Bagi banyak orang, “jay” banyak digunakan sebagai nama panggilan yang gaul. Entah nama panjangnya Zainal, Sanjaya, Jaelani, ehm… apalagi ya. Menurut kamus Inggris-Indonesia, “jay” adalah kata benda yang merujuk salah satu jenis burung yang ribut bunyinya.
Sementara di kolom majalah Marketing terbitan Mei 2007, Handi Irawan menulis tentang “Jay Customer“. Menurutnya, jay customer adalah adalah istilah yang digunakan bila konsumen sudah memperlihatkan perilaku yang merugikan orang lain. Termasuk dalam kategori ini adalah para konsumen yang suka berbohong. Misalnya mencuri umur untuk mendapatkan tiket menonton bioskop pun juga untuk tiket pesawat. Atau juga mengaku sebagai seseorang untuk mendapatkan fasilitas sebuah klub atau perkumpulan. Perilaku yang sering ditemui lainnya adalah berbohong untuk mendapatkan garansi atau untuk klaim asuransi kendaraan.
Selain berbohong, Handi Irawan juga mengkategorikan jay customer untuk perilaku mencuri dan merusak. Perusahaan yang sering mengalami kerugian karena hal ini adalah PLN, peritel besar, KAI, perusahaan penerbit kartu kredit, perbankan, operator telepon seluler, penyelenggara acara musik dan olahraga. Perilaku tersebut tampak di sekeliling kita. PLN misalnya, pencurian listrik tidak saja dilakukan oleh konsumen kecil namun juga konsumen besar. Tak jarang pula kita menemui beberapa orang yang tampak tidak bersalah ketika menunggak sejumlah besar tagihan kartu kredit tanpa susah untuk mendapatkan kartu ketiga, keempat dan seterusnya.
Handi Irawan yang saat menulis kolom itu masih menjabat sebagai Chairman Frontier Consulting Group mengkorelasikan bahwa jay customer terkait dengan perilaku masyarakat yang tidak tertib dan egois. Karenanya banyak perusahaan di Indonesia yang sedang dan berpotensi menghadapi jay customer ini.
Bagi perusahaan yang tengah berusaha meningkatkan pelayanannya, jay customer yang tidak tertangani justru malah membuat perusahaan menjadi apatis. Di tengah krisis listrik, nilai kerugian PLN akibat tindak jay customer ini cukup signifikan. Sehingga saat PLN berkeinginan untuk menaikkan harga jual listrik banyak ditentang berbagai kalangan dengan alasan bila PLN dapat menangani kerugian karena listrik hilang, kenaikan harga tidak perlu dilakukan.
Di bisnis perbankan, kenaikan jay customer ini memunculkan bisnis debt collector yang kian subur. Sementara bagi peritel besar, mengalokasikan 2% sebagai biaya ongkos kehilangan stok. Bagi KAI, jay customer menyebabkan sulitnya pengembangan perusahaan akibat banyaknya penumpang gratisan serta keengganan potential customer melirik moda transportasi kereta api yang terlihat kumuh. Sedangkan di bisnis asuransi, jay customer menyebabkan tingkat kepercayaan perusahaan kepada customer rendah akibat memukul rata bahwa semua customer adalah jay customer padahal perilaku itu juga ditunjang oleh salesperson yang takut kehilangang pelanggan.
Memang situasi yang cukup sulit bagi perusahaan. Namun penanganan yang benar justru akan menyebabkan pertumbuhan bisnis. Beberapa tahun yang lalu, sepakbola Inggris menghadapi sejumlah besar kerugian akibat hooligan, yang dapat dikategorikan sebagai jay customer. Suporter yang sering berbuat rusuh, merusak sejumlah fasilitas, dan aksi vandalisme lainnya ditangani dengan baik. Hasilnya kini Liga Inggris tumbuh menjadi Liga utama yang menjadi impian pemain berbakat di seluruh dunia dan menjadi bisnis yang tumbuh dengan menggiurkan yang mampu mengundang sejumlah investor asing.
Untuk menghadapi jay customer, Handi Irawan menawarkan agar perusahaan menghindari customer yang berkategori buruk tersebut karena tidak akan memberikan laba bagi perusahaan. Karenanya, perusahaan harus mampu mendeteksi dan mempelajari calon pelanggan. Perusahaan juga harus melakukan edukasi dan mampu mengkomunikasikannya. Serta yang terakhir, bagaimana perusahaan bisa menegakkan aturan tetapi tidak menjadi perusahaan yang birokratis.
Sebagai penutup, Handi Irawan menyampaikan bahwa penggunaan teknologilah cara ampuh meminimalkan jay customer, karena semua sistem yang serba manual memberikan peluang besar bagi pelanggan untuk berperilaku tidak tertib dan bertindak layaknya jay customer.
Bila Indonesia adalah perusahaan, mampukah pemerintah menangani jay customer-nya? Bagaimana menurut Anda?
[kkpp, 10.06.08]
Ping-balik: In memoriam: Zainal Arifin – tattock