Gak enaknya cadangan, berharap ada apa-apa dengan yang utama.
Begitulah perasaan yang saya alami dan kemudian saya tweet-kan hari Rabu (29/1) kemarin. Bukan, saya bukan sedang menjadi bench-warmer sebuah pertandingan bola. Tetapi waktu itu saya berada di Bandara Soekarno Hatta International Airport, tanpa tiket tetapi berharap kebagian tiket untuk pulang.
Sempat muter dari terminal 2F ke terminal 3. Nihil dan kemudian lanjut ke terminal 1. Sama saja lantas kembali ke terminal 2F. Jadilah kemudian mendaftarkan diri sebagai penumpang cadangan dengan segenap perasaan campur aduk. Karena sebagai cadangan, artinya baru bisa terangkut jika ada yang cancel. Umumnya di Jakarta sih karena terlambat atau kendala lainnya. Makanya gak enak banget, berharap terangkut sama saja berharap ada yang lain mendapat kendala.
Ada sih cara lain, lewat calo. Tapi harga di peak season sudah tidak masuk akal, serta jika turut membeli berarti sama saja menyuburkan praktek percaloan.
***
Begitulah. Sebagai penentu rencana kita pasti memerlukan cadangan.Sedia payung sebelum hujan kata peribahasa. Apa jadinya jika kita melakukuan perjalanan darat tanpa ban serep. Repot kan jika terjadi apa-apa dengan empat ban utama tanpa membawa ban serep. Demikian halnya repot juga jika menjadi manager tim tanpa membawa pemain cadangan. Bagaimana bisa mengharapkan kemenangan jika pemain pas-pasan?
Tetapi bagaimana rasanya jadi cadangan? Rasa sebagai ban serep, rasa sebagai pemain cadangan, rasa sebagai yang tidak diutamakan …
Ada yang betah dan tentu saja ada yang tidak betah. Anda termasuk yang mana?
[kkpp, 31.01.14]