Mata saya terbuka dari tidur, saat roda pesawat MD82/83 Airfast menjejak landasan bandara internasional Mozes Kalangin pagi itu. Meski masih menyisakan kantuk, saya mencoba mengintip suasana di luar. Tetapi jendela pesawat penuh dengan butiran air. Rupanya gerimis membasahi bumi Timika, pada hari ketujuh Ramadhan tahun ini.
Saat sampai di bandara yang tak seberapa luas, jam digital yang terpasang di ruang pengambilan bagasi menunjukkan waktu pukul enam lebih duapuluh empat. Sebagian penumpang yang hendak melanjutkan perjalanan ke dataran tinggi (high land) via darat, tak perlu lagi sibuk memikirkan barang bagasinya, karena hanya mengumpulkan tiket ke petugas dan kemudian petugas akan mengurus barang-barang itu. Sementara yang punya tujuan lain, menunggu bagasinya masing-masing.
Saya dan Acil, kawan perjalanan dari kantor, termasuk golongan yang menunggu itu, karena rencananya kami akan melanjutkan ke high land menggunakan chopper (helicopter). Tak seberapa lama, terdengar suara adzan subuh dari layar televisi. Ah, langsung terasa beda jarak kami saat itu dengan televisi yang baru menyiarkan adzan subuh untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, sedangkan di tempat kami pagi telah menyapa.
***
“Chopper-nya jam delapan,” kata Danny, officer guide kami yang telah menguruskan segala pernak-pernik terkait kedatangan kami ke perusahaan tambang terbesar di negeri ini, menghampiri kami. “Mudah-mudahan cuacanya membaik sehingga tetap on schedule,” katanya sambil mengeluhkan kondisi gerimis dan kemungkinan kondisi berkabut di atas sana.
Sebelumnya Acil yang sudah beberapa kali ke sana, pernah berkisah bahwa sejak kejadian penembakan di beberapa ruas Timika-Tembagapura, penggunaan chopper adalah pilihan moda transportasi yang banyak dipilh dibandingkan menggunakan jalur darat. Tetapi bila berkabut, maka satu-satunya pilihan adalah menggunakan bus, tetapi dengan kawalan pihak keamanan.
Selain masalah safety, bila menggunakan chopper hanya menempuh waktu 15 menit, sedangkan pilihan menggunakan jalan darat bisa mencapai lebih dari empat jam, karena bakal berhenti beberapa kali menunggu pihak keamanan menyisir terlebih dahulu untuk memastikan jalur yang hendak dilalui.
Benar saja, ternyata kekhawatiran Danny menjelma. Saat menunggu bersama puluhan calon penumpang chopper yang didominasi oleh warga ekspatriat, petugas mengumumkan bahwa hari itu penerbangan chopper dibatalkan. Segera kami mengurus bagasi yang sebagian besar adalah kelengkapan training yang akan kami gunakan nanti. Dari semula disiapkan untuk dibawa chopper, berpindah ke container. Petugas sempat mengatakan, biar semua barang di container saja agar penumpang lebih nyaman saat menggunakan bus.
Jangan dibayangkan bus yang dimaksud adalah sama seperti biasa kita temui di Jawa. Yang disebut bus disana adalah truck ber-cabin yang memang disiapkan untuk mengangkut penumpang. Yang kelihatan baru adalah Ivero Trekker, sedangkan yang lama adalah Western Star. Bus itu memang disiapkan untuk menempuh medan berat penuh tanjakan hingga dapat mencapai lokasi tambang yang berada di ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut.
Seperti cerita Acil, bus berangkat dalam iring-iringan konvoi yang dikawal Brimob yang bersenjata. Beberapa kali berhenti di beberapa post menanti petugas yang menyisir rute perjalanan. Katanya, sudah dilengkapi dengan pemindai panas. Konvoi nanti akan diikuti kurang lebih 9-10 bus penuh dengan kawalan. Pantas saja, hanya sebagian kecil ekspatriat yang bersedia melanjutkan perjalanan ke highland dengan moda seperti ini, begitu si petugas tadi mengabarkan bahwa chopper tak jadi berangkat.
***
“Hampir sampai kita,” kata Acil sambil menunjuk check post. Alhamdulillah. Setelah melalui perjalanan sejak pukul sembilan hingga hampir setengah dua, berhenti di beberapa mile post, sampai juga kami di Tembagapura. Sempat juga, bus yang kami tumpangi mogok di tengah jalan yang menanjak. Untung saja, dalam setiap konvoi, senantiasa ada satu bus cadangan, sehingga meski kondisi interiornya jauh berbeda dengan yang kami tumpangi tadi, sampai juga kami di tempat tujuan dengan tak kurang suatu apa.
Dalam hitungan menit dari check post itu, kami menginjakkan tanah di Tembagapura di antara gerimis. Menginjakkan kaki di sebuah kota yang memang didesign sebagai salah satu pemukiman dari perusahaan tambang itu. Di kota itu, yang diplesetkan namanya jadi Purapuratembaga, fasilitas minimal untuk hidup layak sudah tersedia. Rumah sakit, sekolah, masjid dan gereja, fasilitas bank dan ATM, bahkan Hero pun ada di sana. Soal makan pun, semua sudah tersedia di mess, sesuai dengan tingkatan status ID card. Kalau bosan, ada juga rumah makan. Tetapi bila tanpa ID, kita bisa tak berarti apa-apa karena untuk mengakses mess, maupun fasilitas umum, harus menggunakan katu identitas yang dikenali dari barcode-nya.
Begitu turun dan mulai merasakan udara pegunungan, bergegas berdua kami menghampiri Danny yang tengah mengurus kedatangan kami beserta bagasi-bagasi yang diturunkan dari container. Setelah komplet, Danny menyapa seseorang yang hendak mengantarkan kami ke mess, “Sudah selesai upacaranya, Pak? Katanya jadi komandan?”
“Ada upacara apa, pak?” bisikku.
“ Tujuhbelasan lah. Ada tadi di atas …”
Baru teringat kalau hari ini bertanggal 17 Agustus. Aku meluaskan pandangan di antara kabut dan gerimis, ternyata memang ada umbul-umbul dan bendera merah putih di Tembagapura.
Segera teringat ucapan Soe Hok-gie: “Mencintai Indonesia hanyalah dengan mengenalnya lebih dekat”. Dan kali ini, saat tepat berusia enampuluh lima tahun sejak Soekarno Hatta memproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, akhirnya aku menjejakkan diri di pulau Papua, setelah sebelumnya saya telah melalui Jawa, Bali, Kalimantan, Madura, Batam, Lombok, Sumbawa, Flores, Timor dan Sulawesi. Masih ribuan pulau belum tersinggahi, masih banyak cinta untuk Indonesia yang hendak disemikan di tahun-tahun yang menanti.
Dirgahayu Indonesia!
(kkpp, 21.08.2010)
TOP.. MARKOTOP…
SukaSuka
Bos nama truk-nya Iveco, distributornya anak perusahaan kantorku…
Sekarang bandaranya udah nyaman, dulu cuma kek kandang ayam.
🙂
SukaSuka