Celoteh Nuha, Indonesiana

Celoteh Nuha: Jokowi

Dalam perjalanan pulang ke rumah, setelah seharian saya menempuh Jakarta Surabaya via Tol Trans Jawa bersama rombongan konvoi alumni-alumni yang akan mengikuti Deklarasi Dukungan Alumni Jatim untuk #01 dan saya memisahkan diri dari rombongan karena Nuha dan bundanya menjemput saya di bundaran Waru, Nuha yang duduk di samping saya yang pegang setir bercerita,” Tadi lho Yah, aku dan temenku berdebat soal Jokowi dan Prabowo.”

“Kok bisa begitu?” saya bertanya penuh keingintahuan.

Baca lebih lanjut
Standar
Celoteh Nuha, Indonesiana, Social Media

Tik Tak Tik Tok

Sejak beberapa hari belakangan ber-sliweran kata “tik tok” di lini masa twitter saya. Saya gak ngeh. Apa sih ini? Cuma ya sebatas itu. Tertarik untuk googling juga enggak. Toh entar penjelasannya juga muncul-muncul sendiri.  Beneran, akhirnya muncul juga jawabannya sore ini (3/7). Apa yang muncul di linimasa kemudian saya baca dan ikuti kemana link-nya. Kaget! Baca lebih lanjut

Standar
Celoteh Nuha, Islam, Kisah Kehidupan

Celoteh Nuha: Februari Kok Kebagian 28?

tattock001

Bulan penuh, difoto dari roof top sebuah hotel-apartemen di kawasan Seturan, Yogyakarta. Agustus 2015.

Ayah, mengapa Muhammadiyah berbeda (hari) Arafah dan (hari raya) Idul Adha-nya?

Pertanyaan si sulung malam itu (29/9), bagaikan sergapan sang cicak di lagu cicak-cicak di dinding. Cepat dan tanpa disangka-sangka sebelumnya. Baca lebih lanjut

Standar
Celoteh Nuha, Indonesiana, Islam, Kisah Kehidupan

Tentang Valentine

Pertanyaan Nuha, putri saya yang belum genap berusia  sepuluh tahun, sore itu membuat saya terperanjat. Cepat atau lambat saya akan mendapatinya.

“Valentine itu haram ya, Yah?” tanyanya usai mendapati rak khusus bertuliskan “Happy Valentine” di sebuah toko swalayan, penuh dengan permen coklat.

Aku menjawab singkat,”Ayah sih gak merayakannya, Nu … .” Baca lebih lanjut

Standar
Celoteh Nuha, Kisah Kehidupan

Celoteh Nuha: Ijin Jualan

“Yah, aku boleh minta ijin?” tanya Nuha pada suatu pagi yang sedang diburu mepetnya aktivitas harian yang sudah menunggu.

“Emang mbak mau ngapain?” aku balik bertanya. Sejak keberadaan adiknya tiga tahun yang lalu, kata ‘mbak’ jadi salah satu panggilan bagi putri sulungku yang baru berusia tujuh tahun itu.

“Aku mau jualan pas hari Minggu besok.”

“Emang apa yang mau dijual?”

“Susu kotak.”

“Hah?” aku pura-pura terkejut.

“Iya, bunda kan membelikan aku dan adik susu, nah itu yang mau kujual.”

“Ya jangan dong. Bunda kan membelikan mbak susu kan biar mbak jadi gemuk. Kalau susunya dijual mbak kan jadi makin kurus,” kataku sambil ketawa. “Emang mau dijual berapaan trus buat apa?”

“Seribuan yah, ntar aku masukkan tabungan.”

“Kalau mau jual(an), mbak harus bikin sesuatu. Kayak bunda bikin kue. Kalau jual susu, ya ndak boleh.” Nuha manggut-manggut.

“Mbak jadi bareng ayah apa bunda?” Obrolan harus segera diakhiri karena kami harus segera berangkat sebelum jalanan makin padat.

