Sejak dikenalkan aplikasi waze oleh seorang kawan yang day-to-day-nya mengarungi kerasnya rimba jalanan ibukota, praktis aplikasi tersebut masih setia ter-install di handphone saya hingga hari ini, meskipun day to day jalanan keseharian saya jauh lebih bersahabat dibandingkan Jakarta.
Awalnya ngerasa waze ini lebih cocok di Jakarta dimana kemacetan dimana-mana serta perlunya pilihan atas jalan alternatif tersingkat, waze menawarkan kemudahan buat penggunanya, komunitas wazer, untuk bisa memilih jalur ataupun memperkirakan waktu kedatangan, serta memenuhi rasa ingin tahu ada kemacetan semacam apa di depan sana.
Saya nyaris meng-uninstall-nya. Terutama karena alasan jarang dipakai dan ada isu boros baterai. Di sekitaran Surabaya sini, dimana kemacetan lebih dapat diprediksikan pada jam-jam tertentu dan lokasi tertentu, serta rute yang nyaris hapal, buat apalagi aplikasi GPS dan navigasi? Toh untuk kabar tentang ada kemacetan yang tidak terprediksi ada Suara Surabaya FM yang dapat diandalkan oleh warga Surabaya.
Lantas mengapa masih install waze?
Tak lain karena saya bisa memprediksi waktu kedatangan.
Seperti malam ini (6/3) misalnya. Jalur Malang ke Surabaya senantiasa padat di minggu malam. Sementara saya harus sampai di rumah sebelum kick off Liverpool FC jam 20.30.
Pas sebelum berangkat, jam 17.22 dari perempatan Blimbing, traffic light Masjid Sabilillah, intip waze sejenak, prediksi kedatangan ke rumah adalah 19.49. Dan benar saja, sampai di rumah adalah 19.46. Hanya selisih 3 menit.
Kejadian semacam ini bukan yang pertama. Sudah berulang kali. Jadi monggo saja pake waze jika Anda termasuk concern harus sampai di tujuan jam berapa.
[kkpp, 06.03.2016]