Indonesiana, Viewfinder

Konser Krakatau Reunion: Gemilang

Apa yang diharapkan dari sebuah sebuah band yang reunian? Sebagian besar mungkin klangenan. Sekedar memenuhi harapan pasar dan penggemar? Mungkin juga. Tetapi bagi Krakatau sepertinya lebih dari sekedar itu.

Bagi grup band yang dilahirkan di Bandung tahun 1985 ini, berkarya dan terus melahirkan karya baru yang memperkaya khasanah musik tanah air tanpa semata ingin larut pada (selera) pasar serta dengan mengemban moral obligation untuk mengusung pesan-pesan bernada tentang lingkungan dan humaniora adalah salah satu hal yang melandasinya.

dsc_0093

Baca lebih lanjut

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

12 Foto Tahun 2012 Favorit Saya

Terinspirasi oleh postingan punya Bung Wira Nurmansyah a.k.a @wiranurmansyah (bisa baca di sini), saya jadi kepengin juga membuat hal yang serupa mumpung masih di minggu pertama tahun 2013.

Segera saya membongkar folder foto tahun 2012. Dari beberapa folder yang berserak, biasanya saya namai dengan format ‘tahun-bulan-jeniskamera’, saya mendapati 36 buah foto favorit saya. Favorit lho ya, bukan foto yang sempurna.

Tetapi memilih hanya 12 buah foto saja bukanlah semudah yang dibayangkan. (Saya jadi membayangkan betapa susahnya juri foto menilai siapa yang layak jadi pemenang). Baca lebih lanjut

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

Plengkung dan Taman Nasional Alas Purwo (3)

kkpp11Antara Rowobendo dan Pancur, dua resort di area Taman Nasional Alas Purwo dimana masing-masing terdapat pos penjagaan (baca di sini dan sini), sebenarnya hanya terpisah lima kilometer saja. Tetapi di perjalanan kami banyak mampirnya. Walhasil jarak yang tak seberapa itu kami tempuh lebih dari dua jam.

Pura Giri Saloka, adalah salah satu spot antara Rowobendo dan Pancur. Umumnya menjadi tujuan dari peziarah religius umat Hindu. Beberapa mobil ber-plat mobil ‘DK’ tampak beriringan bersama kami siang itu (20/10).

Indahnya pemandangan alam berpadu dengan keindahan sosial, manakala mobil four wheel drive penuh dengan pecalang sengaja berhenti, memisahkan diri dari rombongan hanya untuk menolong kendaraan  lainnya yang tengah kesusahan karena ban bocor. Baca lebih lanjut

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

Plengkung dan Taman Nasional Alas Purwo (1)

Saban pagi, biasanya saya kecipratan merdunya kicauan burung-burung berkicau. Saya memang termasuk beruntung. Merdunya kicauan itu saya nikmati secara gratis, tanpa harus keluar biaya memelihara burung-burung berkicau itu. Para tetangga yang mempunyai kegemaran memelihara burung-burung itu pun juga sungguh berbaik hati dengan tak pernah mengirimkan tagihan atas kenikmatan itu.

Tetapi ada yang berbeda dengan pagi di hari Minggu (21/10) itu. Kali ini, merdunya kicauan burung itu saya nikmati dari burung-burung liar. Bukan yang beterbangan di sekitar rumah, tetapi langsung dari tepian Taman Nasional Alas Purwo. Tepat di semenanjung Blambangan, semenanjung yang berada di sisi tenggara Pulau Jawa. Baca lebih lanjut

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

Seribu Sudut Masjid (2)

#2 Masjid Agung Sidoarjo

Masjid Agung Sidoarjo

Masjid Agung Sidoarjo

Setelah Masjid Cheng Ho di Pandaan, maka pada serial kedua ini kiranya saya tak afdol jika tidak menempatkan Masjid Agung Sidoarjo, masjid yang menyandang kategori ‘agung’ di kabupaten dimana KTP saya bernaung.

