Tim Nicho atau tim Chicco?
Hah? Saya kebingungan dan gak ngeh dengan pertanyaan itu. Untung si penanya melanjutkan dengan memberi ‘clue’,
“Udah denger belum lagu duet barunya Glenn dengan Tulus? … .” Hah? Glenn duet dengan Tulus? “Keren loh lagu dan dan video clip-nya,” kata si penanya di seberang gawai meyakinkan saya seperti bisa membaca pikiran saya. Katanya melanjutkan, “Tulus versus Glenn, kebayang dahsyatnya kan … .”
Say thanks ke teknologi masa kini, untuk tahu lagu baru begini gak harus ke toko kaset langganan yang kini sudah tutup di pojokan jalan Polisi Istimewa – jalan Sriwijaya. Sambil melanjutkan obrolan, segera saja saya ke youtube, mengetikkan keywords, dan muncullah video klipnya di tautan paling atas. Dan ketemulah pangkal pertanyaan di atas dengan bertemu Chicco Jerikho dan juga Nicholas Saputra sebagai bintang di video berdurasi 6 menit kurang 4 detik itu.
Video klip (anak sekarang bilangnya MV, music video) official dari duet Tulus dan Glenn berjudul Adu Rayu itu ternyata emang keren. Mojok pernah menuliskannya bahwa banyak wanita yang kemudian membayangkan pada posisi Velove Vexia, pemeran utama wanita di video klip tersebut, yang diperebutkan oleh Chicco dan Nicho. Mojok menuliskan: menjadi sosok yang rupawan dicintai dua lelaki yang tatapannya saja bikin klepek-klepek nggak karuan, meski galau nggak ketulungan, tapi tetap teramat sangat menyenangkan. Jadi, tim Nicho atau tim Chicco?
Itu tentang videonya, yang saking kerennya malah banyak yang mengusulkan untuk dijadikan film. Soal lagunya sendiri, intro-nya mengingatkan saya pada intro One Last Cry-nya Brian McKnight. Tapi secara keseluruhan, setelah ndengerin beberapa kali jadinya saya suka. Tulus dengan warna suara khasnya yang sebelum-sebelumnya beberapa lagunya ada di playlist saya, bertemu dengan suara khas Glenn yang menghanyutkan kaum patah hati. Keduanya berpadu dengan apik. Project bikin duet dua penyanyi solo papan atas ini layak dipujikan ke sang hits master: Yovie Widianto. Bisa jadi inilah lagu duet penyanyi pria Indonesia yang bakal masyhur dikenang masa. Dua penyanyi, dua talenta, dua warna khas, terjalin apik membawakan part-nya masing-masing untuk beradu memikat dan merayu pendengarnya.
Lagu ini pula yang melengkapkan karir Glenn Fredly Deviano Latuihamallo sebagai salah satu penyanyi terbaik negeri ini. Mengawali kesukaan menyanyi sejak kecil berkat didikan sang Opa, kemudian menjadi bintang lomba nyanyi antar sekolah, masuk ke industri musik tanah air ketika tampil sebagai vokalis dari grup band Funk Section yang digawangi musisi senior Mus Mujiono saat masih berseragam putih abu-abu, menjadi penyanyi solo pria papan atas yang menghasilkan lagu-lagu hits yang menghanyutkan dan sempat dijuluki Tevin Campbell-nya Indonesia, serta menjadi bagian dari grup penyanyi trio bernama Trio Lestari bersama dua penyanyi solo pria lainnya: Tompi dan Sandhy Sondoro. Lengkap sudah karir sebagai penyanyi. Sayang, karir itu terhenti karena Glenn Fredly telah dipanggil berpulang ke Sang Pencipta, 8 April 2020 yang lalu.
