Sebuah guyonan lawas dengan kawan-kawan, “ati-ati lho rek, ojok sampek kene-kene iki kebagian ngeterno rantangan ke tahanan KPK, … “, sebuah guyonan satir yang saling mengingatkan agar kami-kami yang menginginkan Indonesia lebih baik salah satunya dengan berteriak anti korupsi, agar di kemudian hari tidak terlarut dalam pusaran bahaya laten korupsi. Rupanya guyonan itu terjadi beneran. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Berita penangkapan kasus suap perijinan Meikarta yang baru saya ketahui Selasa (16/10) pagi, rupanya melibatkan seorang kawan baik, Fitradjaja Purnama. Baca lebih lanjut
Category Archives: Lawan Korupsi
Seputar OTT
Kabar (tak) mengejutkan kembali datang dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kamis (26/1) kemarin, di laman resminya (bisa baca di sini) KPK mengumumkan keempat tersangka kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah ditangkap. Satu hakim, satu perantara serta sang penyuap dan sekretarisnya. Lembaga MK tempat yang mulia hakim yang ditersangkakan, pun bereaksi keesokan harinya dengan membentuk Majelis Kehormatan MK dan membebastugaskan sang hakim tersangka (bisa baca di sini).
Sontak segera riuh. Teori konspirasi pun bertebaran di sana sini. Baca lebih lanjut
Agatha Retnosari: Politik Jalan Sunyi
Seumur-umur nge-blog, belum sekalipun saya membuat postingan yang bersifat wawancara. Baru kepikiran sekarang.Itu pun bukan wawancara bertemu empat mata, melainkan wawancara dengan memanfaatkan fasilitas chatting via WhatsApp. Meskipun secara teknis mudah, yang agak sulit adalah menyesuaikan waktu karena bagi saya wawancara sebaiknya sejak awal telah dikondisikan pada suatu waktu yang diperjanjikan dan subyek wawancara sudah memahami bahwa chatting tersebut akan saya publish di blog ini.
Untuk wawancara yang pertama ini, adalah seorang kawan, Agatha Eka Puspita Retnosari, nama lengkapnya. Iik, begitu kami biasa memangilnya, dan ia menuliskan namanya sebagai calon legislatif DPRD Jatim, daerah pemilihan (dapil) Surabaya-Sidoarjo, dari Partai PDI Perjuangan (PDIP) nomer urut 3, dengan menggunakan nama yang lebih singkat: Agatha Retnosari. Baca lebih lanjut
Bahaya Laten Korupsi
Di sebuah acara, saya memperoleh sticker sebagaimana gambar di atas. Saya lupa kapan persisnya, ehm … , kira-kira tahun 2010-an lah.
Versi lain dari sticker ini sila mampir ke sini. Menggunakan jargon yang sama tapi berbeda desain dan warna dasar.
Saya suka sticker itu. Idealnya sih ditempelkan di kendaraan, sebagai iklan berjalan bagi gerakan anti korupsi. Tapi atas kualitas pembuatannya, saya tak yakin sticker itu bakal awet di tengah panas dan air hujan, dan jadilah saya memilih menyimpannya di bawah kaca tipis di atas meja kerja saya daripada menempelkannya, supaya tetap awet sebagai pengingat bagi saya pribadi. Baca lebih lanjut
Perantara
Pernahkah menjumpai iklan yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Dijual Tanpa Perantara”? Tak asing bukan? Baik di media iklan baris ataupun juga tertempel langsung di pagar rumah yang hendak dijual.
Mengapa ada iklan semacam itu? Rasanya sih karena alasan si pemilik barang tidak berkeinginan berhubungan dengan si perantara. Ada dua hal biasanya: satu, lebih ribet urusannya, serta alasan kedua, si pemilik barang tidak berkeinginan untuk mengakomodasi biaya si perantara baik dengan cara menaikkan harga barang yang menyebabkan harga tidak kompetitif ataupun juga dengan cara mengurangi keuntungan si pemilik.
Wajarkah pemikiran si pemilik barang sebagaimana di atas? Jika wajar, berarti apakah salah keberadaan si perantara?
