Merasa Cukup

Khotib Sholat Jumat kemarin (18/8) menyampaikan tentang syukur. Pemantiknya tentu saja beberapa hari yang lalu adalah peringatan ulang tahun ke-78 Republik Indonesia yang perlu disyukuri oleh rakyat Indonesia. Menurut Sang Khotib, syukur itu sendiri haruslah diucapkan secara lisan dengan mengucap: “alhamdulillah”.

Bentuk yang kedua, selain terucap, rasa syukur juga dilakukan dengan tindakan yang mengapresiasi sebagai bentuk rasa terima kasih kepada penyampai nikmat Allah SWT bisa sampai kepada kita. Bagaimanapun banyak sekali nikmat Allah SWT yang sampai kepada kita melalui makhluknya. Misal, melalui orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan kita, melalui guru-guru yang memberikan ilmunya, juga melalui tetangga-tetangga baik. Bersyukur dengan berterima kasih.

Bersyukur atas kemerdekaan Indonesia ya dengan berterima kasih kepada para pahlawan-pahlawan pendahulu yang telah menjadikan kemerdekaan itu serta dengan menjaga agar Indonesia ini tetap ada sebagaimana yang dicita-citakan bersama.

Bentuk yang ketiga, lanjut Sang Khotib, adalah syukur dalam qalb. Bersyukur dalam kalbu berarti merasa cukup dengan segala nikmat dan ketetapan Allah SWT. Banyak ditemui yang merasa kaya tetapi tidak bisa merasa cukup. Itu berarti jiwanya masih miskin karena tidak bisa bersyukur. Yang ada hanyalah merasa kurang. Kurang ini dan kurang itu, padahal secara kasat ia sudah memiliki banyak hal tetapi nyatanya ia tak memiliki rasa syukur.

Sontak saya teringat sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu. Waktu itu penanda temperatur mesin di dashoard mobil saya sudah mentok ke atas, lebih dari biasanya. Cuma karena terburu waktu, sementara jarak ke acara sudah dekat, saya paksa saja mobil saya itu tanpa berhenti sambil berdoa dalam hati: “ojok
mogok ojok mogok … “.

Begitu sampai di parkiran, mesin yang kepanasan meninggalkan uap mengepul dari kap mesin. Alhamdulillah, lega bisa sampai tujuan tanpa ngadat di jalan. Tetapi soal mengecek mesin, nanti
saja deh, pikir saya. Mending ke acara dulu sambil menunggu mesin dingin sehingga memungkinkan bisa membuka radiator secara aman, rasanya adalah opsi yang lebih baik daripada menanganinya sekarang.

Tengah malam, seusai acara, mesin sudah dingin. Sebelum pulang (untung teringat)  segera saya membuka kap dan tutup radiator, dan benar saja, radiator kosong, perlu air. Satu botol air minum yang ada di mobil yang saya isikan ke radiator yang kosong ternyata tak cukup. Lantas saya bertanya kepada penjaga parkir, menanyakan di mana bisa medapatkan air.

“Buat isi radiator, Pak,” kata saya.

“Wah, cukup jauh Pak. Ada di sana. Sini saya ambilkan,” kata pak penjaga parkir sambil mengambil alih botol kosong di tangan saya. Tanpa sempat mencegah, botol itu berpindah tangan dan sekejap pak penjaga parkir telah menghilang.

Beberapa saat, Sang Bapak menyerahkan sebotol penuh kepada saya, kemudian menghilang lagi. Segera saya mengisikan air di botol ke radiator. Air dalam botol langsung amblas. Dengan menggunakan flash dari hp, karena parkiran cukup gelap, saya mengira-ngira, apakah masih kurang setelah diisi dua botol. Ternyata memang masih kurang. Saat menengok ke segala sudut mencari Sang Bapak, dari kejauhan sang Bapak datang dengan dua botol di tangan kanan dan kiri, “Siapa tahu kurang, Pak,” ujarnya sambil tersenyum lantas kembali menghilang mengurus mobil lain yang hendak keluar.

Urusan radiator beres. Mesin dinyalakan. Dengan menggunakan flash, saya memeriksa apakah ada kebocoran air di sisi air pendingin. Aman. Mengambil beberapa lembaran warna biru dari dompet, saya mencari Sang Bapak Penjaga Parkir untuk berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya.

“Saya sudah cukup, Pak,” kata Sang Bapak Penjaga Parkir menolak beberapa lembaran uang dari saya. Saya masih ngotot agar Sang Bapak menerima bentuk ucapan terima kasih saya itu tetapi Sang Bapak Penjaga Parkir lebih ngotot lagi.

“Bener pak, buat kami sudah cukup (dari uang parkir yang dibayar di muka tadi). Mudah-mudahan gak bocor lagi ya Pak sampai tujuan.”

Alhamdulillah. Dua jam perjalanan dari lokasi parkiran hingga sampai ke rumah, aman-aman saja. Sejak itu, kisah “merasa cukup” dari Sang Bapak Penjaga Parkir kemudian mengendap di draft postingan di blog ini hingga di momen Jumatan kemarin mendapatkan momentumnya. Sungguh tak banyak orang yang bisa merasa cukup sebagaimana Sang Bapak Penjaga Parkir saya temui. Padahal menurut Pak Khotib, itu “merasa cukup” itu adalah bentuk rasa syukur yangtertinggi. Andai semua pejabat dan juga kita semua bisa “merasa
cukup”, tentu tak akan lagi ada korupsi karena semata merasa tak cukup atas gaji yang diperoleh secara resmi.

Sehat-sehat terus ya, Bapak Penjaga Parkir. Terima kasih atas bantuannya mencari air pengisi radiator. Terima kasih juga atas inspirasi keteladanannya.

[kkpp, 19.08.2023]

Tinggalkan komentar