Indonesiana, Kisah Kehidupan, Social Media

Dalam Satu Genggaman

Menuliskan postingan ini (17/11) dan postingan sebelumnya, saya menggunakan aplikasi di handphone. Biasanya saya ngeblog ya hanya via laptop. Dengan menggunakan aplikasi di handphone, ngeblog jadi lebih ringkas karena saya tak lagi ribet mindahin data dari handphone ke laptop. Apalagi handphone dan laptop saya itu keduanya tak seiman yang bikin perlu beberapa penyiasatan agar keduanya bisa bersesuaian.

Baca lebih lanjut
Standar
In memoriam, Kisah Kehidupan

In memoriam: Yono Hermanto

Awal kecemplung di dunia sales,  mentor saya tanpa mengajarkan teori langsung menyarankan untuk belajar dari para senior di kantor. Tepatnya sih, mengamati para senior itu bekerja, terutama bagaimana mereka mempunyai gaya nyales yang berbeda satu sama yang lain. “Salesmanship is an art. Baca lebih lanjut

Standar
Indonesiana, Marketing

Pilihan (yang) Emosional

Saya akan mengingat sebuah malam saat Hermawan Kartajaya membukakan pemahaman saya akan sebuah hal. Di sebuah acara MarkPlus Dinner Seminar yang saya lupa tanggal pastinya, Sang Guru Marketing tersebut meyakinkan saya bahwa serasional-rasionalnya sang pembeli yang mengaku rasional, maka akan terselip hal emosional yang menentukan sebuah pilihan. Baca lebih lanjut

Standar
Kisah Kehidupan

Nevendra Eringce

Untuk sekian waktu, kawan-kawan bbm saya mendapati judul di atas sebagai status di profil saya. Nevendra eringce, alias never ending race. Sebuah potongan jargon yang kemudian saya rokasuka-dekuta-kan. (Seputar rokasuka dekuta, sila mampir ke sini)

BB1162-002Jargon itu selengkapnya adalah “life is never ending race“, jargon yang sering diucapkan atasan saya dulu di meeting berkala di kantor. Beliau yang notabene adalah pembina cabang olahraga atletik, menggambarkan bahwasanya bagi seorang atlet, kehidupan tak berakhir usai menyentuh garis finish. Di kesempatan yang lain, beliau kadang menyitir jargon lain tapi sejenis: “life is a race without finish line“. Baca lebih lanjut

Standar
Indonesiana, Kisah Kehidupan, Uncategorized

Buru-buru Tak Perlu

time-vs-money1Benjamin Franklin, founding father-nya Amerika Serikat, pernah menulis Advice to A Young Tradesman pada tahun 1748 (bisa baca di sini). Salah satu frase-nya kemudian jadi populer menembus ratusan tahun. Pernah dengar kan frase: ‘time is money‘…

Ya, frase Benjamin Franklin itu hanya salah satu dari banyak sekali ujar-ujar, kalimat mutiara, petuah bijak, slogan, dan sebangsanya yang terkait dengan waktu. Jika Anda adalah penggemar –ehm apa ya istilah yang lebih tepat– dari Mario Teguh dan motivator-motivator lainnya, pasti mengetahuinya.

Baca lebih lanjut

Standar
Bisnis, Indonesiana, Lawan Korupsi, Marketing

Perantara

Pernahkah menjumpai iklan yang kira-kira bunyinya seperti ini: “Dijual Tanpa Perantara”? Tak asing bukan? Baik di media iklan baris ataupun juga tertempel langsung di pagar rumah yang hendak dijual.

Mengapa ada iklan semacam itu? Rasanya sih karena alasan si pemilik barang tidak berkeinginan berhubungan dengan si perantara. Ada dua hal biasanya: satu, lebih ribet urusannya, serta alasan kedua, si pemilik barang tidak berkeinginan untuk mengakomodasi biaya si perantara baik dengan cara menaikkan harga barang yang menyebabkan harga tidak kompetitif ataupun juga dengan cara mengurangi keuntungan si pemilik.

Wajarkah pemikiran si pemilik barang sebagaimana di atas? Jika wajar, berarti apakah salah keberadaan si perantara?

Baca lebih lanjut

Standar
Celoteh Nuha, Kisah Kehidupan

Celoteh Nuha: Ijin Jualan

“Yah, aku boleh minta ijin?” tanya Nuha pada suatu pagi yang sedang diburu mepetnya aktivitas harian yang sudah menunggu.

“Emang mbak mau ngapain?” aku balik bertanya. Sejak keberadaan adiknya tiga tahun yang lalu, kata ‘mbak’ jadi salah satu panggilan bagi putri sulungku yang baru berusia tujuh tahun itu.

“Aku mau jualan pas hari Minggu besok.”

“Emang apa yang mau dijual?”

“Susu kotak.”

“Hah?” aku pura-pura terkejut.

“Iya, bunda kan membelikan aku dan adik susu, nah itu yang mau kujual.”

“Ya jangan dong. Bunda kan membelikan mbak susu kan biar mbak jadi gemuk. Kalau susunya dijual mbak kan jadi makin kurus,” kataku sambil ketawa. “Emang mau dijual berapaan trus buat apa?”

“Seribuan yah, ntar aku masukkan tabungan.”

“Kalau mau jual(an), mbak harus bikin sesuatu. Kayak bunda bikin kue. Kalau jual susu, ya ndak boleh.” Nuha manggut-manggut.

“Mbak jadi bareng ayah apa bunda?” Obrolan harus segera diakhiri karena kami harus segera berangkat sebelum jalanan makin padat.

***

Keesokan harinya, Nuha melanjutkan obrolan, “Yah, aku jadi boleh jualan di hari minggu besok?”

“Emang mbak mau jualan apa?” jawabanku senada jawaban yang kemarin.

“Jual lirik lagu.”

Kali ini aku terkejut beneran. Terkejut atas ide jualan lirik lagu. Terkejut atas kesungguhannya jualan bahkan mencari alternatif jualan selain susu kotak yang telah aku veto kemarin.

Aku lantas menghampirinya yang tengah sibuk menulis.

“Ini aku menyalin lirik, besok aku jual,” di hadapannya ada cover cd yang berisikan lirik lagu anak-anak.

Lapak Nuha di depan rumah

Tak ada lagi yang disanggah. Aku hanya tersenyum, yang cukup diartikan bagi Nuha sebagai pertanda persetujuan.

Pagi ini, Minggu Pon 19 Februari, maka jadilah di depan rumah kami, Nuha membuka lapak, yang diangkatnya sendiri.

[kkpp, 19.02.2012, sent from my BlackBerry®]

Keping terkait:

Celoteh Nuha: Nama Lengkapnya Rotiboy

Celoteh Nuha: Ayah, Jangan Pulang Malam

Celoteh Nuha: Ayam Kakung

Standar