Kemana Uang Tilang Melayang?
Pernahkah Anda merasa tidak ikhlas saat membayar tilang? Seperti perasaan terpaksa memberikan sejumlah uang karena serasa dipalak ‘oknum’ polisi lalu lintas (OKNUM – istilah yang sangat dipopulerkan rezim Orde Baru, semacam pembenaran bahwa sebuah kesalahan oleh seseorang anggota institusi tertentu tidaklah mewakili kesalahan institusi tersebut)?
Atau memang sengaja “berdamai mengambil jalan pintas” daripada menunggu sidang dan kemudian membayar denda sesuai putusan sidang? Atau barangkali pernah menitipkan sejumlah uang denda tilang tersebut melalui rekening bank yang ditunjuk (saat ini adalah rekening BRI)?
Atau kalaupun Anda ditilang, Anda termasuk orang yang tak pernah takut sedikitpun untuk mengeluarkan sepeser uang karena tahu ada seseorang yang bakal menyelesaikannya? Atau bisa juga justru Anda termasuk pengendara yang sama sekali tak pernah berurusan dengan tilang, entah saking jagonya menghindari polisi atau malah yang di sisi ekstrem lainnya, Anda adalah seorang pengendara yang tertib?
Apapun pengalaman pribadi Anda dengan dunia tilang-menilang, pernahkah terbersit, kemana uang denda tilang itu seharusnya dan diperuntukkan untuk apa?
***
Dari terbersit, saya kemudian ingin tahu, karena selama ini juga tidak pernah menyadari kemana uang tilang itu melayang. Saya bisa memahami bahwa tilang adalah bagian dari penindakan yang berujung ke efek jera, tetapi kemanakah uang itu kemudian terkumpul. Apakah dipakai untuk peningkatan kualitas lalu lintas dan angkutan jalan, ataukah dipakai sebagai kesejahteraan penindak, atau ada kemungkinan lain.
Lantas akhirnya saya mencoba membaca UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Memang pada bagian ketentuan umum yang memuat definisi-definisi, hanya ada “dana preservasi jalan” yang terkait dengan uang. Itupun bukan terkait dengan uang tilang.
Kalau soal besaran denda memang banyak disebut. Misalnya di bab keduapuluh, banyak besaran yang disebutkan. Pengendara kendaraan umum tidak masuk terminal yang ditentukan ijin trayek denda 250 ribu rupiah. Juga tentang pengendara yang kendaraannya tidak dilengkapi dengan ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda dan P3K, kena denda sebesar 250 ribu rupiah. Tidak memiliki SIM denda sejuta. Tidak memeliki peralatan spion, klakson, lampu utama, lampu penunjuk arah, speedometer, knalpot serta kedalaman alur ban yang memenuhi spesifikasi teknis, denda sebesar 250 ribu rupiah. Dan lain sebagainya (mungkin perlu dibikin posting khusus, hehe)
Tapi kemana uang denda itu bermuara? Apakah sama dengan denda pada tindakan pidana umum lainnya? Apakah termasuk pendapatan negara bukan pajak? Apakah juga diaudit? Oleh siapa?
***
Pertanyaan saya tak terjawab hanya dengan membaca undang-undang lalu lintas itu hingga bagian penjelasannya. Mungkin juga pertanyaan itu adalah pertanyaan konyol, karena para ahli hukum dan juga keuangan negara, pasti bisa menjawabnya.
Tetapi saya kemudian mempunyai pertanyaan sederhana. Sesederhana dinyatakan pada pasal awal undang-undang tersebut bahwa undang-undang ini diselenggarakan dengan asas transparan dan akuntabel.
Yaitu: tidakkah penyelenggara lalu lintas berkehendak untuk mengumumkan pendapatan denda tilang secara transparan kepada masyarakat? Atau bila memang kemudian diatur melalui rekening BRI untuk uang denda yang dititipkan (slip biru), tidakkah rekening BRI (rekening tunggal yang bersifat nasional) tersebut diumumkan ke khalayak? Jika iya, bukankah pelanggar tindak pidana lalu lintas bisa membayar denda tilang via ATM dengan mentransfer ke rekening yang dimaksud. Lebih singkat dan ringkas dan juga bisa meminimalkan kebocoran-kebocoran atas denda tilang tersebut.
