Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena kita kaum muslimin dan muslimat yang beriman telah berhasil menjalankan ibadah puasa sebulan penuh; dan kini sampai kepada Hari Raya Idul Fitri. Tidak ada harapan lain kecuali ibadah puasa yang telah dikerjakan itu dapat mencapai apa yang diharapkan Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 183; yaitu mengantarkan mereka yang berpuasa (sa’imun) menjadi orang takwa (la’alakum tattaqun).
Muttaqin, orang takwa adalah mereka yang terpelihara dirinya dari segala sesuatu yang tidak baik, bukan hanya waktu menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya yang bersifat individual-personal, tetapi juga dalam kehidupan sosial-komunal pascapuasa. Dengan begitu, kita dapat mengaktualisasikan ‘kesalehan individual-personal’ menjadi ‘kesalehan sosial’ – terwujud dalam berbagai aspek kehidupan.
– Azyumardi Azra, Refleksi Idul Fitri 1431 H: Idul Fitri dan Kepemimpinan, Republika, 9 September 2010, 30 Ramadhan 1431 H
Esok, saat fajar menjelang, tibalah kita di bulan baru, Syawal 1431 Hijriah, yang kali ini relatif sama penetapannya di Indonesia. Sebuah hari baru yang kemudian kita rayakan sebagai sebuah hari raya yang menyedot sedemikian besar perhatian kita, tidak saja bagi kaum yang berpuasa. Bayangkan saja, berapa perputaran ekonomi dari tambahan amunisi THR. Berapa besar harga dari pengalokasian waktu dan energi untuk sebuah liburan nasional untuk tradisi silahturahmi dan mudik, yang menjadi ciri khas negeri ini.
Demikianlah, harapan atas datangnya esok sebagai hari raya idul fitri, sedemikian menyegarkan penjuru negeri. Gempita takbir mewarnai seluruh pelosok hingga ke ranah berbagai media. Kegembiraan, keriangan, akan menghiasi sepanjang hari dan beberapa hari sesudahnya.
Semoga saja, segala keriuhrendahan kegembiraan itu membuat kita tidak melupakan bahwa datangnya hari yang fitri besok, masih menyisakan pekerjaan rumah bagi kita, kaum yang berpuasa. Sebagaimana kutipan di atas, adalah tugas kita untuk mengaktualisasikan kesalehan individu-personal menjadi kesalehan sosial komunal. Menjadi pekerjaan rumah, karena selama ini, sebagaimana diresahkan oleh Komarudin Hidayat, yang juga salah satu kolega Azyumardi Azra di UIN Syaruf Hidayatullah, Jakarta, bahwasanya kemeriahan ramadhan seringkali tak berbekas di sebelas bulan yang lain.
Di negeri dengan umat muslim yang terbesar ini, seharusnya ketaatan kita berpuasa dari sebelum subuh hingga maghrib, yang awalnya adalah salah satu bentuk kesalehan kita dengan Allah semata (tak ada yang tahu bila kita membatalkan puasa saat kita seorang diri, tetapi semata ketaatan kita pada Allah-lah yang menyebabkan kita tetap berpuasa meski hanya seorang diri), seharusnya kemudian teraktualisasikan dalam keseharian kita di sebelas bulan yang lain hingga bertemu dengan ramadhan berikutnya. Sepanjang tahun, kita sebaiknya tetap taat pada aturanNya juga aturan-aturan lain dalam bermasyarakat, tak peduli meski hanya seorang diri tak ada yang melihat.
Demikian halnya, kerendahhatian kita menjalankan puasa seharusnya juga terefleksikan sebagai kerendahhatian kita dengan tetangga, dengan kolega di kantor, bahkan dengan umat yang lain. Tak peduli itu ramadhan atau sebelas bulan yang lain.
Semoga, tanpa iming-iming penggandaan pahala sebagaimana ramadhan, kita tetap bersemangat mengabdi kepadaNya, dan kesalehan sosial-komunal adalah tugas para alumni kaum berpuasa tahun ini hingga bertemu kembali ramadhan tahun depan. Karena bagaimanapun, berbeda dengan haji yang lulusannya bergelar, menjadi muttaqin adalah hal yang senantiasa perlu diperjuangkan dari hari ke hari, bukan sesuatu yang didapat dengan serta merta.
Semoga, Allah meridloi segala amalan kita selama ini dan masih ada kesempatan bertemu ramadhan tahun depan.
Selamat berbahagia di hari yang fitri bersama sanak, kerabat dan keluarga.
Mohon maaf lahir dan batin.
[kkpp, 09.09.2010]