***

Keesokan harinya, Nuha melanjutkan obrolan, “Yah, aku jadi boleh jualan di hari minggu besok?”

“Emang mbak mau jualan apa?” jawabanku senada jawaban yang kemarin.

“Jual lirik lagu.”

Kali ini aku terkejut beneran. Terkejut atas ide jualan lirik lagu. Terkejut atas kesungguhannya jualan bahkan mencari alternatif jualan selain susu kotak yang telah aku veto kemarin.

Aku lantas menghampirinya yang tengah sibuk menulis.

“Ini aku menyalin lirik, besok aku jual,” di hadapannya ada cover cd yang berisikan lirik lagu anak-anak.

Lapak Nuha di depan rumah

Tak ada lagi yang disanggah. Aku hanya tersenyum, yang cukup diartikan bagi Nuha sebagai pertanda persetujuan.

Pagi ini, Minggu Pon 19 Februari, maka jadilah di depan rumah kami, Nuha membuka lapak, yang diangkatnya sendiri.

[kkpp, 19.02.2012, sent from my BlackBerry®]

Keping terkait:

Celoteh Nuha: Nama Lengkapnya Rotiboy

Celoteh Nuha: Ayah, Jangan Pulang Malam

Celoteh Nuha: Ayam Kakung

Standar
Celoteh Nuha, Kisah Kehidupan

Celoteh Nuha: Nama Lengkapnya Rotiboy

Dari nama lengkap anak saya kedua, nama panggilan yang kami pilih adalah Alvaro, nama depan dari nama lengkapnya yang terdiri tiga nama. Karena terdiri dari tiga suku kata, maka kami kemudian memilih nama singkat “Varo”. Kadang Bundanya memanggil dengan “Al”, kadang tante-tante dan budhe-nya memanggil dengan turunan dari Varo, yaitu “Vayo”, “Va-O”.

Saya sendiri lebih sering memanggil dengan “Le”, turunan dari “tole”, cara orang Jawa memanggil anak laki-lakinya, sebagaimana cara Bapak memanggil saya. Kadang saya memanggilnya “Dik” sebagai pembahasaan untuk Nuha.

Suatu malam, Nuha kemudian berceloteh,  “Yah, sebenarnya nama adik lebih keren kalo dipanggil Boy.”

“Kok bisa?”

“Iya. Adik kan anak cowok dan ganteng. Lebih keren dipanggil Boy daripada Le.”

Aku cuma ketawa.

6971609169_77630e9f4b

Foto ilustrasi pinjam dari http://www.ritualmakan.blogspot.co.id

“Kalau jadi dipanggil Boy, nama lengkapnya Rotiboy,” ucap Nuha tanpa merasa bersalah.

Kali ini aku bukan sekedar ketawa. Ngakak malah. Kok bisa milih nama Rotiboy. Kalau dituntut melanggar hak cipta bagaimana?

[kkpp, 26.05.2011]

Tulisan terkait:

Celoteh Nuha: Ayah, Jangan Pulang Malam!

Celoteh Nuha: Ayam Kakung

Celoteh Nuha: Belajar Memilih

Standar
Celoteh Nuha, film, Indonesiana, Resensi

Alangkah (nggak) Lucunya Negeri Ini

Bukan karena Tio Pakusadewo melalui film “Alangkah  Lucunya (Negeri Ini)” yang baru saja memperoleh penghargaan Pemeran Pendukung Pria Terbaik di ajang Indonesian Movie Award 2011, Selasa (10/5/11) yang lalu, maka kemudian saya baru sempat menonton film itu sekarang.

Telat setahun lebih sejak film yang disutradarai Deddy Mizwar ini di-launching pada April 2010.  Meski demikian, sepertinya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini masih saja tetap relevan.

