Nylimur

Nylimur memang bahasa Jawa. Arti bebasnya sih adalah mengalihkan perhatian, mengalihkan pokok pembicaraan sehingga hal utama yang sedang menjadi bahasan terlupakan. Biasanya sih dipakai anak-anak manakala ditanyakan tentang sesuatu hal yang dirasa memojokkannya. Anak saya yang belum genap empat tahun misalnya, saat ditanya siapa yang mencoret dinding, serta merta kemudian nylimur dengan bercerita keinginannya memelihara kelinci. Begitu halnya anak teman sekantor yang seumuran dengan anak saya bila ditanya apakah mau makan apa misalnya, jadinya malah nylimur bercerita tentang mobil bagus yang tengah lewat di jalan.

Sindrom nylimur ini ternyata tidak hanya menjangkiti anak-anak. Beberapa orang dewasa pun ternyata mengidap kebiasaan yang sama. Ketidakmampuan menghadapi pokok permasalahan dialihkan dengan harapan sang audiens akan terlupa pada pokok permasalahan. Bila sang audiens tipe pelupa, atau tipe yang suka larut dalam perbincangan, atau tipe yang tidak fokus pada permasalahan, trik nylimur ini sering berhasil.

Seorang rekan di kantor, bila mendapatkan komplain dari customer, sering menggunakan trik ini. Tekniknya adalah dengan mengetahui benar pokok-pokok apa yang menjadi kesukaan sang pengomplain, sehingga bisa dengan mudah berkelit dari pokok yang dipermasalahkan. Bila tahu benar, seringkali trik ini berhasil dan komplain pun redam dengan sendirinya. Kadang sih tidak berhasil. Tapi tak ada salahnya untuk dicoba. Hehehe.

Dan ternyata bila diperhatikan, kita pun adalah bangsa yang suka nylimur dan di-slimurkan. Contoh sederhana adalah apa yang terjadi pada hari Minggu (1/6) yang lalu. Aksi kekerasan yang dilakukan FPI pada massa aksi yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang kemudian disebut http://www.kompas.com sebagai Tragedi Monas, kemudian banyak di-slimur-kan dengan isu pembubaran Ahmadiyah, dan juga isu Islam versus Pluralisme. Padahal, terlepas perdebatan panjang tentang isu-isu lain yang terkait, masalahnya sebenarnya sederhana: perbedaan pendapat bukanlah seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Titik. Atau dengan kata lain: penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan permasalahan bukanlah sebuah cara yang seharusnya dipilih bangsa ini.

Bila Anda tak suka tawuran antar pelajar dan merasa ngeri pada saat berada di antara dua kelompok yang saling lempar batu tersebut, tentunya bisa menerima klausul tadi (baca: kekerasan bukanlah cara yang diambil untuk menyelesaikan perselisihan) terlepas apa penyebab tawuran antar pelajar itu (bisa jadi karena rebutan pacar, rebutan angkot, kalah main bola, dan sejuta penyebab lain yang bisa terkait).

Dalam konteks nylimur itu tadi, bagi penyuka teori konspirasi, jangan-jangan aksi hari Minggu itu adalah salah satu cara pemerintah untuk nylimur dari demo-demo menentang kenaikan BBM, yang belakangan pemerintah kewalahan menanganinya, bahkan upaya nylimur dengan melakukan penggerebekan Bea Cukai oleh KPK pun tidak cukup untuk mengalihkan perhatian.

Bagi media, budaya nylimur ini pun lebih menarik dibandingkan dengan terus mencermati kejadian yang telah berlalu. Bagi mereka, selama bisa jualan sesuatu yang panas, buat apa menjual yang sudah dijajakan kemarin.

Ah, nylimur, nylimur. Ada yang tahu padanan katanya dalam bahasa Indonesia apa?

[kkpp, 05.06.08]

Tinggalkan komentar