Seorang Associate Professor di almamater melakukan pengamatan pasca perubahan yang dilakukannya pada kolam ikan kesayangannya. Dia memberikan pembatas pada kolamnya, dan memberikan perbedaan perlakuan dari dua kolam yang terpisahkan pembatas baru tersebut. Di satu sisi, diberikannya supply air dan supply udara yang lebih baik dibandingkan dengan kolam sisi yang lain. Apa yang terjadi?
Baca lebih lanjutCategory Archives: Marketing
Car Free Day dan Media Sosial
Apa yang menyamakan antara Car Free Day (CFD) dan medial sosial?
Yang satu di jalanan, yang satu di dunia maya. Keduanya menautkan publik untuk saling berinteraksi. Awalnya, CFD adalah sebuah ide untuk mengistirahatkan sebuah kota dari polusi kendaraan bermotor, barang dua-tiga jam, asal bisa mendapatkan udara segar sebagai balasannya. Sedangkan media sosial awalnya digunakan untuk saling menemukan teman, kawan, sahabat dan saudara yang terpisah hingga akhirnya menjadi media saling berbagi kabar. Senang ataupun susah dibagi bersama-sama. Rekatnya persahabatan dan persaudaraan didapatkan sebagai balasan mereka yang bermedia sosial.
Tapi begitulah. Ide awal bisa bergeser dari niatannya. Baca lebih lanjut
Iklan Colongan
Judul postingan kali ini terinspirasi dari curcol. Curhat colongan. Lah, singkatan dalam singkatan. Bukankah curhat-nya sendiri juga singkatan dari curahan hati. Menurut Amin Aulawi via inovasee.com (bisa baca di sini), curcol adalah kata dan juga istilah tahun 90-an. Amin mengkelompokkan curcol sebagaimana EGP, ember, koit, hebring, gundah gulana serta ngocol.
Hihihi, masak sih gak ada yang tahu dari kata-kata dan istilah-istilah tersebut?
Nah, menariknya, di tulisan Amin Aulawi tersebut, pas penjelasan tentang curcol menggunakan foto ilustrasi adegan dari Cinta bersama genk-nya di AADC-1. Duh kan, malah jadi curcol sendiri. Hihihi. Baca lebih lanjut
Switching Voters
Di dunia marketing, sudah lama mengenal konsep switching customers. Konsep ini gampangannya adalah pelanggan yang berpindah ke penyedia jasa/barang kompetitor karena sesuatu hal. Biasanya karena hal-hal yang berkenaan dengan perang harga atau bisa juga karena kualitas jasa layanan, yang sebelumnya menurun, atau yang kompetitor terlihat lebih baik.
Lumrah. Karena sudah menjadi hukum alam, customer senantiasa akan mencari barang dan atau jasa yang lebih baik dengan harga serendah-rendahnya. Baca lebih lanjut
Pilihan (yang) Emosional
Saya akan mengingat sebuah malam saat Hermawan Kartajaya membukakan pemahaman saya akan sebuah hal. Di sebuah acara MarkPlus Dinner Seminar yang saya lupa tanggal pastinya, Sang Guru Marketing tersebut meyakinkan saya bahwa serasional-rasionalnya sang pembeli yang mengaku rasional, maka akan terselip hal emosional yang menentukan sebuah pilihan. Baca lebih lanjut
Iklan Favorit
Tak biasanya saya menyukai iklan di televisi. Jaman masih nonton televisi secara jamaah jaman pas tinggal di asrama atau kost-kostan, saat iklan adalah saat yang tepat untuk berpindah channel, untuk mengecek sedang ada acara apa di channel tetangga. Karena itu, penguasa televisi ditahbiskan kepada kawan yang memegang remote.
Dengan kuasa jempolnya, acara televisi bisa berpindah-pindah manakala iklan ditayangkan. Baca lebih lanjut
Perantara
Pernahkah menjumpai iklan yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Dijual Tanpa Perantara”? Tak asing bukan? Baik di media iklan baris ataupun juga tertempel langsung di pagar rumah yang hendak dijual.
Mengapa ada iklan semacam itu? Rasanya sih karena alasan si pemilik barang tidak berkeinginan berhubungan dengan si perantara. Ada dua hal biasanya: satu, lebih ribet urusannya, serta alasan kedua, si pemilik barang tidak berkeinginan untuk mengakomodasi biaya si perantara baik dengan cara menaikkan harga barang yang menyebabkan harga tidak kompetitif ataupun juga dengan cara mengurangi keuntungan si pemilik.
Wajarkah pemikiran si pemilik barang sebagaimana di atas? Jika wajar, berarti apakah salah keberadaan si perantara?
Kartu Lebaran
Jaman kecil saya dulu, saya masih teringat dengan ritual penuh sesaknya Kantor Pos Besar Malang yang terletak di dekat alun-alun, jelang hari raya Idul Fitri seperti saat ini. Mulai dari bersesak-sesak memilih kartu lebaran, antri beli prangko, dan membubuhkan tulisan yang senantiasa saya kenang: “Sungkem saking Malang”. Ya, sepucuk kartu lebaran buat Mbah Kakung dan Mbah Putri di Yogyakarta, bilamana pada tahun itu kami tidak berkesempatan sowan ke sana.