Atau, keinginan saya tersebut tidaklah sesederhana itu? Entahlah.
[kkpp, 22.06.2011]
Keping Terkait:
Sila mampir juga ke:
Ini Dia Surat Tilang Elektronik
Nyasarudin
Masih ingat tentang lagu Udin Sedunia yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sualuddin, pemuda asal Lombok yang populer menyusul kepopuleran Sinta dan Jojo karena keberadaan situs YouTube?
Jika tidak, berikut adalah liriknya:
ni lagu tentang sebuah nama..
kata orang udin nama kampungan
jadi lagu enak juga didengar
kalau gak percaya, simak dengan seksamaudin yang pertama, namanya awaludin
udin yang suka di kamar, namanya kamarudin
udin yang hidup di jalanan, namanya jalaludin
udin penggembala, namanya sapiudinmoooo…
udin udin, namamu norak tapi terkenal
udin udin, walaupun norak banyak yang suka hahahaha..udin yang sering ke masjid, namanya alimudin
udin yang rajin berdoa, namanya aminudin
udin yang agak stress, namanya sarapudin
udin yang tidak stress, namanya sadarudinudin udin, namamu norak tapi terkenal
udin udin, walaupun norak banyak yang suka hahahaha..udin yang penjual nasi, namanya nashirudin
udin yang suka ke wc, namanya tahirudin
udin yang suka telepon, namanya hapipudin
udin yang jadi teroris, namanya noordin m top!udin udin, namamu norak tapi terkenal
udin udin, walaupun norak banyak yang sukahahahaha..udin yang terakhir, namanya akhirudin
[Udin Sedunia dipopulerkan oleh Sualuddin]
Liriknya lucu dan dibawakan dengan kocak. Kira-kira populer di awal bulan Maret tahun ini, bahkan sempat diundang live di panggung musik salah satu televisi nasional. Meski demikian, lagu ini sempat dilarang dengan alasan melanggar estetika karena memperolok orang lain. Lebih lengkapnya baca di sini.
Sebuah kebetulan pula, tiga bulan kemudian, ada beberapa kasus besar yang menjadi perhatian khalayak dan menjadi headline media massa nasional yang menyangkut Udin lainnya. Pertama, adalah kisah tentang Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang diberhentikan karena diduga terlibat dalam kasus suap, dan kini kabur (atau ‘dikaburkan’) ke negeri tetangga yang sering jadi jujugan tempat pelarian. Udin yang kedua adalah Syarifuddin, seorang hakim yang ditangkap KPK di kediamannya (1/6) karena diduga menerima uang suap atas penanganan sebuah perkara pailitnya sebuah perusahaan.
Keduanya memang masih dugaan. Bukankah selama ini kita senantiasa mendengungkan bahwa kita adalah negara hukum serta menganut azas praduga tak bersalah? Selama belum ada putusan mengikat dari segi hukum, maka selamanya pula kita menduga-duga.
Tetapi seandainya proses hukum itu berjalan penuh rekayasa, jangan salahkan khalayak bila menikmatinya sebagai sebuah kelucuan, sebagaimana menikmati lucunya lagu Udin Sedunia. Bukankah kedua kasus menyangkut dua Udin di atas adalah kasus-kasus yang sering mewakili wajah bopeng korupsi negeri ini, kisah bobroknya politisi ramai-ramai merampok anggaran negara, kisah bobroknya pengadil yang tak adil karena godaan harta? Kemana ending-nya, khalayak bisa menebak: ketawa atas olok-olok atau marah atas olok-olok yang sama.
Seorang kawan di akun twitter-nya sempat menulis:
Bendahara PD yg lagi bingung di singapore namanya nyasarudin
Anda memilih yang mana atas kedua kasus dua Udin di atas: ketawa apa prihatin? Kalau ketawa, jadilah Anda bernama Tawauddin. Kalau prihatin, jadilah Anda bernama Prihatinuddin.
