photography, Resensi, Viewfinder

Kamera Kedua

Sebagai alat berburu obyek foto, saya masih menyukai kamera DSLR sebagai alat tembak yang berdaya guna. Bahkan, menyetujui apa yang disampaikan mas Arbain Rambey di suatu acara workshop tahun yang lalu, usai acara itu saya berkeinginan menambah satu set lagi body camera DSLR. Bukan untuk maruk atau gaya-gayaan (baca juga: Fashion dan Function), tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa pada suatu acara perburuan obyek foto ternyata obyek lebih tepat ‘ditembak’ menggunakan kombinasi set tertentu. Biasanya, jika hanya membawa satu body camera DSLR, harus dilakukan penggantian ke jenis lensa lainnya. Penggantian lensa ini tentu saja memakan waktu tetapi mengorbankan momen yang hilang tak bisa digantikan. Karenanya, jangan heran bila menjumpai fotografer pun juga jurnalis foto membawa lebih dari satu set kamera.

Tetapi sebelum niat itu terlaksana, belakangan saya malah berkeinginan mempunyai kamera saku sebagai kamera kedua. Alasannya sama: takut kehilangan momen, khususnya di acara-acara yang tidak memungkinkan membawa kamera DSLR.

Di acara workshop yang sama, mas Arbain Rambey memberikan contoh sebuah foto yang dimuat di halaman depan harian Kompas, yang diambil ‘hanya’ menggunakan kamera handphone. Diceritakan waktu itu, kondisi tidak memungkinkan membawa kamera karena masyarakat di sekitar obyek foto ‘alergi’ dengan keberadaan jurnalis foto.

Masuk akal juga, daripada mengantongi kamera saku dan juga telepon genggam, biar lebih praktis, kamera saku itu cukup sebagai sebuah feature dari telepon genggam. Cuma ada satu barang di saku, tetapi dengan dua fungsi sekaligus.

Pilihan pertama memang adalah Iphone, kemudian juga Xperia-nya Sonny Ericsson.

Bukan keduanya yang saya pakai sebagai kamera kedua. Tetapi akhirnya saya malah melabuhkan ke Blackberry 9860 Monza. Sebuah pilihan alternatif sekaligus untuk mengganti blackberry lama saya yang mulai kian terengah-engah.

Sebagai kamera kedua, inilah beberapa hasil jepretan dari Blackberry 9860 Monza.

Embun dan Blimbing Wuluh.

Durian. Kiri dan kanan adalah obyek yang sama tetapi dengan beda cara 'menembak'.

Nameplate. Salah satu kegunaan kamera kedua, untuk memfoto obyek di pabrik, lokasi terbatas dan perlu jarak dekat.

Malam. Nyoba berburu obyek di malam hari.

Dipadukan dengan salah satu software dari Blackberry Application World

Bagaimana?

Cukup berdaya-guna kan meski hanya sebagai kamera kedua…

[kkpp, 16.01.2012]

Standar
fiksi, Resensi

Kisah Lama Tak Selalu Usang

Di akhir minggu awal Desember kemarin, saya menghabiskan dua buku lama yang dicetak ulang. Yang pertama adalah komik Tintin edisi ke Sovyet. Sedang yang kedua adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pilihan atas kedua buku itu bersamaan dengan titipan Nuha (aih, merekah juga waktu tahu si sulung mulai gemar membaca) untuk mencarikan salah satu seri dari “Kecil-kecil Punya Karya”. Memang ada beberapa buku lainnya yang juga menarik, misalnya saja biografinya Steve Jobbs atau kumpulan tulisan Dahlan Iskan, atau sebuah novel yang berlatar kisah lumpur Lapindo.

Keterbatasan waktu untuk membaca, tampaknya membuat saya memilih dua buku tentang kisah lama yang tak usang dibandingkan tiga buku baru yang kinyis-kinyis yang bisa ditunda kapan membacanya. Sebuah kebetulan, kedua kisah lama itu pada tahun ini divisualisasikan melalui media film.

***

Kisah Tintin memang seolah datang dari masa lalu. Dulu saya mengakrabinya dari perpustakaan punya sekolah dasar yang sudah lusuh dan robek di sekeliling halamannya. Kadang jika punya uang saku berlebih, saya menyempatkan  untuk sekedar naik bemo ke pusat kota, tempat dimana saya bisa membaca gratis buku-buku yang belum diplastiki. Hehe, maklum, uang saku saya tak sanggup untuk menebusnya dan membaca di rumah.