Tetiba saja ada rasa sesak saat mendengar kabar duka itu meski saya bukan fans berat Glenn Fredly. Dilahirkan di Jakarta, 30 September 1975, kepergiannya di usia belum genap 45 tahun, terasa singkat dan mendadak. Saya teringat lekat pada penggalan episode The Voice Indonesia edisi pertama, tahun 2013. Glenn waktu itu menjadi coach bersama Giring, Armand Maulana dan Sherina Munaf. Acara pencarian bakat penyanyi tersebut saya menyukai format acaranya. Di The Voice, empat coach yang duduknya membelakangi peserta (menghadap penonton) mendengarkan kontestan tanpa melihat. Babak awal yang dinamai Blind Audition ini buat saya seru, karena peserta terpilih ya karena kemampuannya menyanyi bukan karena bumbu pemanis lainnya. Jika sang coach merasa cocok dengan si peserta, maka ia memutar kursinya. Di babak ini serunya bertambah apabila ternyata ada dua atau lebih coach yang memutar kursi, maka sang coach akan saling adu rayu agar sang peserta memilih satu coach saja sebagai team-nya. Keseruan berlanjut di babak berikutnya. Di babak ini, berbeda dengan babak sebelumnya yang coach sibuk merayu, di babak ini justru si coach yang diharuskan membuang satu dari teamnya untuk mempertahankan satu saja. Seru lihat para coach harus sakit perut dan sakit hati karena hanya ada satu yang bisa lolos. Bayangin pula bagaimana jadi kontestan yang awalnya dirayu-rayu diperebutkan artis-artis papan atas negeri ini, eh belakangan malah dibuang.
Dari acara ini, saya melihat sisi lain Glenn. Bagaimana tertekannya dia saat harus membuang salah satu anggota timnya, di sisi yang lain dia menginginkan anggota timnya tadi sangat pantas untuk mendapatkan tempat di industri musik Indonesia. Dilema yang dihadapi para coach The Voice memang salah satu sisi menarik acara pencarian bakat ini dibandingkan ajang pencarian bakat lainnya. Glenn bisa melewati dilema tersebut (meski Glenn hanya tampil di satu musim tayang) dan benar-benar menepati janjinya. Anggota tim yang tidak dipilihnya itu, usai ajang pencarian benar-benar dibimbing dan dipolesnya. Maka lahirlah sang biduan baru dengan energi baru di blantika musik tanah air: Yura Yunita. Di tahun 2017 dan 2018, Yura dinobatkan sebagai Artis Solo Wanita Terbaik Anugerah Musik Indonesia (AMI).
Seminggu setelah tanggal berpulangnya Glenn (15/4), Yura memposting di akun instagramnya @yurayunita video dirinya dengan Glenn, dengan caption sebagai berikut:
GLENN FREDLY itu pahlawan. Jadi salah satu orang terpenting bukan hanya dalam perjalanan musik, tapi juga dalam hidup aku.
Rasanya ngga akan ada Yura yang sekarang kalau bukan berkat tangan besar Kak Glenn. Yang sengaja datang ke Bandung, menawarkan aku untuk membuatkan aku album “YURA” . .
Yang setiap seminggu sekali di hari Senin-Rabu sama mbak @anastikaardiana_ jauh-jauh nyamperin aku & bang @arirenaldi untuk workshop bikinin album aku di Aru Studio Bandung. Yang saat di titik terendah, Kak Glenn & keluarga juga ada di proses aku bangkit & “merakit” kembali.
Terimakasih Kak Glenn, berjuta kata ga akan ada yg bisa menggambarkan betapa berterimakasihnya aku untuk semua kenangan baik ini 🙂
Sehari setelah berpulangnya Glenn (9/4), Yura memposting video duet terakhirnya dengan almarhum, dengan caption:
Rasanya baru kemarin, gak pernah nyangka ini jadi panggung terakhir kita. Ini jadi terakhir kalinya duet bareng nyanyiin lagu kita. Setelah acara ini kita ngobrol panjaaaang banget curhat tentang kehidupan, mimpi mimpi kita, Kak Glenn yang tak henti hentinya dari dulu sampai sekarang selalu ucap doa dan harapannya untuk Yura, jadi orang pertama yang selalu percaya sama Yura.