Ah, Udin … Udin ….
[kkpp, 03.06.2011]
Keping Terkait:
– Alangkah (nggak) Lucunya Negeri Ini
Sila mampir juga ke:
Lampu Merah
Menjelang pukul tiga dinihari, bersama seorang kawan dalam perjalanan pulang usai bermain bridge. Jalanan telah lengang. Padahal di pagi hingga malamnya, biasanya perempatan itu ramai, bahkan kadang menimbulkan ekor antrian yang lumayan mengular.
Karena keasyikan ngobrol dan didukung suasana yang telah lengang, kali itu saya melewatkan lampu merah. Sangat jarang lampu lalu lintas di atas jam sebelas malam di Surabaya masih berwarna merah. Biasanya tinggal si lampu kuning yang terjaga.
Tiba-tiba seorang polisi menyegat saya. Setelah berbasa-basi sesuai standar operasi yang terdiri rangkaian sapaan, menanyakan SIM maupun STNK, bapak polisi tadi berkata,” Pak, yang namanya lampu merah itu selama 24 jam artinya tetap sama. Berhenti.”
Saya tercenung. Pak Polisi itu benar adanya.
***
Ya, Pak Polisi itu benar. Meski sempat terselip prasangka: mengapa jam segitu masing nongkrongin lampu merah dan pelanggarnya. Seratus persen benar dan seratus persen malam itu saya yang salah.
Tanpa harus buka UU Lalulintas, siapa saja juga tahu bahwa lampu berwarna merah identik untuk berhenti (stop) dan yang hijau untuk berjalan (go), meski di China ide pokok tentang lampu lalu lintas ini sempat dimodif menjadi merah berarti jalan (go) tetapi tidak berhasil, sepertinya seluruh dunia mengakui ide Garrett Augustus Morgan bahwa, tujuan dari lampu lalu lintas tentu saja untuk kebaikan bersama. Meminimalkan kecelakaan, juga untuk mengatur perlintasan agar tidak saling serobot.
Tapi sayangnya, seringkali kita juga melihat keseharian betapa banyaknya pelanggaran terhadap aturan bersama itu. Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi karena menerobos lampu merah tak bisa dihitung lagi. Begitu juga kemacetan-kemacetan yang malah menjadi karena ketidaksabaran kita menunggu datangnya lampu hijau berkedip.
Yang lebih ironis lagi, anak-anak kita di bangku sekolahan sejak play-group, taman kanak-kanak dan sekolah dasar, sudah diajarkan hal tersebut tetapi di keseharian mereka sering menemukan pelanggaran atas lampu merah. Sebagai orang tua, tidakkah kita mengelus dada, pendidikan macam apa yang hendak kita berikan kepada anak-anak kita jika di dunia nyata anak-anak kita menemukan kenyataan bahwa semua aturan yang diajarkan adalah dibuat untuk dilanggar?
Mungkin karena itu, korupsi di negeri ini sedemikian sulit dibasmi. Lha wong taat pada aturan lampu merah saja enggan…
[kkpp, 01.06.2011]
Keping terkait:
Sila mampir juga ke:
Tembak Saja!
“Tak ada binatang yang lebih cerdas selain mereka,” ujar teman sekantor saya berapi-api pada suatu sore.
“Kok bisa?”
“Mereka itu sama seperti kita, pakai acara meeting segala, mengantisipasi semua hal agar bisnis mereka tetap jalan.” Kami masih kebingungan dengan apa yang disampaikannya. “Coba saja, kalau kita pasang lem, cuma berhasil pada kesempatan pertama. Kemudian keesokan harinya, mereka rapat. Saat absen, baru ketahuan kalau anggota rapat berkurang satu, maka pimpinan meeting mengutus untuk mencari kemana si anggota itu menghilang. Saat ketahuan si anggota yang absen karena mati kena lem, maka mereka segera mengantisipasi agar tak terulang kejadian yang sama pada anggota yang lain,” lanjut teman saya itu.
“Bagaimana dengan racun?”
