Bukan karena Tio Pakusadewo melalui film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” yang baru saja memperoleh penghargaan Pemeran Pendukung Pria Terbaik di ajang Indonesian Movie Award 2011, Selasa (10/5/11) yang lalu, maka kemudian saya baru sempat menonton film itu sekarang.
Telat setahun lebih sejak film yang disutradarai Deddy Mizwar ini di-launching pada April 2010. Meski demikian, sepertinya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini masih saja tetap relevan.
Film yang berkisah tentang sarjana pengangguran yang diharapkan orangtuanya segera bekerja dengan “layak”, Muluk (Reza Rahadian), yang kemudian berkenalan dengan anak-anak pencopet yang di-boss-i oleh Jarot (Tio Pakusadewo). Muluk kemudian menawarkan kerjasama dengan mengelola 10% penghasilan mencopet, dan mencoba mengarahkan agar anak-anak pencopet itu mau berubah mendapatkan pekerjaan halal. Mengasong adalah usulan Muluk sebagai alternatif pekerjaan bagi mereka.
Ternyata membuat mereka sadar untuk mengasong bukanlah hal yang mudah. Dalam proses inilah, kemudian Muluk mengajak teman sekaligus tetangganya, Samsul (Asrul Dahlan), sarjana kependidikan yang frustasi menganggur dan banyak menghabiskan waktu dengan bermain gaple, serta Pipit (Ratu Tika Bravani) yang asyik menghabiskan waktu menjawab berbagai kuis di televisi, untuk mengajar anak-anak pencopet yang ternyata memang buta huruf.
Kisah yang sederhana, tetapi jadi rumit karena ada peran Pak Makbul (Dedy Mizwar) ayah Muluk, Haji Sarbini (Slamet Rahardjo) yang juga ayah Pipit, dan Haji Rahmat (Jaja Mihardja) calon mertua Muluk. Ketiga orang tua yang digambarkan rajin ke musholla dan memiliki pandangan yang hitam-putih atas kondisi kekinian. Konflik terjadi manakala mereka bertiga mengetahui bahwa gaji Muluk dan Pipit adalah dari uang hasil mencopet.
***
Sebagaimana film-film karya Deddy Mizwar lainnya, sebut saja Nagabonar Jadi 2 (2007), pesan-pesan keindonesiaan film ini kental sekali.
Percakapan Muluk yang menenangkan Pipit misalnya, “…Ngapain aneh lihat para pencopet, lihat koruptor di tv biasa aja…,” atau saat memotivasi anak-anak pencopet agar mau bersekolah, “… kalian harus berpendidikan agar menjadi pencopet yang terdidik, yang mencopet brankas, mencopet bank atau mencopet uang negara …,” dan ungkapan-ungkapan lainnyaterasa di sepanjang film. Realitas yang dengan satir disampaikan. Bahkan teriakan, “Hidup koruptor!!”, terasa lucu tetapi menyakitkan.
Deddy Mizwar memang piawai menyajikan realitas sehari-hari tentang Indonesia yang disampaikan dengan elegan. Sayangnya, ada beberapa hal yang terlalu berlebihan. Misalnya, saat adegan Muluk bersama anak-anak pencopet melakukan upacara bendera, juga saat ramai-ramai datang ke Gedung DPR/MPR naik truk bak terbuka.
***
Film yang pantas ditonton, bahkan untuk beberapa tahun mendatang.
Film yang membuat saya kelabakan menjawab pertanyaan-pertanyaan Nuha, putri saya yang belum genap 7 tahun. Tentang mengapa anak-anak itu mencopet, tentang “agama apa saja yang penting gampang”, tentang koruptor, bahkan tentang mengapa petugas (baca: Satpol PP) menguber-uber pengasong yang katanya mencari uang dengan halal.
Bahkan, di akhir cerita, Nuha menangis tersedu-sedu, manakala Muluk ditangkap Satpol PP, sementara Komet (salah satu anak pencopet yang bersedia mengasong) dan teman-temannya mengejar-ngejar kendaraan Satpol PP yang membawa Muluk.
Bundanya Nuha pun sibuk menenangkan Nuha yang tersedu hingga terlelap dalam tangisan.
Sementara saya? Saking kerasnya tangisan Nuha, membuat saya tertawa kecut. Sanggupkah kita bercerita pada anak cucu kita, bahwa Indonesia yang kita wariskan kelak adalah negeri yang pantas ditertawai atas anekdot yang terjadi sehari-hari di depan mata kita? Atau kita menutupinya seolah negeri ini adalah negeri yang digdaya?
Saya, tak pantas lagi tertawa.
[kkpp, 16.05.2011]
Ping-balik: Nyasarudin « Kepingan Kakap Paling Pojok