Film yang berkisah tentang sarjana pengangguran yang diharapkan orangtuanya segera bekerja dengan “layak”, Muluk (Reza Rahadian), yang kemudian berkenalan dengan anak-anak pencopet yang di-boss-i oleh Jarot (Tio Pakusadewo). Muluk kemudian menawarkan kerjasama dengan mengelola 10% penghasilan mencopet, dan mencoba mengarahkan agar anak-anak pencopet itu mau berubah mendapatkan pekerjaan halal. Mengasong adalah usulan Muluk sebagai alternatif pekerjaan bagi mereka.

Ternyata membuat mereka sadar untuk mengasong bukanlah hal yang mudah. Dalam proses inilah, kemudian Muluk mengajak teman sekaligus tetangganya, Samsul (Asrul Dahlan), sarjana kependidikan yang frustasi menganggur dan banyak menghabiskan waktu dengan bermain gaple, serta Pipit (Ratu Tika Bravani) yang asyik menghabiskan waktu menjawab berbagai kuis di televisi, untuk mengajar anak-anak pencopet yang ternyata memang buta huruf.

Kisah yang sederhana, tetapi jadi rumit karena ada peran Pak Makbul (Dedy Mizwar) ayah Muluk, Haji Sarbini (Slamet Rahardjo) yang juga ayah Pipit, dan Haji Rahmat (Jaja Mihardja) calon mertua Muluk. Ketiga orang tua yang digambarkan rajin ke musholla dan memiliki pandangan yang hitam-putih atas kondisi kekinian. Konflik terjadi manakala mereka bertiga mengetahui bahwa gaji Muluk dan Pipit adalah dari uang hasil mencopet.

***

Sebagaimana film-film karya Deddy Mizwar lainnya, sebut saja Nagabonar Jadi 2 (2007), pesan-pesan keindonesiaan film ini kental sekali.

Percakapan Muluk yang menenangkan Pipit misalnya, “…Ngapain aneh lihat para pencopet, lihat koruptor di tv biasa aja…,” atau saat memotivasi anak-anak pencopet agar mau bersekolah, “… kalian harus berpendidikan agar menjadi pencopet yang terdidik, yang mencopet brankas, mencopet bank atau mencopet uang negara …,” dan ungkapan-ungkapan lainnyaterasa di sepanjang film. Realitas yang dengan satir disampaikan. Bahkan teriakan, “Hidup koruptor!!”, terasa lucu tetapi menyakitkan.

Deddy Mizwar memang piawai menyajikan realitas sehari-hari tentang Indonesia yang disampaikan dengan elegan. Sayangnya, ada beberapa hal yang terlalu berlebihan. Misalnya, saat adegan Muluk bersama anak-anak pencopet melakukan upacara bendera, juga saat ramai-ramai datang ke Gedung DPR/MPR naik truk bak terbuka.

***

Film yang pantas ditonton, bahkan untuk beberapa tahun mendatang.

Film yang membuat saya kelabakan menjawab pertanyaan-pertanyaan Nuha, putri saya yang belum genap 7 tahun. Tentang mengapa anak-anak itu mencopet, tentang “agama apa saja yang penting gampang”, tentang koruptor, bahkan tentang mengapa petugas (baca: Satpol PP) menguber-uber pengasong yang katanya mencari uang dengan halal.

Bahkan, di akhir cerita, Nuha menangis tersedu-sedu, manakala Muluk ditangkap Satpol PP, sementara Komet (salah satu anak pencopet yang bersedia mengasong) dan teman-temannya mengejar-ngejar kendaraan Satpol PP yang membawa Muluk.

Bundanya Nuha pun sibuk menenangkan Nuha yang tersedu hingga terlelap dalam tangisan.

Sementara saya? Saking kerasnya tangisan Nuha, membuat saya tertawa kecut. Sanggupkah kita bercerita pada anak cucu kita, bahwa Indonesia yang kita wariskan kelak adalah negeri yang pantas ditertawai atas anekdot yang terjadi sehari-hari di depan mata kita? Atau kita menutupinya seolah negeri ini adalah negeri yang digdaya?

