miris. Sebuah bus dibakar massa sesaat setelah terjadinya kecelakaan yang menewaskan dua orang pengendara sepeda motor, Sabtu 11 September 2010 di Ngawi, Jawa Timur. Massa pun juga sempat merusak bus yang bernaung di perusahaan yang sama yang kebetulan juga melintas di lokasi. Tak ayal, penumpang bus kedua itu pun jadi berlarian ketakutan.

Bus Sumber Kencono yang dirusak massa saat melintas pada pembakaran bus Sumber Kencono yang lain (terlihat terbakar) di Ngawi, 11/9. Sumber: ruanghati.com
Sungguh miris. Di saat suasana lebaran yang seharusnya penuh dengan nuansa kelapangan dada, massa tak lagi menyisakan maaf. Bisa jadi, tindakan pembakaran yang dilakukan oleh massa adalah muara kekesalan mereka terhadap perusahaan otobus itu. Pada kesempatan yang lain, Kombes Sam Budigusdian, Dirlantas Polda Jatim, selama setahun sejak September 2009 hingga 2010, perusahaan otobus itu telah mengalami kecelakaan sebanyak 51 kali, dengan korban 129 orang, 36 di antaranya meninggal dunia. Data itu dihimpun dari Polres Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun dan Ngawi. Belum termasuk kejadian yang terjadi sepanjang ruas jalan di wilayah Polda Jateng-DIY. Dan dari sejumlah kecelakaan itu, angka tertinggi terjadi di Ngawi, satu wilayah dengan lokasi pembakaran di Sabtu malam yang naas itu.
Sungguh miris pula, ternyata sehari sebelumnya, Jumat dinihari 10 September 2010, bus dari perusahaan yang sama menabrak penyeberang jalan di jalan Laksda Adisucipto, Yogyakarta. Korban juga meninggal dunia. Bahkan sehari sesudah kejadian pembakaran, hari Minggu di (12/9) Caruban, Madiun, korban Sujiono yang hendak menyalip mobil di depannya, terserempet bus dari perusahaan yang sama yang melintas berlawan dan kemudian tewas terlindas. Tak cukup dengan kejadian itu saja, dua hari sesudah kejadian pembakaran, hari Senin (13/9) di dekat jalan layang Trosobo, Sidoarjo, tiga orang sekeluarga tewas mengenaskan tertabrak bus yang melaju kencang menuju arah Krian.
***
Coba tanyakan kepada kaum komuter di jalur Surabaya-Yogyakarta. Pasti mereka mengenal bus yang berkombinasi warna silver dan biru, Sumber Kencono. Selain dominan karena jumlahnya paling banyak di antara bus yang lain (menurut Harian Surya (17/9) berjumlah 250 bus, tetapi sumber yang tidak resmi menyatakan jumlahnya sekitar 450), Sumber Kencono juga merupakan bus pilihan karena termasuk bus yang paling cepat sampai di tujuan.
Tetapi di sisi yang lain, bis-bis Sumber Kencono juga dikenal sebagai raja jalanan. Para pengendara yang lain, roda empat, roda dua, dan apalagi truk sering hanya menghela dada, melayani kemauan sang raja. Rambu, marka, lampu lalu lintas, bahkan pak polisi yang banyak berjaga di pos-pos yang bertebaran sepanjang lintasan Surabaya-Yogyakarta, hanyalah penyaksi kehebatan mereka di jalanan.
“Sing waras ngalah,” demikian pikir para pengendara itu daripada melibatkan diri dengan kecelakaan yang seolah hanya menunggu waktu bila berada di dekat Sumber Kencono.
***
Siapa yang salah? Pengemudi memang adalah yang di balik kemudi saat kecelakaan itu terjadi. Tapi apakah memang semata salah para pengemudi itu?
Jika ditinjau dari kasus per kasus, bisa jadi kesalahan diakibatkan oleh pengendara lain, bukan semata pengemudi bus yang menabrak. Tahu sendiri kan, bagaimana perilaku mengemudi pengendara-pengendara kita. Tetapi, mari kita melihat dalam lingkup yang lebih luas, manakala kejadian demi kejadian berlalu sedemikian sering. Apakah memang nyawa itu sedemikian murah hingga kita tidak mencoba mencari akar masalahnya. Human error, senantiasa bisa diminimalkan seandainya ada regulasi sebagai turunan dari political will dari managemen.
Setiaki, sang pemilik perusahaan Sumber Kencono yang telah menjalankan usahanya selama 27 tahun, menyampaikan melalui wawancaranya dengan Harian Surya (17/9), “Makanya mohon dengan kerendahan hati, berilah kami kesempatan untuk hidup dan memperbaiki. Karena kecelakaan yang terjadi tidak 100 persen kesalahan kami. Meski demikian, kami tidak akan banyak komentar, karena nyatanya masih banyak masyarakat yang naik bus Sumber Kencono”. Selanjutnya, Setiaki juga menyampaikan bahwa perusahaannya menggunakan sistem premi bukan setoran sebagaimana diduga banyak pihak bahwa para sopir yang berlomba saling berpacu di jalanan karena diduga mengejar setoran.