“Atau juga dengan jebakan?”
Kami mencoba memberikan beberapa alternatif pada teman kantor itu yang udah mirip dengan penjual jamu yang dikerubungi banyak orang.
“Sama saja,” ujar kawan itu dengan yakin. “Mereka tetap menggunakan mekanisme yang sama. Rapat, berhitung, bila ada yang kurang ditanya kemana perginya yang kurang itu, kalau kemudian ada masalah mereka bisa tahu bagaimana mengantisipasinya agar tak mengulang kesalahan yang sama.”
“Bagaimana dengan jangkrik? Kata beberapa artikel, suara jangkrik tak disukai oleh tikus-tikus,” ujar kawan lainnya, kali ini dengan argumen yang sedikit lebih akademis.
“Atau dengan alat pengusir tikus yang menggunakan frekuensi tinggi? Mungkin cara kerjanya mirip dengan suara jangkrik itu?”
“Tahu nggak saudara-saudara, untuk satu dua hari pertama memang bisa berhasil. Hari ketiga, mereka bakal pakai sumbat telinga, mirip kalau kita masuk pabrik dengan menggunakan ‘ear plug’. Sungguhan, saya pernah melihat tikus yang pakai sumbat itu,” kawan saya itu tetap pada pendirian bahwa tikus adalah binatang yang paling cerdas yang pernah ditemuinya.
“Kalau begitu, bagaimana caranya berperang dengan tikus?”
“Tembak saja!”
“Tembak?”
“Iya. Tembak saja. Kalau pakai senapan angin 4.5″ harus tepat pas kepalanya. Kalau tidak, nanti matinya bisa tidak ketahuan dimana, dan menyebar busuk yang sulit diketahui dimana, karena tikus suka mati di tempat yang tak terjangkau.”
Kami manggut-manggut. “Kalau mau lebih sreg, pakai yang 5.5″, tapi susah sekarang nyarinya. Perlu ijin,” lanjut kawan tadi itu. “Kecepatan peluru jauh lebih cepat dari reflek mereka.”
“Tapi ya itu, harus disanggong.”
***
Sore itu, tikus sedang jadi tren obrolan di kantor. Kerusakan yang dialami di kantor kami jadi awal pembicaraannya. Padahal di kantor kami sudah memasang alat pengusir tikus berfrekuensi tinggi. Persis seperti yang dikatakan kawan tadi, keberhasilan itu hanya pada beberapa hari awal saja. Hari-hari selanjutnya, malah seolah mereka mentertawai kami, dimana mereka justru bermain-main di sekitar alat itu.
Beberapa aksi menyebalkan tikus lainnya adalah memakan kabel, memakan steoroform saluran AC yang menyebabkan bocornya air kondensasi. Teman-teman di kantor malah sudah tidak berani meninggalkan makanan dibiarkan terbuka di meja.
Sementara di rumah, hal lain yang menyebalkan dari tikus adalah perbuatannya menggali tanah (bahasa Jawa: ngerong), kebisingan akibat beberapa barang dijatuhkan mereka, serta bau yang menyengat. Serta yang perlu diingat, tikus merupakan hewan pembawa beberapa penyakit (baca di sini)
Bisa jadi, kawan saya tadi benar. Tikus yang sebenarnya ada beberapa macam, misalnya tikus rumah (Rattus rattus), tikus got (Rattus norvegicus) juga tikus wirok (Bandicota sp), adalah hewan yang cerdas atau malah dikesankan licik.
Di dunia komik, tokoh tikus yang paling ngetop adalah Miki Tikus (Mickey Mouse) yang bahkan malah menjadi ikon dari Walt Disney Corporation. Juga kita mengenal tokoh Jerry, tikus yang terlihat lebih cerdas mengakali si Tom, kucing yang malang.