Saya, tak pantas lagi tertawa.

[kkpp, 16.05.2011]

Standar
Celoteh Nuha

Celoteh Nuha: Ayah, Jangan Pulang Malam!

“Ayah, jangan pulang malam! Nanti mobilnya pesok lagi”, ujar putri saya yang belum genap 7 tahun pada saya saat hendak berpamitan padanya sore tadi (5/5) untuk kembali ke kantor setelah menuntaskan urusan dengan asuransi, bengkel dan jasa derek. Si Rossi, avanza hitam yang menemani saya ke sana ke mari, sudah diderek ke bengkel yang ditunjuk asuransi. Saya yang hendak kembali ke kantor menggunakan mobil punya teman yang juga avanza warna hitam, tersenyum kecut mendengar nasehatnya. Rupanya Nuha khawatir, mobil pinjaman itu akan bernasib sama dengan si Rossi, bila saya kembali pulang terlalu larut.

Si Rossi setelah diantarkan derek ke rumah sebelum dievakuasi ke bengkel yang ditunjuk asuransi

Semalam memang si Rossi nubruk pembatas jalan di salah satu ruas jalan di Sidoarjo. Lepas tengah malam saat hari bergulir tanggal (5/5/11). Saat itu sepanjang jalan Gajah Mada masih banyak mengumpulkan warga Sidoarjo yang hendak menunggu salah satu babak semifinal UEFA Champions League di beberapa kafe dan warung pinggir jalan. Sontak mereka segera mengerumuni saya yang mengalami kecelakaan tunggal karena hal yang sepele: ngantuk. Entah mengapa malam itu saya ngantuk sekali setelah lepas diskusi dan cangkrukan dengan kawan lama yang hendak menuntaskan novelnya. Padahal seringkali juga, saya pulang jauh lebih larut dari malam itu.

Padahal beberapa waktu sebelumnya, saya sempat berharap bahwa si Rossi bakal memperpanjang rekor si Igago yang tak sekalipun pernah claim asuransi selama 100.000 km. (Baca: Tips Aman Berkendara). Ternyata baru 5,000-an km harus sudah sambang asuransi dengan kerusakan yang sedemikian parah: bemper depan, kap mesin, radiator, kondensor ac, steer rack.

Sebagaimana yang saya tuliskan terdahulu, mengendarai avanza membuat saya lebih waspada karena kondisinya yang rapuh. Nabrak sedikit, kerusakannya lebih dari yang diperkirakan. Tapi memang, malam itu saya tak waspada. Menyerah pada kantuk sesaat. Seharusnya, pada tulisan saya terdahulu harus ada alinea khusus tentang managemen ngantuk. Hehe.

Selain managemen ngantuk, sebaiknya kita juga menyimpan nomer yang diperlukan secara mendadak sebagaimana pada malam itu yang membutuhkan bantuan mobil derek.

Malam itu, saya butuh waktu satu jam lebih untuk memanggil derek. Nomer jasa derek saya cari dari cara nge-tweet, yang juga sekaligus update status di facebook, yang kemudian direspons oleh beberapa kawan (thanks God, I still have many friends of mine), cara yang efektif adalah telpon di 108. Simple, tapi malah efektif.

Yang penting, jika terjadi kecelakaan, jangan panik selama masih ada handphone dengan baterai dan pulsa yang cukup. Dengan handphone di tangan yang bisa berfungsi baik, banyak hal yang bisa dikerjakan untuk mengatasi masalah yang timbul karena kecelakaan. Tetapi demikian, berhati-hati jauh lebih baik untuk mencegah kecelakaan.

Bukankah di rumah ada keluarga yang menanti kita kembali dengan selamat? Seperti halnya Nuha bagi saya.

[kkpp, 05.05.11]

Standar