Sepenuh hati saat itu saya percaya, Mbah Kakung bakal berbinar menerima sepucuk kartu lebaran dari kami, cucu-cucunya yang ‘mecethat‘ terpisah jarak, dan dengan bangganya memamerkannya ke Mbah Putri.
Murah
Cak Rie hanya membolak-balik koran pagi ini di warung yang masih sepi. Hanya seorang mahasiswa yang tengah menghabiskan semangkok mie instant goreng tanpa tolah-toleh duduk di pojokan.
Tiba-tiba seseorang datang dan berteriak,”Cak Rie, kopine koyok biasa.”
Tak Cukup Jokowi
Bintang pembicaraan di minggu awal tahun 2012 ini tak pelak adalah Jokowi. Pria kelahiran 21 Juni 1961 ini adalah pemilik nama Joko Widodo, Walikota Solo untuk periode yang kedua kalinya pada periode 2010-2015, yang menghebohkan media kali ini dengan pemberitaan tentang penggunaan mobil buatan pelajar SMK sebagai mobil dinas menggantikan Toyota Camry yang telah digunakan sejak walikota sebelumnya.

Mobil buatan siswa SMK 2 dan SMK Warga Surakarta yang diparkir di halaman Balai Kota Surakarta, Senin, (2/1). Sumber: TEMPO/Ukky Primartantyo. (http://www.tempo.co/read/news/2012/01/03/058375050/Demi-Mobil-Rakitan-Esemka-Jokowi-Ganti-Mobil)
Sedemikian hebohnya, sampai-sampai banyak pihak yang ikutan numpang beken. Persis fenomena euforia reformasi di kala tahun 1998-an.
Ada pro kontra tentu saja. Tapi dari sisi positifnya memang, bahwa ternyata fenomena mobil Kiat Esemka yang digunakan Walikota Solo itu menumbuhkan benih kerinduan pada produk nasionalis, kerinduan pada pengakuan bahwa kemampuan anak bangsa tak kalah dengan bangsa-bangsa lain, serta kerinduan pada pejabat yang langsung memberikan teladan bagi rakyatnya.
Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana kerinduan-kerinduan itu tidak layu sebelum berkembang. Terlihat sepele, tetapi ternyata banyak hal yang harus dikerjakan.
Soal mobil nasional misalnya, kita telah mempunyai cita-cita itu sejak beberapa tahun yang lalu. Masih ingat dengan kisah Timor bukan? Bagaimana kemudian bisa gagal? Faktor Tommy Soeharto semata? Atau faktor keberpihakan pemerintah saat itu yang terlihat dari kebijakan yang ditempuhnya? Atau ada kekuatan kapital yang memang sengaja menjegalnya?
Belum lagi dari soal definisi produk nasional di era globalisasi yang membuat batas definisi itu semakin kabur. Apakah yang dimaksud produk nasional itu adalah produk yang 100% menggunakan komponen dalam negeri? Atau dibuat dengan ‘branding’ dalam negeri? Atau dimodali oleh 100% modal dalam negeri? Coba lihat sejenak komputer yang Anda gunakan sekarang untuk membaca postingan ini. Apakah merk-nya? Apakah negara asal merk sama dengan negara tempat komputer itu dibuat? Bagaimana dengan komponen-komponennya?
***
Harus diakui bahwa Jokowi telah sukses bertindak sebagai product endorser tidak saja bagi Kiat Esemka, tetapi juga product endorser kemampuan anak-anak bangsa. Persis sebagaimana yang dilakukan oleh Agnes Monica atas Honda, pun juga Didi Petet atas Yamaha.
Jokowi membukakan lagi ingatan kita, jangankan untuk membuat mobil, soal kemampuan teknis, kita pernah punya PT Dirgantara Indonesia yang bisa membuat pesawat, juga PT Pal Indonesia yang bisa membuat kapal dengan panjang kapal lebih dari ratusan meter. tetapi bagaimana nasibnya sekarang?
Jokowi membukakan lagi ingatan kita, adakah dunia industri dan dunia pendidikan terkorelasi dengan baik? Masih ingat dengan konsep link and match-nya Menteri Wardiman?
Jokowi telah melangkah dengan cerdas. Tetapi tak cukup dengan semata memasang plat nomernya pada Kiat Esemka. Karena Jokowi hanyalah trigger, yang seharusnya memacu para pemangku kebijakan untuk bertindak. Departemen-departemen terkait harus lebih banyak bekerja dengan aksi nyata. Tak cukup dengan konsep-konsep di atas kertas. Sidang kabinet tak cukup sekedar tut wuri handayani, tetapi harus ing ngarso sung tulodho.
[kkpp, 09.01.2012]