Meski sudah beberapa waktu yang lalu kisah petualangan Tintin diterbitkan ulang, rasanya tetap menyenangkan menemukan salah satu kisah Tintin bersampul sederhana: putih, di salah satu rak toko buku. Judul lengkapnya adalah Petualangan Tintin Wartawan “Le Petit Vingtième” – di Tanah Sovyet. Buku yang ini rasanya sulit ditemukan di masa-masa lalu. Berkisah saat Tintin bertugas meliput apa yang terjadi di Sovyet, yang mana kemudian banyak mengalami hambatan karena dihadang oleh orang-orang partai komunis yang tengah berkuasa di sana.

Yang menarik pada buku ini, Snowy, anjing putih yang setia pada Tintin, masih dituliskan bernama Milo. Konon, nama Milo ini diambil dari nama pacar yang belum sempat dinikahi sang penulis: Herge. Saat membikinnya, Herge masih berusia 23 tahun.

Gambarnya masih hitam putih dan terasa kasar. Juga masih belum ada tokoh-tokoh yang lain sebagaimana di edisi yang lain. Maklum, inilah Tintin edisi pertama, yang diterbitkan secara bersambung di surat kabar Le Petit Vingtième, Belgia, sejak 10 Januari 1929 hingga 8 Mei 1930. Baru setelah itu, kisah ini dibukukan hanya untuk 500 eksemplar saja.

Pada kisah ini, penggambaran anti komunis sangat terasa seiring dengan hitam-putihnya sketsa Tintin dan Milo yang sedemikian mudah untuk lolos dari berbagai kesulitan berbanding terbalik dengan sedemikian gampangnya para komunis pengejarnya kehilangan buruan.

***

Sebagaimana Tintin di tanah Sovyet yang pernah dimuat secara bersambung, novel dari Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, juga berawal dari cerita bersambung yang pernah dimuat di surat kabar. Malah novel ini merupakan penyatuan dari trilogi (mungkin jaman itu istilah novel trilogi masih belum sesemarak saat ini): (i) Ronggeng Dukuh Paruk (ii) Lintang Kemukus Dini Hari, serta (iii) Jantera Bianglala.

Novel ini divisualisasikan menjadi film "Sang Penari", dan karenanya, buku yang saya baca di akhir minggu kemarin adalah buku dengan tambahan sampul sebagaimana gambar di atas yang tengah. Di sisi kiri, adalah sampul asli novel ini, sedang sisi kanan adalah sampul dari edisi bahasa inggrisnya.

Dengan penggabungan ketiga novel menjadi satu dalam Ronggeng Dukuh Paruk, maka semakin kompletlah kisah Srintil dan Rasus, sepasang anak manusia yang dilahirkan di desa miskin di selatan Jawa Tengah, Dukuh Paruk. Berawal dari Srintil yang didaulat menjadi Ronggeng, tradisi yang ternyata tak jadi mati, tetapi di sisi yang lain, Rasus jadi kehilangan sosok Srintil karena menjadi ronggeng berarti menjadi milik semua orang, serta keberhasilan Srintil yang menjadi ronggeng ngetop melampaui dukuhnya yang miskin. Hingga malapetaka yang dialami Dukuh Paruk karena dikaitkan dengan geger politik terkelam negeri ini di tahun 1965, sementara di sisi yang lain, Rasus sudah terlanjur menjadi tentara. Biar hanya berpangkat rendah, seluruh dukuh memujanya.

Ahmad Tohari menggambarkan gejolak hati sepasang anak manusia itu dengan penuh getir, bahwa cinta tak selalu sejalan dengan keinginan masyarakat. Saat keduanya menginginkan, satu dukuh atas nama tradisi menginginkan sang ronggeng yang baru dilahirkan setelah menunggu sekian tahun. Di kemudian waktu, saat dukuh menginginkan sang tentara menjadi pahlawan bagi ronggeng yang telah terstempel ex tahanan politik, sang tentara harus berpikir ulang.

Tetapi yang utama, Ahmad Tohari piawai mendongeng bagaimana kemiskinan itu sedemikian dekat bagi pembacanya. Coba saja lihat beberapa frase di awal kisah sebagai berikut:

Kemiskinan di tangan Ahmad Tohari adalah dongeng nyata di sekitar kita. Kisah lama yang tak usang.

