Jika ia, Sadiq Khan, dilahirkan di sini, mungkin namanya dituliskan Sodiq – Shodik – Sodik atau Sodikin. Ya, mungkin sebagaimana nama cak Sodik, teman melekan dulu di kantin ITS. Tapi Sadiq Khan dilahirkan di London. Bisa jadi lafalnya sama, entah juga sih ya, tapi tulisannya: Sadiq. Ayahnya sorang sopir bus, pendatang dari Pakistan dan, -siapa sangka- perjalanan waktu mengantarkannya menjadi Walikota London yang dilantik hari ini (7/5).

Sadiq Khan saat ambil bagian pada London Marathon 2014, 13 April 2014. (Photo by Karwai Tang/Getty Images)
Pergantian walikota mungkin hal yang biasa. Tapi kisahnya banyak mempunyai sisi menarik. Salah satunya karena Sadiq Khan secara tegas mengakui sebagai muslim. Dalam salah satu pidato kampanyenya, ia tak malu bercerita bahwa ayahnya mengajarinya tentang apa-apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad.
“For the last five years I’ve had people on the right attacking me for being too close to the Muslims, calling me an insurgent. But I’ve had it from both sides. During my legal career and being a councillor it was never an issue, it’s just obvious I’m an ethnic minority; anybody who knows me knows I’m a Muslim. When I was elected I’d never defined myself by my faith or by my ethnicity. I didn’t even realise that I was the first MP in London ever elected of Muslim faith.” ~ wawancara Sadiq Khan oleh Guardian pada tahun 2010, artikel lengkap bisa dibaca di sini.
Secara karir, capaian Sadiq Khan seolah menunggu waktu. Berkarir sebagai pengacara dan pembela hak asasi manusia, lantas memutuskan memasuki karir politik, karena beranggapan bahwa perubahan yang diharapkannya hanya bisa dilakukan melalui jalur politik. Sadiq kemudian sempat menorehkan catatan menjadi menteri muslim pertama yaitu menjadi menteri perhubungan pada kabinet Gordon Brown di tahun 2009 setelah sejak 2005 menjadi anggota parlemen (MP).
Menariknya, kejadian hari ini -Sadiq Khan menjadi walikota muslim di salah satu kota besar dunia ini- kemudian seolah menjadi amunisi baru buat kubu politik di tanah air. Kejadiannya sama, tafsirnya yang berbeda. Mirip kejadian sama: segelas air terisi separuh. Sebagian menganggap: gelas setengah penuh. Yang lain menganggap: gelas setengah habis.
Bagi yang satu: London aja walikotanya minoritas, lha di sini masih ribut soal pemimpin minoritas.
Bagi yang lainnya: Lho orang London saja memilih pemimpin muslim, kita keblinger jika tidak memilih muslim.
Benar kan, kejadian yang sama, tafsir bisa berbeda. Hihihi, Anda ikut yang mana? Yang satu atau yang lainnya?
Kalau saya, bagaimanapun juga keterpilihan Sadiq Khan yang minoritas menjadi Walikota London adalah produk demokrasi yang memungkinkan tiap orang mempunyai kedudukan yang sama, hak yang sama serta peluang yang sama. Tidak ada yang aneh. Soal bagaimana dan kepada siapa kita memilih, saya sih masih beranggapan bahwa pilihan adalah hal emosional si pemilih. Jika sisi emosional masih segitu-gitu aja, ya educate dong, dewasakan sisi emosional pemilih, jangan dibodohi terus-terusan.
Justru yang aneh bagi saya adalah sang walikota yang Londoners ini malah menjadi suporter Liverpool FC daripada misalnya memilih salah satu dari banyak klub asal London yang bisa dipilih. Rupanya, masa kecil Sadiq Khan pernah mengalami racially abused saat mencoba menonton ke stadion untuk mendukung tim-tim Londoners. Walhasil, ketakutan dan trauma membuat Sadiq Khan menjadi suporter Liverpool FC meski hanya nonton di layar kaca.
YNWA, Pak Wali!
[kkpp, 07.05.2016]
Ping-balik: Terpenjara Sudut Pandang | tattock