Terakhir Kak Glenn bilang, “Neng, habis ini aku mau istirahat dulu ah dari musik, ngga akan nyanyi dulu.” 😭😭 Tapi kaaak … .
Selamat istirahat kakakku tersayang, Glenn Fredly. Aku sangat merasa kehilangan 😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Berjuta kata ngga ada yang bisa menggambarkan betapa bersyukurnya, betapa berterimakasihnya aku atas semua kebaikan, besarnya cinta, ilmu pelajaran, kesempatan, dan begitu banyak hal indah yang telah Kak Glenn berikan untuk aku dan kita semua
Dan pas di hari duka (8/4), Yura memposting video singkat dirinya dengan almarhum (yang saat tulisan ini dipostingkan sudah ditonton sebanyak lebih dari 12 juta viewer, video yang sama dengan yang diposting di November 2017, video sebelum penganugerahan Yura sebagai penyanyi wanita terbaik AMI Award) dengan caption singkat tapi penuh makna:
Kak, aku kehilangan kata, Kak Glenn 😭😭😭
Tidak hanya Yura yang kehilangan dengan kepergian Glenn Fredly menghadap sang Pencipta. Ratusan ribu bahkan jutaan Yura-yura lain yang merasakan duka yang sama. Ada yang menyimpan dalam hati. Ada yang memposting warna hitam. Ada yang memposting penuh cerita dan kata. Salah satunya adalah Dewi Lestari, salah satu penyanyi trio Rida Sita Dewi yang kini lebih dikenal sebagai penulis beken dengan nama pena Dee Lestari yang telah melahirkan novel-novel berkelas, semacam serial Supernova, Aroma Karsa dan Perahu Kertas. Di akun instagramnya @deelestari (9/4) mengunggah video potongan lagu Malaikat Juga Tahu yang dinyanyikan oleh almarhum disertai caption:
Ada satu protes saya yang lama tersimpan untuk Kaka Glenn. Di versi lagu Malaikat Juga Tahu yang Kaka Glenn bawakan, ada lirik yang Kaka Glenn salah nyanyikan, yakni “relakanku pergi” padahal seharusnya “melarangku pergi”. Bagi seorang lirikus, itu persoalan besar, Kaka. Pesan lagu jadi bergeser, cerita jadi terdeviasi, sebagian pendengar malah jadi menghafal lirik yang keliru.
Namun, entah kenapa, protes itu seperti tak punya kesempatan untuk disampaikan. Tiap kali kita bertemu, yang diobrolkan selalu hal lain. Mungkin juga karena saya pelupa. Namun, dari titik ini, titik di mana Kaka Glenn selamanya pergi, saya bersyukur akan sebaris lirik yang berbeda itu. Ibarat retak yang memberikan karakter abadi kepada vas porselen, baris yang Kaka nyanyikan menjadi ciri tersendiri bagi lagu Malaikat Juga Tahu versi Kaka. Menjadi memori tak terlupakan bagi saya. Menjadi penanda unik dalam relasi kita.
Tak ada banyak kesempatan untuk kita berbicara lama (I can’t even remember if we ever took a picture together), meski kita saling mengenal sejak tahun ‘90-an saat mengawali karier musik masing-masing (I remember you were dubbed as Tevin Campbell-nya Indonesia), meski sudah beberapa proyek film melibatkan kerja sama kita. Namun, kumulasi perjumpaan yang terasa singkat itu sudah cukup buat saya menyimpulkan: you’re one of a kind. Bakat, olah rasa, dan semangatmu berkarya, akan menjadi inspirasi bagi banyak manusia Indonesia. Hingga bertahun-tahun ke depan. I hope you know that.
Mengutip apa yang dikatakan @rezagunawan di kolom komen, lirik versimu menjadi terdengar sebagai salam perpisahan. Farewell, Kaka Glenn. Rest in peace.
