Kabar (tak) mengejutkan kembali datang dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kamis (26/1) kemarin, di laman resminya (bisa baca di sini) KPK mengumumkan keempat tersangka kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah ditangkap. Satu hakim, satu perantara serta sang penyuap dan sekretarisnya. Lembaga MK tempat yang mulia hakim yang ditersangkakan, pun bereaksi keesokan harinya dengan membentuk Majelis Kehormatan MK dan membebastugaskan sang hakim tersangka (bisa baca di sini).
Sontak segera riuh. Teori konspirasi pun bertebaran di sana sini. Entah rekaan, entah dongengan, entah kejadian yang sebenarnya. Media online pun yang perlu secepat mungkin menaikkan traffic, segera bergegas. Ini momen jangan terlewat. Jadilah yang terdepan, tercepat. Urusan kecermatan dan ketepatan berita serta efek yang ditimbulkannya biarlah apa kata nanti saja. Apalagi sang tersangka, seperti biasanya akan berdalih sedemikian rupa sebagaimana drama-drama terdahulu. Lebih banyak mana antara yang mengaku bersalah dengan yang menyangkal sedemikian rupa?
Buat saya yang jabatannya hanya pemirsa, ya tinggal tonton saja bagaimana kelanjutannya. Tinggal berhati-hati memilah, mana komentar yang menjernihkan, mana komentar yang mengkeruhkan.
Buat saya yang hanya rakyat yang mendamba Indonesia bebas korupsi, kabar itu tentu saja perlu diapresiasi. Siapa saja dia sang pelaku koruptor itu, tangkap saja. Buka semua jaringannya, biar yang lain jera. Pun, kalau susah berharap para koruptor itu jera, setidaknya mereka berpikir sedemikian rupa lebih sulit dari biasanya. Namanya maling dan penangkap maling ya ibarat pembuat virus dengan pembuat anti virus.
Kalau ada yang mempermasalahkan cara penangkapan, bagi saya sih ya wajar-wajar saja. Mungkin yang mempermasalahkan adalah ia si saudara sang tersangka. Mungkin ia pernah mengenal sosok sang tersangka yang tak menampakkan wajah seorang koruptor. Mungkin ia berada di sisi yang merasa terpojokkan dengan tertangkapnya sang tersangka. Mungkin ia yang merasa khawatir bahwa siapa saja bisa ditangkap oleh KPK secara semena-mena sebagaimana tersangka. Atau mungkin juga jika ia percaya bahwa mereka yang relijius tak bakal melakukan perbuatan setercela koruptor. (Soal korelasi antara moralitas, agama dan korupsi, sila baca artikel ini).
Atau mungkin juga jika yang mempermasalahkan cara penangkapan itu merasa bahwa maling tertangkap tangan ya haruslah tertangkap basah. Artinya, harus pada saat kejadian biar lebih afdol. Jika benar begitu, sepertinya ia masih tinggal di era tenis sebelum dikuasai duo Venus-Serena William serta rivalitas Rafael Nadal dan Roger Federer.
Bagi saya sih, sudah benar kok itu adalah OTT, kan operasi-nya tangkap (pakai) tangan. Kalau pakai kaki namanya OTK, operasi tendang kaki. Kalau OTR, itu harga beli kendaraan sudah siap pakai. Atau OTR yang satunya adalah off the record, saat sang sumber berita ngiming-ngiming info kepada wartawan yang mewawancarainya tapi tak boleh memuatnya. Beda lagi jika sudah janjian tapi yang janjian gak datang-datang. Pas ditanya: sudah sampai mana? Dapat balesan … OTW. Alih-alih on the way, nyatanya lebih banyak yang mengartikan dengan ojo takon wae …
Hehehe, maaf ya jika tulisannya semacam jaka sembung bawa golok. Ya namanya postingan OOT.
[kkpp, 29.01.2017]
Haha udah serius aja bacanya, ternyata hahahaha
SukaSuka