Menuliskan postingan ini (17/11) dan postingan sebelumnya, saya menggunakan aplikasi di handphone. Biasanya saya ngeblog ya hanya via laptop. Dengan menggunakan aplikasi di handphone, ngeblog jadi lebih ringkas karena saya tak lagi ribet mindahin data dari handphone ke laptop. Apalagi handphone dan laptop saya itu keduanya tak seiman yang bikin perlu beberapa penyiasatan agar keduanya bisa bersesuaian.
Baca lebih lanjutTag Archives: media sosial
Meme
Saya harus berterima kasih kepada kawan Hendri Prakosa. Sore tadi (15/5) di antara riuhnya pembahasan di grup whatsapp, sebuah meme terasa menyegarkan.
Hahaha, segera saja meme itu menyebar ke lima grup whatsapp dan satu group telegram yang lain. Gakpapalah, seperti kata Abu Nawas, cara terbaik jika jadi bahan tertawaan, ya ikut tertawa terbahak. Apalagi, hahaha. Baca lebih lanjut
Car Free Day dan Media Sosial
Apa yang menyamakan antara Car Free Day (CFD) dan medial sosial?
Yang satu di jalanan, yang satu di dunia maya. Keduanya menautkan publik untuk saling berinteraksi. Awalnya, CFD adalah sebuah ide untuk mengistirahatkan sebuah kota dari polusi kendaraan bermotor, barang dua-tiga jam, asal bisa mendapatkan udara segar sebagai balasannya. Sedangkan media sosial awalnya digunakan untuk saling menemukan teman, kawan, sahabat dan saudara yang terpisah hingga akhirnya menjadi media saling berbagi kabar. Senang ataupun susah dibagi bersama-sama. Rekatnya persahabatan dan persaudaraan didapatkan sebagai balasan mereka yang bermedia sosial.
Tapi begitulah. Ide awal bisa bergeser dari niatannya. Baca lebih lanjut
Twitter pun Berubah
Melalui blog resminya (bisa baca di sini), minggu pertama November ini, Twitter mengumumkan penambahan karakter di postingannya yang semula hanya 140 karakter menjadi dua kali lipatnya. 280 karakter. Semula, perubahan ini telah diujicobakan Twitter sejak beberapa bulan yang lalu. Saya termasuk yang beruntung menikmati perubahan itu di awal masa coba.
Apa yang berubah? Mungkin lebih enak sih, ketika nge-tweet ternyata melebihi 140 karakter, tidak perlu mikir lagi mengedit pilihan kata atau bagaimana menyingkat kata-kata agar bisa muat dalam sekali postingan. Pun, jika harus mention sana sini. Tetapi saya termasuk yang suka dengan versi lama karena dengan keterbatasan 140 karakter itulah mengapa kemudian saya lebih banyak aktif ngoceh di twitter daripada di facebook. Saya pernah menuliskan tentang kelebihan twitter ini hampir tujuh tahun yang lalu (bisa baca di sini). Sebuah kelebihan karena keterbatasan. Baca lebih lanjut
#351
Joanne Kathleen Rowling, ibu beranak satu ini sungguh kaya akan ide. Karyanya, Harry Potter dengan segala pernak-perniknya, sudah membuktikan hal itu. Dunia sudah membuktikannya.
Kapan hari saya pernah membahas tentang pensieve (bisa baca di sini), kali ini sebuah peristiwa mengingatkan saya pada bagaimana lukisan dikisahkan di Harry Potter. Dikisahkan dengan indah di buku serta divisualisasikan dengan cermat di filmnya, JK Rowling membuat pernak-pernik bahwa tokoh yang terdapat di lukisan bisa bergerak-gerak dan ia bisa berpindah ke lain frame. Ide yang ajib.

Lukisan di Harry Potter. Foto dari blog http://www.dimasramadhan.com yang di salah satu postingannya bercerita kunjungannya ke Universal Studios Japan di Osaka tahun 2015 yang lalu. Kisah tentang itu bisa dibaca di sini.
Terima kasih, Mukidi!
Siapakah Mukidi? Tahukah bagaimana asal mulanya Mukidi kemudian menyusup ke kehidupan kita beberapa hari ini melalui media sosial fesbuk pun juga path, juga bergerilya dari satu grup whatsapp ke grup whatsapp yang lain? (BBM grup mungkin iya, tapi masalahnya, grup BBM saya tinggal beberapa saja).
Siapakah Mukidi? Dari mana asal-usulnya? Dari keluarga baik-baik atau …
Tanpa meng-googgling yang saya tahu Mukidi adalah tokoh yang hadir di cerita-cerita guyonan daur ulang. Guyonan biasa atau guyonan menjurus, kisah lawas yang tokohnya berbeda-beda (bahkan kita lupa dulu siapa sang tokoh itu) tetapi kemudian sontak hadir lagi kisah yang sama tapi dengan berganti nama menjadi Mukidi. Semua tokoh ter-Mukidi-kan.
Kesan dari Sampul
Don’t judge a book by its cover.
Metafora yang ini sudah sering kita dengar. Pesannya singkat, bahwa sebagaimana kita tidak bisa menilai (kualitas) buku dari sampulnya, kita pun sebaiknya tidak menilai seseorang dari tampilan luarnya saja tanpa mengenal lebih jauh siapa seseorang tersebut. Baca lebih lanjut