Pernahkah Anda merasa tidak ikhlas saat membayar tilang? Seperti perasaan terpaksa memberikan sejumlah uang karena serasa dipalak ‘oknum’ polisi lalu lintas (OKNUM – istilah yang sangat dipopulerkan rezim Orde Baru, semacam pembenaran bahwa sebuah kesalahan oleh seseorang anggota institusi tertentu tidaklah mewakili kesalahan institusi tersebut)?
Atau memang sengaja “berdamai mengambil jalan pintas” daripada menunggu sidang dan kemudian membayar denda sesuai putusan sidang? Atau barangkali pernah menitipkan sejumlah uang denda tilang tersebut melalui rekening bank yang ditunjuk (saat ini adalah rekening BRI)?
Atau kalaupun Anda ditilang, Anda termasuk orang yang tak pernah takut sedikitpun untuk mengeluarkan sepeser uang karena tahu ada seseorang yang bakal menyelesaikannya? Atau bisa juga justru Anda termasuk pengendara yang sama sekali tak pernah berurusan dengan tilang, entah saking jagonya menghindari polisi atau malah yang di sisi ekstrem lainnya, Anda adalah seorang pengendara yang tertib?
Apapun pengalaman pribadi Anda dengan dunia tilang-menilang, pernahkah terbersit, kemana uang denda tilang itu seharusnya dan diperuntukkan untuk apa?
***
Dari terbersit, saya kemudian ingin tahu, karena selama ini juga tidak pernah menyadari kemana uang tilang itu melayang. Saya bisa memahami bahwa tilang adalah bagian dari penindakan yang berujung ke efek jera, tetapi kemanakah uang itu kemudian terkumpul. Apakah dipakai untuk peningkatan kualitas lalu lintas dan angkutan jalan, ataukah dipakai sebagai kesejahteraan penindak, atau ada kemungkinan lain.
Lantas akhirnya saya mencoba membaca UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Memang pada bagian ketentuan umum yang memuat definisi-definisi, hanya ada “dana preservasi jalan” yang terkait dengan uang. Itupun bukan terkait dengan uang tilang.
Kalau soal besaran denda memang banyak disebut. Misalnya di bab keduapuluh, banyak besaran yang disebutkan. Pengendara kendaraan umum tidak masuk terminal yang ditentukan ijin trayek denda 250 ribu rupiah. Juga tentang pengendara yang kendaraannya tidak dilengkapi dengan ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda dan P3K, kena denda sebesar 250 ribu rupiah. Tidak memiliki SIM denda sejuta. Tidak memeliki peralatan spion, klakson, lampu utama, lampu penunjuk arah, speedometer, knalpot serta kedalaman alur ban yang memenuhi spesifikasi teknis, denda sebesar 250 ribu rupiah. Dan lain sebagainya (mungkin perlu dibikin posting khusus, hehe)
Tapi kemana uang denda itu bermuara? Apakah sama dengan denda pada tindakan pidana umum lainnya? Apakah termasuk pendapatan negara bukan pajak? Apakah juga diaudit? Oleh siapa?
***
Pertanyaan saya tak terjawab hanya dengan membaca undang-undang lalu lintas itu hingga bagian penjelasannya. Mungkin juga pertanyaan itu adalah pertanyaan konyol, karena para ahli hukum dan juga keuangan negara, pasti bisa menjawabnya.
Tetapi saya kemudian mempunyai pertanyaan sederhana. Sesederhana dinyatakan pada pasal awal undang-undang tersebut bahwa undang-undang ini diselenggarakan dengan asas transparan dan akuntabel.
Yaitu: tidakkah penyelenggara lalu lintas berkehendak untuk mengumumkan pendapatan denda tilang secara transparan kepada masyarakat? Atau bila memang kemudian diatur melalui rekening BRI untuk uang denda yang dititipkan (slip biru), tidakkah rekening BRI (rekening tunggal yang bersifat nasional) tersebut diumumkan ke khalayak? Jika iya, bukankah pelanggar tindak pidana lalu lintas bisa membayar denda tilang via ATM dengan mentransfer ke rekening yang dimaksud. Lebih singkat dan ringkas dan juga bisa meminimalkan kebocoran-kebocoran atas denda tilang tersebut.
Atau, keinginan saya tersebut tidaklah sesederhana itu? Entahlah.
[kkpp, 22.06.2011]
Keping Terkait:
Sila mampir juga ke:
Ini Dia Surat Tilang Elektronik