Sehari sebelumnya, pas hari duka, Dee menulis di akunnya :
Indonesia kehilangan salah satu penulis lagu dan vokalis terbaiknya. Selamat jalan, Bung @glennfredly309. You have left your mark. Yet, you’re still gone too soon. My thoughts and prayers are with your family, wife, and newborn. Beristirahatlah dengan tenang. Karyamu abadi. #RIPGlennFredly
Makin sedih, ternyata kepergian Glenn ini juga meninggalkan generasi penerus yang baru lahir tepat 40 hari sebelum hari duka. Gewa Atlana Syamayim Latuihamallo, jangan berkecil hati nak. Ayahmu bukan saja musisi, penyanyi, pencipta lagu, tetapi juga produser film, aktor, serta warga negara Indonesia yang mencintai negerinya sepenuh hati dan bekerja dengan optimis mewujudkan mimpi menjadikan Indonesia adalah republik yang pantas diwariskan ke anak cucu kita nanti. Berbanggalah, Gewa!
Hingga jelang hari duka, Glenn masih saja menyerukan kampanye penanggulangan pandemi corona yang tengah kita hadapi. Mulai menggalang gerakan via kitabisa, pun juga mengkampanyekan gerakan cuci tangan sambil nyanyi merdu di wastafel. Bukan kali ini saja Glenn menyuarakan kepeduliannya atas situasi yang dihadapi Indonesia. Ia terlibat aktif di isu-isu lingkungan, kemanusiaan dan keindonesiaan. Tak segan ia berpihak kepada apa yang dirasakannya pantas untuk dibela sebagaimana para aktivis penuh idealisme.
Idealisme itu salah satunya tercermin dari film Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014). Saya yang terlewat nonton di bioskop, baru sempat nonton via Netflix beberapa hari setelah hari duka. Film itu berkisah tentang Sani Tawainella (diperankan Chicco Jerikho) pemain sepakbola gagal yang kemudian menjadi tukang ojek yang terperangkap di situasi di Tulehu yang sedang rusuh akibat konflik antar agama di tahun 1999. Alih-alih ikut kerusuhan, Sani malah mengumpulkan anak-anak untuk bermain sepakbola agar mereka terbebaskan dari konflik. Dengan segala perjuangan baik dari sisi ekonomi maupun sisa-sisa konflik yang mengendap, anak-anak itu berhasil berangkat ke Jakarta untuk mewakili provinsi Maluku. Kerja apik film yang disutradarai Angga Dimas Sasongko ini diganjar dua Piala Citra di Festival Film Indonesia ke-34 (2014) untuk kategori film terbaik dan aktor terbaik (Chicco Jerikho).
Ide atas film ini didapatkan Glenn atas kejadian nyata yang dialaminya ketika pulang ke Ambon di tahun 1999. Glenn yang anak Ambon dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta, kaget ketika begitu mendarat di sana langsung disegregasi berdasarkan agama yang tertera di KTP. Ia bahkan waktu itu tak bisa bertemu dengan saudaranya yang muslim. Film ini didasarkan dari kisah kecil Sani Tahulea yang ditemukan Angga Dwimas Sasongko. Kisah di belakang layar ini bisa dibaca dari liputan pemutaran film Cahaya dari Timur di Ubud Writers and Readers Festival 2015. Film ini membutuhkan waktu 4 tahun pembuatan karena sempat kekurangan pendanaan dan sempat pula dikhawatirkan kesulitan penayangan karena dikhawatirkan mengorek luka lama, tapi nyatanya film ini mendapat apresiasi dengan diputar berminggu-minggu di Maluku.
Di hari ketiga (11/4) setelah hari duka, Angga menulis di akun @anggasasongko mengunggah foto almarhum saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di istana, dengan caption:
Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, sejak dari judulnya adalah sebuah karya tentang “self determination”. Hak menentukan nasib sendiri.
Kami sadar bahwa konflik beragama di Ambon adalah sebuah setting yang dilancarkan saat transisi kekuasaan 1998 – 1999. Ambon dijadikan episentrum konflik, selain beberapa daerah lain seperti Poso dan Sampit.