Baca lebih lanjut

Standar
photography, Viewfinder

Seribu Sudut Masjid (1)

Idenya sih sudah lama pengin punya serial postingan kisah foto tentang masjid. Ya, masjid. Rumah peribadatan umat Islam sekaligus pusat peradaban Islam.

Mungkin karena di Indonesia yang mayoritas umat muslim, kurang lebih 85% dari 240 juta penduduk pada tahun 2010, kehadiran masjid memang sedemikian mudah dirasakan. Bahkan di beberapa tempat, jarak satu masjid dengan masjid yang terdekat hanya dalam radius puluhan meter saja, maka kehadiran masjid seolah biasa saja di keseharian kita. Padahal untuk membangunnya bukanlah perkara biasa, belum lagi perkara memakmurkannya.

Nah, serial ini bermaksud untuk mengabadikan sudut-sudut masjid yang ada, dengan segala pesonanya. Sekedar pengingat, bahwa pada seribu sudut masjid itu menunggu kita untuk memakmurkannya.

***

Hanya semata ide ini mengerucut berdekatan dengan liburan long weekend tahun baru imlek kemarin (23/1), maka di serial pertama ini adalah sudut sudut dari masjid ChengHo, yang kental bernuansa oriental. Bahkan jika tak cermat, banyak yang mengira jika bangunan ini adalah sebuah klenteng.

#1 Masjid Chengho, Jalan Raya Pandaan, Pasuruan

Parkiran yang cukup luas, tempat mampir yang ideal bagi pejalan Malang-Surabaya dan sebaliknya.

Berbalut merah, dengan aksen hijau dan warna keemasan, tampak berbeda dengan masjid kebanyakan

Lampion. Cantik menjelang Maghrib

Speechless.

Masjid ini terletak di jalan raya Pandaan, salah satu jalur terpadat di Jawa Timur. Menghubungkan ibukota propinsi, Surabaya, dengan kota terbesar keduanya, Malang.

Merupakan masjid berlantai dua, dengan ruang utama terletak di lantai dua, sedangkan di lantai satu adalah ruang serba guna. Sayang, meski ada himbauan untuk melakukan sholat di lantai dua, masih saja ada yang melakukan sholat di lantai satu.

Cukup menyenangkan sebagai tempat persinggahan: parkiran luas, tukang parkir yang ramah serta tempat wudlu dan toilet yang sangat memadai. Apalagi di pojok belakang ada warung kopi, murah meriah dan merakyat. Dari parkiran itu pula, keindahan gunung Penanggungan bisa terlihat.

Maka, cobalah untuk singgah, merasakan kebhinekaan sedemikan dekat, merasakan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.

[kkpp, 31.01.2012]

Keping terkait:

Pesona Penanggungan

Standar
photography, Resensi, Viewfinder

Kamera Kedua

Sebagai alat berburu obyek foto, saya masih menyukai kamera DSLR sebagai alat tembak yang berdaya guna. Bahkan, menyetujui apa yang disampaikan mas Arbain Rambey di suatu acara workshop tahun yang lalu, usai acara itu saya berkeinginan menambah satu set lagi body camera DSLR. Bukan untuk maruk atau gaya-gayaan (baca juga: Fashion dan Function), tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa pada suatu acara perburuan obyek foto ternyata obyek lebih tepat ‘ditembak’ menggunakan kombinasi set tertentu. Biasanya, jika hanya membawa satu body camera DSLR, harus dilakukan penggantian ke jenis lensa lainnya. Penggantian lensa ini tentu saja memakan waktu tetapi mengorbankan momen yang hilang tak bisa digantikan. Karenanya, jangan heran bila menjumpai fotografer pun juga jurnalis foto membawa lebih dari satu set kamera.

Tetapi sebelum niat itu terlaksana, belakangan saya malah berkeinginan mempunyai kamera saku sebagai kamera kedua. Alasannya sama: takut kehilangan momen, khususnya di acara-acara yang tidak memungkinkan membawa kamera DSLR.

