Pak Menteri yang kami hormati, maafkan teman-teman kami. Beberapa hari belakangan ini telah merepotkan Bapak dengan beberapa kali kejadian yang sungguh memiriskan hati.
Salahkah kami, Pak Menteri? Salahkah sekolah kami? Salahkah kurikulum yang telah ditetapkan untuk kami pelajari dari hari ke hari di bangku sekolah kami?
Kami hanyalah pelajar yang tugasnya belajar. Tetapi belajar tidaklah melulu dari sekolah kami. Kami juga belajar dari lingkungan sekitar, dari televisi, dari berita yang diomongkan orang tua-orang tua kami, dari apa-apa yang kami saksikan dan alami sehari-hari.
Suatu hari Ibu Guru mengajarkan kami tentang pentingnya peraturan lalu lintas. Bahwa peraturan diciptakan untuk ketertiban bersama. Tetapi sering kami dapati bahwa tak ada yang mentaati lampu lalu lintas jika tidak ada polisi. Sering pula kami saksikan mobil pribadi nyelonong ke jalur busway. Salahkah Ibu Guru kami, Pak Menteri?
Maafkan teman-teman kami, Pak Menteri. Kami hanya sekedar belajar tentang kesetiakawanan. Guru kami adalah suporter-suporter sepakbola yang boleh dengan sesukanya merusak apapun ketika timnya kalah. Guru kami adalah mereka yang mengaku sebagai pembela agama yang boleh merusak segala sesuatu yang dianggap lawannya. Guru kami adalah para politisi yang membela koleganya ketika ada di antara kawannya yang tertangkap basah korupsi. Kami hanya sekedar belajar arti kesetiakawanan.
Maafkan teman-teman kami, Pak Menteri. Kami hanya sekedar belajar tentang bagaimana berkompetisi. Sayangnya, teman-teman kami tidak kuasa menemukan tempat yang tepat untuk berkompetisi. Tidak ada ruang yang tepat untuk kami bermain dan sekaligus berkompetisi dengan sehat. Waktu kami telah tersita untuk mengejar nilai dan bukan untuk memahami nilai-nilai.
Maafkan kami Pak Menteri. Kami-kami ini hanyalah sekedar anak negeri dari negara yang tidak menghargai hidup dan kehidupan rakyatnya.
Salahkah kami, Pak Menteri?
[kkpp, 28.09.12]