
Entah siapa yang punya foto ini. Saya hanya mendapatkannya dari foto yang beredar dari grup bbm satu ke grup bbm yang lain.
Yang dimaksud tentu bukan gambar yang di sebelah. Tetapi adalah padanan kata dalam bahasa Indonesia dari ‘speed trap‘ pun juga ‘speed bump‘. Ya, ‘polisi tidur’ adalah segundukan perintang yang dipasang di jalan agar pengendara mengurangi kecepatan kendaraannya.
Tak ada yang tahu sejak kapan dan siapa yang mempopulerkan terminologi ‘polisi tidur’. Bisa jadi merujuk tipologi masyarakat kita yang lebih mau mentaati peraturan jika ditunggui pak polisi. (Kadang juga heran, ada tetangga yang sering menakuti-nakuti anaknya dengan kehadiran pak polisi agar si anak mau menuruti kehendak si orang tua).
Praktis memang, dengan keberadaan fisik perintang, pengendara mau tidak mau memang harus mengurangi kecepatan bagaikan sedang diawasi pak polisi secara langsung.
Jaman saya kecil dulu, di Gang Meriah, salah satu gang di RT kami, bapak-bapak mulai bekerja bakti membangun salah satu gundukan polisi tidur, setelah tulisan peringatan “NGEBUT BENJUT” yang dipasang sebelumnya tak juga mempan meredam kecepatan kendaraan yang melintas di gang itu.
Begitu halnya fenomena kerja bakti pembangunan polisi tidur sering kita jumpai hingga sekarang, lebih dari puluhan tahun lalu dari kisah Gang Meriah di atas.
Di perumahan, di kampung, mau masuk hotel berbintang di kawasan Embong Malang, bahkan hingga di jalan bebas hambatan, polisi tidur kita temukan pating kleleran.
Di akhir pekan kemarin, yang kebetulan bersamaan dengan liburan long weekend Natal 2011, kemacetan terasa menjadi bagi pengunjung kota Malang. Antrian mulai terasa sejak tiga kilometer sebelum pertigaan Purwosari, terus merambat hingga jalan layang Lawang, bahkan makin menjadi sesaat setelah Lawang. Rupanya saya baru tahu, menjelang kompleks Kostrad Singosari, ada tambahan polisi tidur, melintang di jalan raya Malang-Surabaya. Padahal di titik itu sudah ada rambu batas kecepatan, sudah ada peringatan untuk mengurangi kecepatan, juga sudah ada lampu kuning yang berpendar memberikan isyarat bagi tiap pengendara.
Begitu halnya saat harus kembali ke Surabaya, polisi tidur yang baru dipasang di kawasan militer itu, benar-benar tepat sasaran. Setiap kendaraan mau tidak mau harus mengurangi kecepatannya, tetapi di sisi yang lain kemacetan yang ditimbulkannya berekor hingga kawasan Arjosari, belasan kilometer dari titik tempat si polisi tidur.
Untunglah, tepat di hari terakhir long weekend itu, kabarnya, Panglima Kostrad secara langsung memerintahkan pembongkaran polisi tidur yang sudah jadi obyek sumpah serapah selama tiga hari terakhir. Jalanan kembali lancar, hanya macet karena bottle neck di Porong, bottle neck abadi sejak kasus Lumpur Lapindo yang entah kapan terselesaikan.
***

Bebas Polisi Tidur. (sumber: FP-nya "0273-milyar-facebookers-mendukung-penghapusan-polisi-tidur")
Polisi tidur merupakan fenomena yang aneh. Bahkan dari namanya, menurut Bang Antyo juga sudah aneh. (baca di sini)
Pertama, kita lebih suka membikin hambatan atas jalan yang sudah lancar dan mulus. Seolah melegitimasikan pameo: “Kalau bisa sulit, mengapa harus dipermudah”.
Kedua, bahwa kita memang benar-benar kepala batu. Peringatan tertulis, rambu batas kecepatan, lampu lalu lintas berwarna kuning yang mengerjap, tak cukup membuat kita mentaati peraturan. Kita hanya bisa mengurangi kecepatan jika dan hanya jika karena ada rintangan fisik.
Siapa yang salah? Yang pasang atau yang lewat?
Atau tidak inginkah kita bisa bebas dari polisi tidur? Karena pe-er pak polisi masih banyak, tidak akan selesai jika tidur melulu.
[kkpp, 27.12.2011]
Sila mampir juga ke:
– 0,273 milyar facebookers mendukung penghapusan polisi tidur
– Tanpa Polisi Tidur, (Semoga) Aman
– “Polisi Tidur” di Jalan raya Utama, Amankah?
Menyukai ini:
Suka Memuat...