Di acara workshop yang sama, mas Arbain Rambey memberikan contoh sebuah foto yang dimuat di halaman depan harian Kompas, yang diambil ‘hanya’ menggunakan kamera handphone. Diceritakan waktu itu, kondisi tidak memungkinkan membawa kamera karena masyarakat di sekitar obyek foto ‘alergi’ dengan keberadaan jurnalis foto.

Masuk akal juga, daripada mengantongi kamera saku dan juga telepon genggam, biar lebih praktis, kamera saku itu cukup sebagai sebuah feature dari telepon genggam. Cuma ada satu barang di saku, tetapi dengan dua fungsi sekaligus.

Pilihan pertama memang adalah Iphone, kemudian juga Xperia-nya Sonny Ericsson.

Bukan keduanya yang saya pakai sebagai kamera kedua. Tetapi akhirnya saya malah melabuhkan ke Blackberry 9860 Monza. Sebuah pilihan alternatif sekaligus untuk mengganti blackberry lama saya yang mulai kian terengah-engah.

Sebagai kamera kedua, inilah beberapa hasil jepretan dari Blackberry 9860 Monza.

Embun dan Blimbing Wuluh.

Durian. Kiri dan kanan adalah obyek yang sama tetapi dengan beda cara 'menembak'.

Nameplate. Salah satu kegunaan kamera kedua, untuk memfoto obyek di pabrik, lokasi terbatas dan perlu jarak dekat.

Malam. Nyoba berburu obyek di malam hari.

Dipadukan dengan salah satu software dari Blackberry Application World

Bagaimana?

Cukup berdaya-guna kan meski hanya sebagai kamera kedua…

[kkpp, 16.01.2012]

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

Menari di Atas Ombak

Dari banyak daya tarik yang dipunyai Ibu Pertiwi, salah satu yang disukai adalah ombaknya yang membuat wisatawan manca negara menambahkan hal tersebut di list-nya.

Pantai Kuta Bali, salah satu pantai paling terkenal di negeri ini, juga menawarkan pesona bermain dengan papan. Setidaknya bagi mereka yang masih awam dan belajaran. Berikut adalah keping-keping yang sempat saya abadikan.

Bersiap mencari ombak

[kkpp, 21.08.2011]

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

Pesona Penanggungan

Pada suatu kesempatan, saya bersama tamu dari Singapura yang hendak melakukan kunjungan bisnis melintas jalur tol Porong-Waru sebelum jalur itu hilang terlindas lumpur Lapindo. Sang tamu berulang kali menggumam tentang gunung Fuji (3.776 mdpl) sambil menatap pemandangan yang terhampar di sebelah kanan.

What did you say? Fuji?” sergah saya.

“Ya, Gunung Fuji. Mirip.”

“Jauh lebih kecil, bukan?” saya tak percaya.

“Benar. Ini miniaturnya Fuji. Coba lihat bentuk dan warna birunya. Suatu saat, datanglah ke Jepang dan bandingkan,” kata sang tamu mencoba meyakinkan saya.

“Apa namanya?” tanyanya kemudian.

“Penanggungan,” saya menjawab singkat sambil membatin, dasar Singaporean, gak pernah punya gunung, bisa-bisanya takjub dengan gunung yang sering saya lewati saat pulang balik Surabaya-Malang itu. Angan saya berkelana saat obrolan jadi senyap. Pikir saya, ya, jauhlah dengan pesona Semeru (3.676 mdpl),  gunung tertinggi di pulau Jawa yang terletak di sebelah timur kota Malang, yang senantiasa saya kagumi setiap berangkat ke sekolah menengah dulu. Tetapi keseriusan sang tamu mengamati Penanggungan membuat saya ikut memperhatikan gunung itu secara seksama.

