Apa yang menyamakan antara Car Free Day (CFD) dan medial sosial?

Yang satu di jalanan, yang satu di dunia maya. Keduanya menautkan publik untuk saling berinteraksi. Awalnya, CFD adalah sebuah ide untuk mengistirahatkan sebuah kota dari polusi kendaraan bermotor, barang dua-tiga jam, asal bisa mendapatkan udara segar sebagai balasannya. Sedangkan media sosial awalnya digunakan untuk saling menemukan teman, kawan, sahabat dan saudara yang terpisah hingga akhirnya menjadi media saling berbagi kabar. Senang ataupun susah dibagi bersama-sama. Rekatnya persahabatan dan persaudaraan didapatkan sebagai balasan mereka yang bermedia sosial.

Tapi begitulah. Ide awal bisa bergeser dari niatannya. Atas nama kreatifitas, kedua ruang publik itu, CFD dan media sosial, segera saja dibajak kehadirannya. Pertama oleh aktivitas ekonomi. Bisnis, sales, marketing bersegera berlomba-lomba mengisi CFD dan media sosial sedemikian rupa. Dari korporasi hingga wirausaha kecil-kecilan.

Ruang baru harus dimanfaatkan. Peluang jangan disia-siakan, begitu kata para trainer dan motivator. Sukses didapuk aktivitas ekonomi, membuat aktivitas politik pun segera ikutan melirik. Konvoi, penggalangan ini-itu segera saja memakan ruang di CFD sebagaimana postingan iklan jualan dan postingan hoax membanjiri media sosial. Belakangan malah, banjir itu memakan korban. Saudara-saudara kita sendiri, kawan-kawan kita sendiri.

Tidakkah kemudian kita membaui pengapnya CFD dan media sosial?

Masih adakah yang tergerak untuk mendapatkan kembali CFD dan media sosial yang menyegarkan?

Mestinya, CFD dan media sosial perlu iri dengan trotoar yang nasibnya dulu juga sama, berawal dengan niat kebaikan bagi pejalan kaki hingga kemudian dibajak berbagai kepentingan, tetapi pelan-pelan mulai kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Mungkinkah CFD dan media sosial bernasib sama dengan trotoar?

[kkpp, 01.05.2018]