fiksi, Resensi

Kisah Lama Tak Selalu Usang

Di akhir minggu awal Desember kemarin, saya menghabiskan dua buku lama yang dicetak ulang. Yang pertama adalah komik Tintin edisi ke Sovyet. Sedang yang kedua adalah novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pilihan atas kedua buku itu bersamaan dengan titipan Nuha (aih, merekah juga waktu tahu si sulung mulai gemar membaca) untuk mencarikan salah satu seri dari “Kecil-kecil Punya Karya”. Memang ada beberapa buku lainnya yang juga menarik, misalnya saja biografinya Steve Jobbs atau kumpulan tulisan Dahlan Iskan, atau sebuah novel yang berlatar kisah lumpur Lapindo.

Keterbatasan waktu untuk membaca, tampaknya membuat saya memilih dua buku tentang kisah lama yang tak usang dibandingkan tiga buku baru yang kinyis-kinyis yang bisa ditunda kapan membacanya. Sebuah kebetulan, kedua kisah lama itu pada tahun ini divisualisasikan melalui media film.

***

Kisah Tintin memang seolah datang dari masa lalu. Dulu saya mengakrabinya dari perpustakaan punya sekolah dasar yang sudah lusuh dan robek di sekeliling halamannya. Kadang jika punya uang saku berlebih, saya menyempatkan  untuk sekedar naik bemo ke pusat kota, tempat dimana saya bisa membaca gratis buku-buku yang belum diplastiki. Hehe, maklum, uang saku saya tak sanggup untuk menebusnya dan membaca di rumah.

Meski sudah beberapa waktu yang lalu kisah petualangan Tintin diterbitkan ulang, rasanya tetap menyenangkan menemukan salah satu kisah Tintin bersampul sederhana: putih, di salah satu rak toko buku. Judul lengkapnya adalah Petualangan Tintin Wartawan “Le Petit Vingtième” – di Tanah Sovyet. Buku yang ini rasanya sulit ditemukan di masa-masa lalu. Berkisah saat Tintin bertugas meliput apa yang terjadi di Sovyet, yang mana kemudian banyak mengalami hambatan karena dihadang oleh orang-orang partai komunis yang tengah berkuasa di sana.

Yang menarik pada buku ini, Snowy, anjing putih yang setia pada Tintin, masih dituliskan bernama Milo. Konon, nama Milo ini diambil dari nama pacar yang belum sempat dinikahi sang penulis: Herge. Saat membikinnya, Herge masih berusia 23 tahun.

Gambarnya masih hitam putih dan terasa kasar. Juga masih belum ada tokoh-tokoh yang lain sebagaimana di edisi yang lain. Maklum, inilah Tintin edisi pertama, yang diterbitkan secara bersambung di surat kabar Le Petit Vingtième, Belgia, sejak 10 Januari 1929 hingga 8 Mei 1930. Baru setelah itu, kisah ini dibukukan hanya untuk 500 eksemplar saja.

Pada kisah ini, penggambaran anti komunis sangat terasa seiring dengan hitam-putihnya sketsa Tintin dan Milo yang sedemikian mudah untuk lolos dari berbagai kesulitan berbanding terbalik dengan sedemikian gampangnya para komunis pengejarnya kehilangan buruan.

***

Sebagaimana Tintin di tanah Sovyet yang pernah dimuat secara bersambung, novel dari Ahmad Tohari berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, juga berawal dari cerita bersambung yang pernah dimuat di surat kabar. Malah novel ini merupakan penyatuan dari trilogi (mungkin jaman itu istilah novel trilogi masih belum sesemarak saat ini): (i) Ronggeng Dukuh Paruk (ii) Lintang Kemukus Dini Hari, serta (iii) Jantera Bianglala.

Novel ini divisualisasikan menjadi film "Sang Penari", dan karenanya, buku yang saya baca di akhir minggu kemarin adalah buku dengan tambahan sampul sebagaimana gambar di atas yang tengah. Di sisi kiri, adalah sampul asli novel ini, sedang sisi kanan adalah sampul dari edisi bahasa inggrisnya.

Dengan penggabungan ketiga novel menjadi satu dalam Ronggeng Dukuh Paruk, maka semakin kompletlah kisah Srintil dan Rasus, sepasang anak manusia yang dilahirkan di desa miskin di selatan Jawa Tengah, Dukuh Paruk. Berawal dari Srintil yang didaulat menjadi Ronggeng, tradisi yang ternyata tak jadi mati, tetapi di sisi yang lain, Rasus jadi kehilangan sosok Srintil karena menjadi ronggeng berarti menjadi milik semua orang, serta keberhasilan Srintil yang menjadi ronggeng ngetop melampaui dukuhnya yang miskin. Hingga malapetaka yang dialami Dukuh Paruk karena dikaitkan dengan geger politik terkelam negeri ini di tahun 1965, sementara di sisi yang lain, Rasus sudah terlanjur menjadi tentara. Biar hanya berpangkat rendah, seluruh dukuh memujanya.

Ahmad Tohari menggambarkan gejolak hati sepasang anak manusia itu dengan penuh getir, bahwa cinta tak selalu sejalan dengan keinginan masyarakat. Saat keduanya menginginkan, satu dukuh atas nama tradisi menginginkan sang ronggeng yang baru dilahirkan setelah menunggu sekian tahun. Di kemudian waktu, saat dukuh menginginkan sang tentara menjadi pahlawan bagi ronggeng yang telah terstempel ex tahanan politik, sang tentara harus berpikir ulang.

Tetapi yang utama, Ahmad Tohari piawai mendongeng bagaimana kemiskinan itu sedemikian dekat bagi pembacanya. Coba saja lihat beberapa frase di awal kisah sebagai berikut:

Kemiskinan di tangan Ahmad Tohari adalah dongeng nyata di sekitar kita. Kisah lama yang tak usang.

[kkpp, 05.12.2011]

Standar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s