Sebenarnya sih sudah sarapan spesial pagi itu. Gudeg. Tapi tawaran dari sepupu untuk mencari makan sebelum muter-muter Yogya sayang untuk dilewatkan begitu saja.
“Lotek, yuk.” Saya mengajukan rencana.
Sang sepupu masih berpikir kira-kira dimana, saya sudah punya bayangan. Lokasi gampang ditempuh dan gak terlalu menyimpang untuk rencana-rencana selanjutnya sebelum menunggu jadwal kereta kembali sore nanti (30/9).
Terletak di Jalan AM Sangaji persis seberang depan Hotel Pops. Hanya sepelemparan batu dari ikon kota Yogyakarta: Tugu. Sudah beberapa kali saya ke sana sebelumnya. Juaralah menurut saya. Enak dan sehat. Layak untuk diprioritaskan.
Kami sampai persis jam 10. Masih belum buka padahal tertera buka pukul 10-15. Jadilah kami pengunjung pertama. Sepuluh menit kemudian Bu Mur datang dan mulai mempersiapkan dagangan dengan awalan ucapan “Bismillahirrahmanirrahiim” yang terdengar jelas oleh kami.
“Pedes mas?”
“Nggih.” Saya menjawab singkat.
“Lombok pinten?”
Saya terdiam tak punya bayangan.
Bu Mur menyebut bilangan, “… gangsal, pitu, songo …”
Tanpa ngeh mengapa Bu Mur menyebut angka ganjil, saya menukas cepat, “limo, bu. Kados Pancasila.”
“Nah niki masalahe mas. Sila kelima kan keadilan sosial, tapi mboten adil-adil niki dos pundi?” Bu Mur menjawab tanpa mengurangi aktivitas multitasking-nya mempersiapkan pekerjaannya.
“Nggih menawi ngaten, lomboke papat setengah mawon.”
Bu Mur tertawa atas jawaban saya sambil melanjutkan menggerus bumbu lotek untuk porsi pertama buat saya.
“Kecipir purun? Kenikir? Kembang turi?”
“Inggih. Sedoyo bu. Prei racun kula.”
Ganti saya bertanya tentang bagaimana kalau makin banyak cabai, apakah harganya sama.
“Lha kula terus terang mawon mas. Yen lombok limolas yo podo wae. Ndhuwur iku nggih kudu nambah (harga).”
“Lha inggih, lombok pas murah,” Elly sang sepupu ikutan nimbrung.
Bu Mur ketawa. “Natih sih, (pembeli) pesen lotek ditambah lombok sak ons. Paling kathah lombok petang puluh limo.”
Buset, saya mikir dalam hati, itu perut bisa punya semangat 45 juga.
Beberapa pembeli yang lain mulai berdatangan. Kebanyakan dibungkus buat dibawa pulang. Sementara saya telap-telep berusaha menghabiskan satu porsi yang sedemikian banyak isinya.
Sambil menyiapkan pesanan yang lain, Bu Mur bertanya, “lho mas, krupuke kok mboten dibukak? Padahal kan lotek kaliyan krupuk niku jodone … .”
“Nggih jodoh sih bu. Tapine niki krupuke taksih LDR-an.”
Bu Mur tertawa. Elly kompak ngakak bareng Bu Mur. Sementara saya ampun-ampun menghabiskan porsi lotek agar tandas hingga ke daun pisang yang jadi alas sajiannya. Saking ampun-ampunnya hingga lupa kalau ada krupuk yang masih plastikan.
Kenyang. Alhamdulillah.
[kkpp, 30.09.2017]