Saban pagi, biasanya saya kecipratan merdunya kicauan burung-burung berkicau. Saya memang termasuk beruntung. Merdunya kicauan itu saya nikmati secara gratis, tanpa harus keluar biaya memelihara burung-burung berkicau itu. Para tetangga yang mempunyai kegemaran memelihara burung-burung itu pun juga sungguh berbaik hati dengan tak pernah mengirimkan tagihan atas kenikmatan itu.
Tetapi ada yang berbeda dengan pagi di hari Minggu (21/10) itu. Kali ini, merdunya kicauan burung itu saya nikmati dari burung-burung liar. Bukan yang beterbangan di sekitar rumah, tetapi langsung dari tepian Taman Nasional Alas Purwo. Tepat di semenanjung Blambangan, semenanjung yang berada di sisi tenggara Pulau Jawa.
***
Jumat sebelumnya (19/10), seorang kawan kantor tengah melangsungkan pernikahannya di Banyuwangi. Sementara rombongan kantor memutuskan untuk kembali ke Surabaya pada malam harinya, karena kesamaan hobby, saya dan seorang kawan tetap tinggal untuk perburuan obyek foto.
Ada banyak pertimbangan spot-spot sebenarnya di Banyuwangi yang sungguh kaya potensi. Tetapi kami dibatasi bahwa hari Minggu malam sebaiknya sudah sampai kembali di Surabaya.
Dari beberapa alternatif itu, akhirnya kami memutuskan hanya satu obyek saja yang akan kami tuju: Plengkung. Salah satu pantai yang sangat dikenal di dunia surfing. Obyek yang paling mengusik keingintahuan dan terlihat sangat menantang.
Bicara Plengkung, mau tak mau pasti akan membicarakan juga Taman Nasional Alas Purwo. Keduanya adalah dwi-tunggal. Karena untuk mencapai Plengkung haruslah melalui Alas Purwo. Salah satu dari lima puluh Taman Nasional yang dipunyai oleh Indonesia, yang tercatat mempunyai luas 43.420 hektar. (Lebih lengkap tentang ke-lima-puluh Taman Nasional, sila mampir ke sini)
***
Sabtu (20/10) pagi, usai menyelesaikan sarapan di hotel kami di kawasan Ketapang, yang dari area sarapan pagi itu terlihat selat Bali yang sangat tenang, tanpa terburu waktu kami menuju selatan ke arah Muncar. Kurang lebih satu jam perjalanan. Meski berbekal GPS, arah Muncar sebenarnya gampang dicari dengan mengikuti arah penunjuk jalan.
Demikian halnya arah ke Alas Purwo kami ikuti dengan gampang asal tak melewatkan penanda arah. Setelah menempuh setengah jam perjalanan dengan jalan yang cukup baik beraspal (ya, ada juga sih satu dua tempat yang aspalnya telah mengelupas), sampailah kami di desa Kalipahit. Di sini perjalanan mulai menemui jalan tanah, dengan suasana hutan jati. Tetapi, di satu dua rumah tampak memasang parabola.
Di sana kami berhenti sejenak. Menanyakan arah pada penduduk yang ditemui serta mulai memasang lensa pada badan kamera.
Arah kami sudah tepat. Tinggal menyusuri jalan tanah tersebut menuju ke Rowobendo. Di sepanjang perjalanan sudah tak banyak lagi penduduk yang bersimpangan jalan. Hanya satu dua saja. Malah sempat, jalan di depan kami dipenuhi segerombolan monyet (Macaca fascicularis). Sayangnya mereka terlalu peka. Saat mobil dihentikan dan kami mengambil jarak untuk membidik kamera, mereka berlarian. Seolah sudah membaui bahaya yang mengancam. Padahal kami hanya membidikkan kamera, bukan senapan.
Suasana vegetasi hutan yang berubah lebih hijau, dari yang awalnya adalah hutan jati yang sedang meranggas, membuat perjalanan tak terasa membosankan sepanjang perjalanan dengan kendaraan roda empat yang hanya mampu bergerak dengan kecepatan 5-10 km/jam.
Menjelang tengah hari, sampailah kami di Rowobendo. Pos awal masuk ke Taman Nasional Alas Purwo. Sebuah portal terpasang melintang. Menandakan semua pengunjung harus berhenti dan melaporkan diri.
Seorang petugas di sana menyampaikan, untuk ke Plengkung kami harus menuju ke resort Pancur, menempuh 5 km lagi. Katanya lebih jauh, Pancur adalah pemberhentian terakhir untuk seluruh pengunjung. Sedangkan untuk ke Plengkung masih 9 km lagi dengan diantarkan oleh kendaraan yang disediakan. Ah, terasa dekat.
Plengkung, kami datang…. [bersambung, kkpp, 29.10.2012]
Ping-balik: Plengkung dan Taman Nasional Alas Purwo (3) | Kepingan Kakap Paling Pojok