[kkpp, 05.12.2011]

Standar
Celoteh Nuha, film, Indonesiana, Resensi

Alangkah (nggak) Lucunya Negeri Ini

Bukan karena Tio Pakusadewo melalui film “Alangkah  Lucunya (Negeri Ini)” yang baru saja memperoleh penghargaan Pemeran Pendukung Pria Terbaik di ajang Indonesian Movie Award 2011, Selasa (10/5/11) yang lalu, maka kemudian saya baru sempat menonton film itu sekarang.

Telat setahun lebih sejak film yang disutradarai Deddy Mizwar ini di-launching pada April 2010.  Meski demikian, sepertinya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini masih saja tetap relevan.

Film yang berkisah tentang sarjana pengangguran yang diharapkan orangtuanya segera bekerja dengan “layak”, Muluk (Reza Rahadian), yang kemudian berkenalan dengan anak-anak pencopet yang di-boss-i oleh Jarot (Tio Pakusadewo). Muluk kemudian menawarkan kerjasama dengan mengelola 10% penghasilan mencopet, dan mencoba mengarahkan agar anak-anak pencopet itu mau berubah mendapatkan pekerjaan halal. Mengasong adalah usulan Muluk sebagai alternatif pekerjaan bagi mereka.

Ternyata membuat mereka sadar untuk mengasong bukanlah hal yang mudah. Dalam proses inilah, kemudian Muluk mengajak teman sekaligus tetangganya, Samsul (Asrul Dahlan), sarjana kependidikan yang frustasi menganggur dan banyak menghabiskan waktu dengan bermain gaple, serta Pipit (Ratu Tika Bravani) yang asyik menghabiskan waktu menjawab berbagai kuis di televisi, untuk mengajar anak-anak pencopet yang ternyata memang buta huruf.

Kisah yang sederhana, tetapi jadi rumit karena ada peran Pak Makbul (Dedy Mizwar) ayah Muluk, Haji Sarbini (Slamet Rahardjo) yang juga ayah Pipit, dan Haji Rahmat (Jaja Mihardja) calon mertua Muluk. Ketiga orang tua yang digambarkan rajin ke musholla dan memiliki pandangan yang hitam-putih atas kondisi kekinian. Konflik terjadi manakala mereka bertiga mengetahui bahwa gaji Muluk dan Pipit adalah dari uang hasil mencopet.

***

Sebagaimana film-film karya Deddy Mizwar lainnya, sebut saja Nagabonar Jadi 2 (2007), pesan-pesan keindonesiaan film ini kental sekali.

Percakapan Muluk yang menenangkan Pipit misalnya, “…Ngapain aneh lihat para pencopet, lihat koruptor di tv biasa aja…,” atau saat memotivasi anak-anak pencopet agar mau bersekolah, “… kalian harus berpendidikan agar menjadi pencopet yang terdidik, yang mencopet brankas, mencopet bank atau mencopet uang negara …,” dan ungkapan-ungkapan lainnyaterasa di sepanjang film. Realitas yang dengan satir disampaikan. Bahkan teriakan, “Hidup koruptor!!”, terasa lucu tetapi menyakitkan.

Deddy Mizwar memang piawai menyajikan realitas sehari-hari tentang Indonesia yang disampaikan dengan elegan. Sayangnya, ada beberapa hal yang terlalu berlebihan. Misalnya, saat adegan Muluk bersama anak-anak pencopet melakukan upacara bendera, juga saat ramai-ramai datang ke Gedung DPR/MPR naik truk bak terbuka.

***

Film yang pantas ditonton, bahkan untuk beberapa tahun mendatang.

Film yang membuat saya kelabakan menjawab pertanyaan-pertanyaan Nuha, putri saya yang belum genap 7 tahun. Tentang mengapa anak-anak itu mencopet, tentang “agama apa saja yang penting gampang”, tentang koruptor, bahkan tentang mengapa petugas (baca: Satpol PP) menguber-uber pengasong yang katanya mencari uang dengan halal.

Bahkan, di akhir cerita, Nuha menangis tersedu-sedu, manakala Muluk ditangkap Satpol PP, sementara Komet (salah satu anak pencopet yang bersedia mengasong) dan teman-temannya mengejar-ngejar kendaraan Satpol PP yang membawa Muluk.

Bundanya Nuha pun sibuk menenangkan Nuha yang tersedu hingga terlelap dalam tangisan.

