Di dunia marketing, sudah lama mengenal konsep switching customers. Konsep ini gampangannya adalah pelanggan yang berpindah ke penyedia jasa/barang kompetitor karena sesuatu hal. Biasanya karena hal-hal yang berkenaan dengan perang harga atau bisa juga karena kualitas jasa layanan, yang sebelumnya menurun, atau yang kompetitor terlihat lebih baik.
Lumrah. Karena sudah menjadi hukum alam, customer senantiasa akan mencari barang dan atau jasa yang lebih baik dengan harga serendah-rendahnya.Salah satu contoh adalah saya sendiri yang kembali berpindah ke Indovision (bisa baca di sini).
Kebetulan juga kemarin (11/2) saya mampir di blog punya Edward Suhadi. Postingannya berjudul Berjabat Tangan di Persimpangan, disampaikan dengan cukup menyentuh dengan bahasa yang lugas. Postingan ini terkait dengan kegaduhan pilkada Jakarta yang hari-hari ini tinggal menunggu hari pemilihan. Pilkada yang bagi saya sendiri hanya mengamati dari kejauhan. Sengaja saya mengambil jarak, tak melibatkan diri, karena memang apa pentingnya bagi saya yang tak punya hak pilih? Saya tak terikat pada satu partai politik manapun, pun juga situasinya tak cukup menggerakkan saya sebagaimana pilpres 2014 yang lalu (bisa baca di: Ya, Saya telah Memilih). Dan yang terpenting bagi saya, mestinya kita juga memberikan porsi yang sama ke pilkada yang lain. Banten misalnya yang juga ber-pilkada di tahun yang sama. Atau kita hendak melestarikan paradigma Jakarta-sentris dengan melegitimasi bahwa pilkada Jakarta ini mempengaruhi keseluruhan nasib Republik ini?
Kembali ke postingan di blog Edward Suhadi tadi, saya jadi berpikir, jika di dunia marketing soal switching customers adalah hal yang lumrah, bagaimana dengan switching voters? Saya teringat istilah ini karena istilah swing voters banyak didengungkan. Kata para pengamat swing voters inilah yang bakal menjadi variable penentu siapa yang terpilih di pilkada kali ini.
Swing voters. Switching voters. Switching customers. Terdengar sebagai rima yang senada, tapi apakah menunjukkan antara dunia marketing dan dunia politik adalah sesuatu yang sebangun?
Mungkin keingintahuan saya terasa berlebihan. Karena sejatinya, pemilih baru memilih ya ditentukan di hari pemilihan bukan? Sebelum hari-h, apapun bisa terjadi. Bahkan salah satu tujuan kampanye bukankah untuk mengajak yang belum punya preferensi pilihan menjadi punya pilihan atau malah mengubah yang sudah punya preferensi untuk memilih preferensi yang lain? Jika tidak, buat apa masa kampanye bukan? Masak kampanye hanya sekedar show of force yang menghamburkan biaya?
Aniwei, wahai warga Jakarta, selamat memilih! Alasan rasional ataukah alasan emosional yang bakal memenangi pilkada kali ini hanya dalam beberapa hari akan kita nantikan hasilnya. Siapa yang menang?
[kkpp, 12.02.2017]