LAGU DAN MUSIK. Tengok lebih dalam di filmnya; lagu “Hena Masa Waya” yang ada di dalam film adalah self determination anthem orang Maluku yang bahkan pernah dilarang di masa Orde Baru. “Puritan” dan “Pattimura” adalah lagu perlawanan.
PLOT DAN KARAKTER. Karakter – karakter di film menyebut Jakarta dengan kata “Jawa” untuk merepresentasikan hegemoni. Dalam kisah aslinya Tim Jakarta adalah lawan yang curang, begitupun dalam film, “Jakarta” adalah antagonisme. Merepresentasi kekuasaan terpusat yang merusak tatanan masyarakat Maluku lewat konflik.
BETA MALUKU adalah statement kami, utamanya Glenn dalam menarasikan Indonesia Timur. Baginya tidak ada Indonesia tanpa Maluku, Papua dan Nusa Tenggara.
Membawa film dengan semangat dan isi SELF DETERMINATION tentang orang – orang Timur Indonesia yang sampai saat ini masih termarjinalkan masuk ke jantung kekuasaan, di mana HENA MASA WAYA berkumandang, ditonton oleh Presiden RI di dalam Istana yang menjadi simbol centrality, bagi kami adalah kemenangan yang kami simpan dalam hati.
Ini adalah bentuk yang ia percaya dalam perjuangannya. Katanya; “Kemasan boleh pop, tapi isi dan tujuan untuk kemanusiaan. Karena melalui pop, kita bisa merangkul lebih banyak orang.” Saat menonton pemutaran di Istana, kami berdiri di belakang. Sambil rangkulan, kami senyum – senyum sendiri dan tertawa di beberapa kesempatan terutama saat scene lagu Hena Masa Waya. Selebrasi.
Tuntas Bung. Tuntas. Rest in POWER, Kaka sayang. Panjang umur perjuanganmu! ✊✊
Selain itu, sebelum postingan itu tadi, Angga juga mengunggah postingan video untuk sepenggal adegan percakapan antara Glenn Fredly dengan Chicco dengan caption untuk menanggapi postingan Dee Lestari di atas tentang “the imperfect perfection“, sempurna pada waktunya:
Adegan ini diambil menjelang subuh. Saat syuting, dialog ini di-take berkali – kali. Karena saya merasa Bung menyampaikannya seperti bernyanyi. Lalu setelah banyaknya take, saya yang memang sudah lelah karena syuting dari pagi, akhirnya menyerah. Kemudian saya pergi ke area playback, untuk memastikan take mana yang akan saya kasih label “Good”.
Bung memang tidak menyelesaikan scene seperti yang saya mau, dan dia tahu itu. Masih jadi bahan bercanda saya, @chicco.jerikho dan Bung setiap kali kami saling cela-celaan. Tapi saat melihat playback itu saya sadar, caranya berbicara Bung memang seperti itu; lembut dan merdu. Dan ini adalah scene penting karena merupakan plot point 2; perpindahan dari act 2 ke act 3. Maka saya putuskan memberikan label “Good” pada take yang paling lembut dan merdu, untuk sekalian menggunakan olah rasa Bung yang lembut dan merdu itu jadi kekuatan dari dialog ini. Dialog yang akhirnya jadi salah satu scene paling memorable di film “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”.
“Kasih satu ingat manis, setelah semua yang pahit”
Postingan video yang sama juga diunggah oleh Chicco dua hari sebelumnya alias pas hari pemakaman (9/4) di akun instagramnya, tetapi dengan caption yang singkat saja:
Selamat jalan Cahaya dari Timur. Rest in peace kaka sayang
Sukses dengan Cahaya dari Timur: Beta Maluku, almarhum terus terlibat di dunia film. Sebut saja Filosofi Kopi (2015) yang diadaptasi dari cerita pendek karya Dee Lestari dan film Surat dari Praha (2016). Di kedua film tadi Glenn tak muncul sebagai tokoh seperti di Cahaya dari Timur: Beta Maluku tetapi kehadiran Glenn sungguh mewarnai. Bahkan di Konser Menanti Arah (2015), konser 20 tahun perjalanan Glenn bermusik, tokoh utama Surat dari Praha, Tio Pakusadewo dan Julie Estelle juga ikutan naik panggung untuk menyanyikan lagu karya Glenn yang jadi soundtrack di film tersebut.
