Menjelang pukul tiga dinihari, bersama seorang kawan dalam perjalanan pulang usai bermain bridge. Jalanan telah lengang. Padahal di pagi hingga malamnya, biasanya perempatan itu ramai, bahkan kadang menimbulkan ekor antrian yang lumayan mengular.
Karena keasyikan ngobrol dan didukung suasana yang telah lengang, kali itu saya melewatkan lampu merah. Sangat jarang lampu lalu lintas di atas jam sebelas malam di Surabaya masih berwarna merah. Biasanya tinggal si lampu kuning yang terjaga.
Tiba-tiba seorang polisi menyegat saya. Setelah berbasa-basi sesuai standar operasi yang terdiri rangkaian sapaan, menanyakan SIM maupun STNK, bapak polisi tadi berkata,” Pak, yang namanya lampu merah itu selama 24 jam artinya tetap sama. Berhenti.”
Saya tercenung. Pak Polisi itu benar adanya.
***
Ya, Pak Polisi itu benar. Meski sempat terselip prasangka: mengapa jam segitu masing nongkrongin lampu merah dan pelanggarnya. Seratus persen benar dan seratus persen malam itu saya yang salah.
Tanpa harus buka UU Lalulintas, siapa saja juga tahu bahwa lampu berwarna merah identik untuk berhenti (stop) dan yang hijau untuk berjalan (go), meski di China ide pokok tentang lampu lalu lintas ini sempat dimodif menjadi merah berarti jalan (go) tetapi tidak berhasil, sepertinya seluruh dunia mengakui ide Garrett Augustus Morgan bahwa, tujuan dari lampu lalu lintas tentu saja untuk kebaikan bersama. Meminimalkan kecelakaan, juga untuk mengatur perlintasan agar tidak saling serobot.
Tapi sayangnya, seringkali kita juga melihat keseharian betapa banyaknya pelanggaran terhadap aturan bersama itu. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi karena menerobos lampu merah tak bisa dihitung lagi. Begitu juga kemacetan-kemacetan yang malah menjadi karena ketidaksabaran kita menunggu datangnya lampu hijau berkedip.
Yang lebih ironis lagi, anak-anak kita di bangku sekolahan sejak play-group, taman kanak-kanak dan sekolah dasar, sudah diajarkan hal tersebut tetapi di keseharian mereka sering menemukan pelanggaran atas lampu merah. Sebagai orang tua, tidakkah kita mengelus dada, pendidikan macam apa yang hendak kita berikan kepada anak-anak kita jika di dunia nyata anak-anak kita menemukan kenyataan bahwa semua aturan yang diajarkan adalah dibuat untuk dilanggar?
Mungkin karena itu, korupsi di negeri ini sedemikian sulit dibasmi. Lha wong taat pada aturan lampu merah saja enggan…
[kkpp, 01.06.2011]
Keping terkait:
Sila mampir juga ke:
Sama kayak cerita gembala yang dihasut untuk menjual dombanya, toh tak ada orang yang tahu jumlah sebenarnya. Tapi ia menjawab,”Fainallah.” Tuhan kan selalu ada, melihat kita. 🙂
SukaSuka
@Yoga: Seratus. Ehmmmm, … tapi jadi mikir, jika mengkaitkan Tuhan dengan religiusitas, masih pantaskah kemudian kita mengaku sebagai masyarakat yang religius? (“masyarakat” lho, bukan “pribadi”. kalo pribadi, aku percaya banyak kok yang pantas untuk sebutan itu)
SukaSuka
Hahaha… di era sekarang? Mesti dicek dulu, siapa Tuhan masing-masing. Sudah terlalu banyak Tuhan baru.
Kalau cerita di atas, konteksnya Tuhan itu Allah swt.
SukaSuka
Ping-balik: Kemana Uang Tilang Melayang? « Kepingan Kakap Paling Pojok
kena tilangnya di jalan apa di Surabaya gan?supaya lain x saya bisa berhati2 kalau lewat sana wkwkkw salam … 🙂
SukaSuka
di arif rahman hakim, cakbro.
tapi bukannya hati-hati itu tidak di tempat itu saja, bukan?
salam “utamakan selamat” …. 🙂
SukaSuka
Ping-balik: Buru-buru Tak Perlu – Kepingan Kakap Paling Pojok