Sementara saya? Saking kerasnya tangisan Nuha, membuat saya tertawa kecut. Sanggupkah kita bercerita pada anak cucu kita, bahwa Indonesia yang kita wariskan kelak adalah negeri yang pantas ditertawai atas anekdot yang terjadi sehari-hari di depan mata kita? Atau kita menutupinya seolah negeri ini adalah negeri yang digdaya?

Saya, tak pantas lagi tertawa.

[kkpp, 16.05.2011]

Standar
Blogroll, Resensi, Website

[tentang] Infofotografi

Baru saja saya mampir di www.infofotografi.com.

Wah nyesal juga mengapa terlambat tahu tentang blog yang cukup keren itu. Informatif, disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti, serta blognya terlihat manis meski  balutan sederhana dengan dominan warna putih. Dan yang utama, saya menyukai blog tersebut karena tampil dengan bahasa Indonesia yang sangat lugas, meski sang penulis, Enche Tjin, pernah (atau sedang ya) bersekolah di luar negeri.

Jika Anda, pemula ataupun yang tengah meminati untuk hal-hal yang terkait dengan fotografi tak ada salahnya jika Anda mampir ke sini. Monggo

(kkpp, 21.10.2010)

Standar
Indonesiana, Kisah Kehidupan, Resensi

Sejuta Hati untuk Gus Dur

Abdurrahman Wahid telah berangkat menghadap penciptanya untuk waktu tak terbatas. Bangsa ini telah kehilangan pahlawan humanis yang tidak mudah dicari penggantinya. Dengan novel ini, kenangan manis terhadap sahabat kita ini akan terus hidup dan segar dalam lipatan kurun waktu yang panjang” – Ahmad Syafii Maarif.

Demikian kutipan Ahmad Syafii Maarif, tokoh nasional sekaligus guru bangsa, yang tertera di sampul buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur.

Buku ini saya peroleh hampir tiga bulan sejak kepulangan Gus Dur menghadap Sang Khalik. Baru sadar ternyata hampir lama juga saya tidak mampir ke toko buku.

Sebenarnya waktu itu hampir saja saya memilih buku tentang Gus Dur yang lain, sebelum mata tertumbuk pada kalimat berukuran kecil di bawah judul sebuah buku berukuran 13 kali 20 cm: Sebuah novel dan memorial. Hmm, menarik juga, Gus Dur dalam perspektif novel, pikirku.

Secara pribadi, aku yang bukan dibesarkan di lingkungan NU, merasa kehilangan sosok Gus Dur. Saat mendengarkan doa dari Gus Mus (KH Mustofa Bisri) pada saat pemakaman, meski hanya mendengarkan dari radio saja yang disiarkan secara live di Elshinta, sambil nyetir di tol waktu itu, tak terasa mata ikut berlinang…

***

Menurut penulisnya, Damien Dematra, buku ini memang dedikasikan untuk KH Abdurrahman Wahid, Presiden RI yang keempat, yang meninggal di RS Cipto Mangunkusumo pada hari Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 wib.

Penulis mendengar kabar duka pada saat melakukan audisi film, salah satunya adalah Gus Dur: The Movie. Dari script skenario Gus Dur The Movie inilah, novel ini dilahirkan. Sehingga waktu penyelesaian novel ini hanya membutuhkan waktu tiga hari dari hari duka.

Luar biasa! Sebuah kerja keras dan dedikasi melahirkan buku setebal 426 halaman hanya dalam waktu singkat. Rupanya penulis masih terngiang pesan Gus Dur padanya, “Aku sangat suka membaca novel dan menonton film. Aku harap suatu hari kisah hidup aku dapat menginspirasi kamu.” (hal. 288)

Sebagai memorial, buku ini terdiri dari obituari dari Ulil Abshar Abdalla, Sulaiman (asisten pribadi Gus Dur), dan Mgr. Johannes Pujasumarta (Uskup Bandung). Sedangkan kata pengantar disampaikan oleh Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah).

Selepas novel 35 bab, di bagian akhir masih memuat catatan penulis, kutipan lengkap wawancara penulis dengan keluarga Gus Dur, kata penutup dari Alissa Wahid mewakili keluarga Gus Dur. Serta berbagai kesan dari masyarakat yang terwakili melalui facebookers.

Novel sendiri bertutur maju. Diawali dari kisah sang kakek, saat masih di Mekkah akhir abad ke-19, kepulangannya ke tanah air, serta kisah sang bapak yang terlibat di perjuangan kemerdekaan republik ini. Rasanya, membicarakan Gus Dur tak bisa terlepas dari sosok sang kakek dan sang bapak: Hadratussyech Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.