Tentang konser Menanti Arah, saya baru tahu dan menemukannya via (lagi-lagi!) youtube pada video yang baru diunggah di hari ketiga setelah hari duka (11/4). Video berdurasi 2 jam 23 menit secara kualitas perekaman bisa dibilang lumayan, secara materi bener-bener membuat saya nyesel dan nyesek di waktu yang sama. Nyesel, karena sekalipun belum pernah menonton live Si Bung Cahaya Timur. Nyesek, karena di konser ini saya bisa menangkap energi yang melimpah ruah dari Si Bung tetapi si Bung ditakdirkan hanya berusia muda. Duh!!
Konser Menanti Arah sendiri dilaksanakan di Istora Senayan Jakarta, pada Sabtu, 17 Oktober 2015. Pas saat Glenn berusia 40 tahun 17 hari untuk merayakan 20 tahun perjalanan kariernya di blantika musik tanah air. Kesan yang saya tangkap, keren abis ini konsernya. Nyesel cuma nonton via youtube dan tidak berada di barisan penonton di festival. Panggung di tengah melingkar, tak menyisakan blind section. Glenn sendiri menyampaikan,”Tak penting Glenn menghadap ke mana, yang penting dengan panggung seperti ini, Glenn bisa melihat seluruh penonton … ,” sapaan hangat menyapa sebagian besar penonton yang menggunakan dress code berwarna merah. Rupanya merah sendiri adalah singkatan dari judul konsernya: MEnanti aRAH.
Diawali dengan rekaman musik tahun 1990-an, dengan narasi suara rekaman Glenn memecah gelap panggung:
Ok. Semua siap? Gue Glenn Fredly. Gue besar di era dahulu gagasan bermusik begitu dinamis dan penuh warna … (terdengar lagu Warna: …. dahulu semua indah, dahulu ku menjadi bunga cintamu …)
Ketika itu apresiasi menjadi wujud nyata. Di situlah musik Indonesia merajai sebuah generasi … (terdengar lagu punya /rif: Radja)
Suatu generasi di mana perjuangan adalah sebuah idealisme bagi proses yang begitu dinikmati untuk meraih cita dan harapan … (terdengar lagu punya Jingga)
Di mana komunikasi masih terasa begitu sederhana dan hangat …(terdengar lagu tididit punya Sweet Martabak)
Semua kreatifitas begitu meluap. Keingintahuan begitu besar. Kebersamaan begitu erat. Namun kebebasan begitu terbatas … (terdengar lagu punya Naif)
Gue memulainya dengan semangat. Semangat untuk perubahan, semangat untuk berkarya dan Semangat untuk bersuara. Pilihan itu terasa begitu magis dan gue pun jatuh cinta.
Gue besar bersama para musisi yang banyak memberikan inspirasi dan dedikasi dan perjuanganlah yang membuat mereka besar sampai hari ini … (terdengar lagu punya Gigi, Sheila on 7, Potret, Kahitna, AB Three. Di sepanjang lagu-lagu tersebut penonton ikut bernyanyi lagu terakhir penonton konser berteriak penuh semangat … )
Harus diakui pada masa itu semua terekam dengan indah seperti cinta pertama (terdengar lagu punya Dewi Sandra)
Tak bisa dipungkiri semua proses perjuangan harapan pemahaman dan kasih sayang yang lahir pada masa lalu begitu membekas manis dan begitu menyenangkan … (terdengar lagu terlalu manis-nya Slank)
Dari perjalanan ini semuanya seperti menanti arah. Perubahan demi perubahan terjadi begitu cepat. Cerita dan logika kita dihadapkan pada banyak pilihan dan pertanyaan. Realitanya gue memilih terus berkarya dengan segenap cinta. Kalau kalian?