Rupanya dia benar. Gunung Penanggungan pagi itu tampak biru cerah mempesona meski terlihat mungil dibandingkan dengan dua gunung yang mengitarinya: gunung Arjuno dan gunung Welirang. Bandingkan saja, gunung Arjuno setinggi 3.339 mdpl, gunung Welirang setinggi 3.156 mdpl, sedangkan Penanggungan hanya setinggi 1.653 mdpl.

Penanggungan | dari arah jalan raya Trawas-Mojosari (2011)

Penanggungan | dari arah Porong (2010)

Penanggungan | di kala senja, dari arah Pandaan (2011)

Tetapi Penanggungan-lah, gunung terdekat bagi warga Surabaya untuk plesir. Tretes, Trawas, Prigen, adalah beberapa lokasi yang tak jauh dari gunung itu. Di gunung itu pula, banyak terdapat artefak peninggalan Majapahit. Berbeda dengan ibukota Trowulan, yang dimaksudkan peninggalan di sini kebanyakan berupa punden berundak, petirtaan, serta gua atau ceruk yang konon biasa digunakan sebagai pertapaan. Dari beberapa candrasengkala yang ditemukan, menunjukkan peninggalan-peninggalan tersebut dibangun di masa akhir Majapahit. Sementara di Negarakertagama, gunung ini disebut dengan Pawitra, salah satu gunung suci bagi Majapahit.

Saya sendiri belum sempat berkunjung situs-situs itu dari dekat. Katanya sih ada puluhan situs yang bisa dikunjungi. Tetapi setelah mengunjungi Trowulan beberapa waktu yang lalu (baca di sini), saya jadi ingin menjelajahnya dari dekat.

Sementara saya hanya bisa memandangnya dari jauh. Setiap pagi sambil membuka pintu pagar sebelum berangkat ngantor.

[kkpp, 22.07.2011]

Keping terkait

Bersepeda ke Lapindo

Sila mampir juga ke

Millenarisme di Gunung Penanggungan

Ratusan Candi di Gunung Penanggungan

 

 

Standar
photography, Travelling, Viewfinder

Nambangan dan Kenjeran: Suatu Senja

Gara-gara pengin nyobain sendiri bagaimana beda penggunaan lensa biasa dengan lensa berfilter, jadilah senja itu (11/7) kami meluncur ke pantai timur Surabaya.

Suasana benar-benar lengang. Hanya beberapa pasangan yang ‘menghiasi’ pantai Kenjeran yang tampak tak terawat. Sepertinya sentuhan Walikota Tri Rismaharini, yang telah teruji menyulap beberapa sudut kota Surabaya yang lusuh menjadi hijau dan indah, kali ini tak terlihat.

Gerbang

Lantas kami melanjutkan ke sisi utara dari pantai Kenjeran menuju pantai Nambangan.

Berbeda dengan pantai Kenjeran yang konon pernah ditangani secara serius, pantai ini sama sekali belum pernah. Pantai berbatasan dengan tanggul batu yang mecegah ancaman abrasi dan banjir pasang. Dari pantai ini, pengunjung bisa menikmati keindahan jembatan Suramadu di kejauhan. Apalagi malam, kerlap-kerlipnya sungguh memukau. Sayang, kali ini saya tak membawa tripod.

Pada hari terang, pengunjung bisa menyewa perahu. Beberapa bulan yang lalu sih saya sewa seratus ribu hingga hingga ke sisi bawah jembatan Suramadu.

Beda dengan kunjungan sebelumnya, saya cukup kaget. Jalan Nambangan yang sempit sudah jadi dua jalur.

Lengang

Malam kian gelap. Tanpa tripod, rasanya harus berbesar hati pulang tanpa foto jembatan Suramadu yang menantang. Niat semula kan memang nyoba filter, bukan tripod, hehehe.

Mudah-mudahan, di kunjungan berikutnya ada perubahan signifikan di dua potensi di sisi timur Surabaya yang nyaris gratisan itu.

[kkpp, 15.07.2011]

Keping terkait:

Senja

Standar