Cerita kemudian berlanjut hingga ke masa kecil Gus Dur sebagai anak sulung yang juga anak seorang menteri yang suka sepakbola dan membaca, yang berbakat dalam bahasa asing dan jatuh cinta pada musik klasik, hingga saat-saat sulit karena menjadi yatim saat masih terlalu muda.

Saat-saat Gus Dur bersekolah, meniti karir sebagai pengajar, dan kemudian harus ke luar negeri. Kisah cinta hingga kisah sebagai suami dan ayah terwakili dalam buku ini. Sayangnya, kisah perjuangan Gus Dur tentang keindonesiaan dan keislaman, sejak di Mesir dan Baghdad, hingga kepulangan ke tanah air, meretas jalan dakwah melalui diskusi lintas agama, hingga menjadi orang nomor satu di Nahdlatul Ulama, dan hingga menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia, kurang tergambarkan secara lengkap. Episode-episode penuh intrik dan konflik, tidak terpetakan secara penuh hingga mampu mengharubirukan pembaca.

Terlepas dari segala kekurangan, sebagai novel dan memorial, buku ini pantas diapresiasi. Sebuah cara baru memaknai salah satu tokoh Indonesia di pelataran sejarah negeri ini.

Ya, sejuta hati kami untukmu, Gus! Bukan semata air mata duka, tetapi keteguhan hati untuk berjuang: tentang keindonesiaan juga tentang keislaman.

(kkpp, 04.05.2010)

Standar
film, Liverpool, Resensi

Across The Universe

MV5BMTIyNzkyODI0M15BMl5BanBnXkFtZTcwODYzMzc1MQ@@._V1._SX100_SY136_Gara-gara channel walking (halah, ada yang nemu padanan katanya dalam bahasa Indonesia yang pas?) di suatu tengah malam, akhirnya saya melabuhkan pilihan di suatu channel saat melihat ‘TIA sign’ – lambang This is Anfield di salah satu adegan. Lambang yang diakrabi oleh penggemar Liverpool FC itu ternyata berada di kamar Jude (diperankan Jim Sturgess), tokoh utama film itu yang mengambil setting tahun 1960-an. Across the Universe, judulnya. Saya cukup menikmati film ini. Buktinya saya yang hanya awalnya mencari saluran tivi sekedar mencari kegiatan sebelum menanti kantuk datang, malah melek hingga akhir cerita.

Ceritanya cukup sederhana sebenarnya. Kisah anak yang hanya diasuh sang ibu-single-parent di kota Liverpool mencari sang ayah ke Amerika. Maksud Jude kesampaian. Meski sang ayah tak seperti dalam bayangan. Jude kemudian malah jatuh cinta pada Lucy (diperankan oleh Evan Rachel Wood), adik dari kenalan saat pencarian sang ayah. Kisah cinta sejoli ini, diwarnai demo, karena Lucy kemudian jadi aktivis anti perang Vietnam. Untuk menguatkan setting, sempat ada potongan kisah meninggalnya Martin Luther King.

Dengan cerita yang sesederhana itu, saya menikmati tiap adegan film berdurasi 133 menit ini karena suasana setting 60-an yang kuat terbangun plus serasa nonton “film-klip” – kalau cuma sebentar kan video klip, nah ini sepanjang film) – nya The Beatles. Sempat gak ngeh sih awalnya. Tapi saat tersadar bahwa memang film ini adalah film musikal yang banyak menggunakan lagu-lagu The Beatles, di pertengahan film saya jadi sempat menebak-nebak kaitan tokoh utama, Jude dan Lucy, dengan lagu yang terkait, yang memang kemudian muncul di menjelang akhir cerita. Hayo, sudah tahu kan, lagu yang mana?

Di akhir cerita, dugaan saya bahwa film ini adalah film jadul – karena setting dan happy ending –  ternyata salah besar. Cukup kaget saat membaca ternyata film musikal yang disutradarai Julie Taymor ini adalah buatan tahun 2007. Bahkan sempat dinominasikan meraih Oscar untuk kategori “Best Achievement in Costume Design” dan nominasi Grammy untuk kategori “Best Compilation Soundtrack Album for Motion Picture, Television or Other Visual Media”.

(kkpp, 24 September 2009)

Standar