Tidak pernah terpikirkan bahwa karya membawa gue sampai pada dua dekade ini. Selebrasi ini bukan hanya tentang gue, tetapi tentang cerita tentang hidup di mana gundah, keluh kesah, amarah dan lelah perlu dirayakan dengan indah.
Apik. Narasi yang dikemas dengan potongan lagu dan klip musik 90-an itu sungguh apik. Narasi rekaman penanda awal konser malam itu bagai teaser yang mengajak penonton untuk bersiap masuk ke hangatnya perhelatan. Glenn bersemangat dan berjaket merah pun kemudian masuk ke panggung langsung berkeliling dengan menggunakan sepeda BMX menyapa penonton yang sudah tak sabar (salah satu kisah dari penonton yang sudah menunggu sejak siang bisa dibaca di sini). My Everything adalah lagu pertama yang dibawakan di konser itu. Glenn bernyanyi, bermusik, berkeliling panggung, menyapa, berbincang sepenuh hati bukan basa-basi sebagaimana artis-artis yang lain, bahkan Glenn menangis sesenggukan di atas panggung. Emosi meluap tapi tak mengurangi kualitas.
Memenuhi idealismenya, Glenn menyisipkan alat musik tradisional dari Nusa Tenggara Timur menemaninya menyanyikan lagu Dee Lestari sekaligus menyampaikan pesan bahwa lagu tersebut didedikasikan sang penulis lagu untuk anak-anak down syndrome. Glenn juga mengundang pula Funk Section, band yang pernah membesarkannya untuk tampil di momen konser yang menurutnya bakal jadi konser terbesarnya tersebut. Ia adalah kacang yang tak pernah lupa kulit dan ia tak segan meng-encourage kacang-kacang baru terus bertumbuh menggantikannya. Tinggikan! Semangatmu tinggikan …. !! Nyalakan api walaupun kecil!!!
Energi Glenn benar-benar berlimpah sepanjang konser (yang videonya saja dipotong sana sini total hampir dua setengah jam) dan sebagaimana katanya di atas panggung, energi baik harus dibagikan. Energi baik itulah yang membuat saya menuliskan postingan ini, meski tak kunjung selesai sejak pertama dituliskan pas hari duka.
Menuliskan serial ‘in memoriam’ seperti ini sering menguras energi tersendiri. Bisa dimaklumi jika sang sosok yang dituliskan adalah seseorang yang pernah dekat, pernah bertemu, atau sosok yang kita berutang budi. Tapi sosok Glenn ini ternyata memang istimewa. Saya belum pernah bertemu, gak nge-fans, belum pernah nonton konsernya secara langsung, tidak pernah mengkoleksi kaset dan cd albumnya, tetapi malah kemudian mbrabak tak berkesudahan tiap menyelesaikan postingan ini. Makin jauh mengenali sosok almarhum yang utuh justru ketika ia sudah berpulang. Almarhum sudah meninggalkan legacy: karya, keteladanan dan inspirasi buat banyak orang untuk terus berkarya segenap cinta, dan …. (tentu saja) idealisme tak boleh mati!!


Bung, hari ini adalah ke-70 sejak kepergianmu menuntaskan tugas duniawimu. Terima kasih buat karya-karya terbaikmu, terima kasih buat legacy yang menyemangatiku menuntaskan tugas duniawiku yang entah kapan terselesaikan …
Kalau boleh menyampaikan satu hal kecil: bahwa aku setuju, menonton konser dari (kelas) festival memang menyenangkan …
Selamat jalan, Bung!!
Tunai sudah … Semoga Sang Khalik mendekapmu erat … [kkpp, 17.06.2020]
Note: Video full konser Menanti Arah yang dimaksud tulisan ini sempat hilang tetapi kemudian ada yang mengunggah ulang.