Tahun 1986, Iwan Fals pernah menuliskan sebuah lagu, judulnya Tikus Tikus Kantor. Lagu ini terdapat pada album Ethiopia. Liriknya adalah sebagai berikut:
kisah usang tikus-tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor
kisah usang tikus-tikus berdasi yang suka ingkar janji
lalu sembunyi di balik meja teman sekerja
di dalam lemari dari baja
kucing datang cepat ganti muka
segera menjelma bagai tak tercela
masa bodoh hilang harga diri
asal tidak terbukti ah
tentu sikat lagi
tikus-tikus tak kenal kenyang
rakus-rakus bukan kepalang
otak tikus memang bukan otak udang
kucing datang
tikus menghilang
kucing-kucing yang kerjanya molor
tak ingat tikus kantor
datang men-teror
cerdik licik
tikus bertingkah tengik
mungkin karena sang kucing
pura-pura mendelik
tikus tahu sang kucing lapar
kasih roti jalanpun lancar
memang sial sang tikus teramat pintar
atau mungkin si kucing yang kurang ditatar
[Tikus Tikus Kantor ~ Iwan Fals]
Andai tikus adalah perlambang para koruptor, sebagaimana Iwan Fals menyampaikannya di tahun 1986 tetapi masih saja tetap relevan hingga sekarang, maka saya kemudian menyetujui pemikiran kawan saya tadi.
Para tikus-tikus itu dan para koruptor-koruptor itu, mereka benar-benar lihai. Aturan dan segala mode pencegahannya hanya berhasil di awal-awal saja. Segera saja mereka menemukan cara menghindarinya. Dan hingga kini, tak pernah ada cerita tikus termasuk hewan yang langka.
Jika demikian, maka saya menyetujui kawan saya: Tembak saja! Setidaknya, peluru itu akan mengurangi koruptor satu demi satu.
[kkpp, 24.05.2011]
Ada yang Salahkah dengan Puasa Kita?
Komarudin Hidayat (sumber: http://www.perspektifbaru.com)
Meski puasa ramadhan adalah salah satu ajaran Islam yang fundamental, namun pesan, spirit dan nilai sesungguhnya adalah bersifat universal, sangat bisa diapresiasi oleh pemeluk agama dan masyarakat manapun. Tidak ada masyarakat atau bangsa yang maju dan berhasil mempertahankan prestasinya tanpa didukung oleh pelaksanaan prinsip dan etos puasa, yaitu kemampuan dan disiplin menahan diri untuk tidak terjebak pada gaya hidup konsumtif-materialistikyang menyajikan kenikmatan sesaat dan mengorbankan investasi jangka panjang. Menahan diri demi kebaikan masa depan yang lebih besar, inilah salah satu prinsip puasa yang bersifat universal.
Kita pantas bersedih dan bertanya, apa yang salah dengan puasa yang kita meriahkan setiap ramadhan, dan kenapa dampak sosialnya tidak signifikan. Pasti ada yang salah dalam keberagaman kita dan dalam tata hidup sosial kita.
– Komarudin Hidayat, Ramadhan untuk Siapa, Garuda, August 2010.
Kutipan dari bahan bacaan selama penerbangan Timika-Jakarta itu benar-benar membuat saya speechless. Bagaimana tidak, selama ini memang kita telah menemui ramadan, dari tahun ke tahun, penuh kemeriahan dari sahur, buka, tarawih hingga sahur lagi. Tetapi, adakah yang menyadari makna universalitas puasa itu bagi negeri dengan pemeluk Islam terbesar ini?
Pada tulisan itu yang lebih lengkap, Komarudin Hidayat mempertanyakan mengapa masih banyak koruptor bertebaran dan tetap tak tahu malu, padahal mereka mengaku berpuasa. Menurutnya, korupsi adalah cara singkat untuk memperoleh kesenangan pribadi dengan melupakan efek jangka panjang. Padahal makna universalitas puasa adalah menahan diri dari godaan budaya konsumtif-materialistik demi investasi jangka panjang.
Ah, sungguh kita harus berdoa di bulan penuh barokah ini, semoga kesadaran tentang makna puasa dapat meresap di hati setiap jiwa yang berpuasa hingga kesalehan sosial terasa membawa perbaikan untuk negeri ini. Bukan sekedar ritual penuh kemeriahan semata.
(kkpp, 25.08.2010)