Lantas jika bukan karena menguber setoran, bagaimana dengan manajemen Sumber Kencono sendiri dalam penegakan guidance berkendara? Tampaknya, Setiaki tidak secara hitam putih menjawab, “Sebagai pimpinan, kalau kita memberi sanksi agak berat, perusahaan dianggap kejam dan salah. Kalau sanksinya ringan, juga ada salahnya karena bosnya dikira ngglembosi (setengah hati). Jadi, kalau Bapak-bapak ngasi satu job description, akan saya laksanakan. Monggo. Saya akan terima dengan hati terbuka dan tangan terbuka”.
***
Pada titik ini, bola kemudian terlempar kepada masyarakat dan pemerintah.
Pemerintah, berkaca dari beberapa kali kecelakaan yang terjadi di moda transportasi udara, kemudian turun tangan dengan menerbitkan sejumlah aturan dalam rangka meminimalkan kecelakaan. Bahkan, operator penerbangan yang sering terlibat kecelakaan, kini tidak ada lagi namanya.
Memang, mengatur transportasi udara lebih mudah karena jumlah operator jauh lebih sedikit dibandingkan moda transportasi lainnya. Keterkaitan antara operator dengan pemerintah pun lebih jelas, karena hanya ada satu perusahaan negara yang melayani operator-operator itu. Tetapi, sesulit apapun seharusnya bisa, karena tanggung jawab melindungi keselamatan rakyat adalah kewajiban negara.
Hampir menjadi rahasia umum, para petugas yang di lapangan, terlalu mudah untuk bersengkongkol dengan para kru bus. Saat melanggar, hampir dapat dipastikan, sang pelanggar akan mudah berlalu dari jeratan hukum. Jadi jangan salahkan masyarakat bila kemudian bertindak main hakim sendiri.
Mari sedikit menengok ke Tembagapura, Papua ataupun Batu Hijau, Sumbawa. Meski masih di wilayah Indonesia, hal-hal yang terkait dengan pengendaraan transportasi diatur sangat ketat oleh perusahaan. Upaya mendapatkan lisensi mengemudi, tidak segampang mencari SIM. Begitupun kalau sudah dapat, lisensi mengemudi jauh lebih mudah dicabut dibandingkan SIM (pernah dengar SIM yang dicabut?)
Akibatnya, pengendara benar-benar mengemudi dengan benar sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan. Tak ada cerita di jalan mereka berebut saling mendahului. Tak ada cerita mereka berani melanggar lampu lalu lintas ataupun marka jalan. Batas kecepatan adalah sesuatu yang mutlak dituruti.
***
Lalu, bagaimana dengan masyarakat?
Ungkapan sang pengusaha, bahwa jika perusahaannya salah mengapa masih banyak penumpang, juga benar adanya.
Seorang teman komuter jalur itu berkata, lebih enak naik bis Sumber Kencono karena lebih cepat sampai.
Tidak takut bila kecelakaan?
Ah, daripada pusing dan mual (karena selama perjalanan bis dikemudikan dengan serong kiri-serong kanan, rem pol gas pol), langsung tidur saja, tahu-tahu sudah nyampai Bungurasih, katanya sambil ketawa.
Seorang kawan komuter yang lain juga bercerita, kadang-kadang bila sang pengemudi mengemudi dengan sopan, banyak penumpang kemudian mengolok-olok sang sopir. Dikatainlah sang sopir dengan berbagai ejekan dan cemoohan yang menyebabkan sang sopir seperti seorang penakut dan pengecut bila menyetir dengan tertibnya.
Ah, susah juga kan. Bagaimanapun, masih banyak masyarakat yang merindukan transportasi yang murah dan cepat daripada yang selamat. Dan sayangnya, mereka tidak sadar bila kecepatan mereka sampai di tempat tujuan didapatkan dengan mendholimi pengguna jalan raya sepanjang perjalanan.
Semoga memang, kisah tentang Sumber Bencono ini tinggal menjadi legenda buat anak cucu kita. Bahwa, korban sia-sia di jalanan hanyalah dongeng masa lalu.
(kkpp, 19.09.2010)
*TERKAIT*
Di daerah tambang yang disebut di atas, untuk mendapatkan ijin mengemudi tidak mudah. SIM RI tidak berlaku. Adanya SIM yang dikeluarkan otoritas tambang setempat dan benar adanya sulit karena persyaratan ketat dan disiplin. Begitu juga dalam setelah SIM diperoleh tidak lantas pengemudi seenaknya karena ada SISTEM KONTROL yang bagus.
Ada lelucon, jika sudah bosan kerja di Tempur (Tembagapura)/di BHU (Batu Hijau) cukup nyetir ugal-ugalan. Dijamin nggak cuma SIM-nya aja dicabut tapi ybs akan segera dideportasi dan tak boleh masuk lagi karena dianggap membahayakan keselamatan orang lain.
SukaSuka
Bener Ga. Banyak kawan yang memberikan testimonial tentang hal tersebut. Kedua contoh di atas, semata hendak disampaikan, bahwasanya kuncinya adalah penegakan hukum. Sayangnya, di negeri kita, penegakan hukum ibarat menegakkan benang basah.
SukaSuka
Ping-balik: Lampu Merah « Kepingan Kakap Paling Pojok