Awal kecemplung di dunia sales, mentor saya tanpa mengajarkan teori langsung menyarankan untuk belajar dari para senior di kantor. Tepatnya sih, mengamati para senior itu bekerja, terutama bagaimana mereka mempunyai gaya nyales yang berbeda satu sama yang lain. “Salesmanship is an art. Tiap orang mempunyai gaya dan cara yang berbeda meski tujuannya sama: barangnya laku. Tugasmu adalah segera menemukan gaya (nyales) mu sendiri.”
Begitulah, kemudian saya ngenger ke tiap-tiap senior. Benar sang mentor. Saya kemudian bisa menemukan bagaimana tiap-tiap senior mempunyai gayanya masing-masing. Biar seragam mereka sama, biar urutan prosesnya sama, tetapi mereka, tiap orangnya beda. Saya mulai meyakini bahwa salesmanship adalah seni adalah benar adanya dan salesmanship pun bisa dipelajari pula secara keilmuan.
Sayangnya, dengan almarhum Pak Yono Hermanto, saya baru belajar dari beliau belakangan. Maklum, product responsible berbeda pun customer base kami tak saling beririsan. Kesempatan untuk belajar dari almarhum datang juga. Berhadapan dengan owner sebuah perusahaan raksasa yang masih kental dengan gaya managemen ala perusahaan keluarga, saya menemui kasus kemungkinan gagalnya penjualan karena rejection yang sangat kuat. Sang owner masih trauma dengan pengalaman buruk di masa lalu, pun pada posisi nyaman dengan layanan kompetitor.
Dari bawah saya berusaha meyakinkan customer untuk menggunakan product kami. Akhirnya semua oke tetapi keputusan final pembelian harus di tangan sang empunya perusahaan. Tibalah di hari penting itu, meeting dengan owner. Di meeting itu kemudian saya mengajak almarhum Pak YH, begitu saya mengakrabi almarhum, sebagai wakil perusahaan kami. Bagaimanapun, kali ini saya harus pakai jurus nabok nyilih tangan. Ya, kali ini saya harus mengajak seseorang yang mempunyai otoritas di atas saya yang bisa memenangkan hati sang owner. Kalau cuma kroco mumet (pinjam istilah seorang kawan) seperti saya, rasanya sang owner akan bergeming. Rasanya, komitmen perusahaan kami tak cukup terwakili oleh seorang kroco mumet.
Awal meeting berjalan cukup kaku, sang owner seperti macan yang siap menerkam, alih-alih kami jadi santapan, tetapi meeting berubah cair, malah penuh tawa. Selain dapat order yang cukup besar nilainya, margin yang cukup serta jenis compressor yang tak umum, malah kami dapat kenang-kenangan souvenir dari sang owner. Pak YH satu, saya satu. Di meeting itu, saya belajar banyak dari kelihaian almarhum. Takjub juga saya, beliau yang saya ajak dadakan, rupanya sudah mempelajari terlebih dahulu siapa dan bagaimana lawan bicaranya di meeting itu. Persis seperti prinsip Sun Tsu.
Know your enemy and know yourself and you can fight a hundred battles without disaster ~ Sun Tzu
Jurus lainnya yang saya pelajari dari almarhum adalah gati. Memberi perhatian secara emosional. Tidak saja kepada customer tetapi juga kepada sekitar. Bayangkan, saat terakhir ketemu beliau di rumah sakit sebelum operasi, beliau masih ingat untuk memanggil saya dengan panggilan “Ki”.
“Endi iki Ki Kurnia, pak Agus?” begitu cerita Pak YH kepada saya, Pak Agus yang dimaksud adalah Pak Agus Endro Soekartijono, salah satu senior yang juga cukup dekat dengan beliau dan malam itu berkenan menemani kami ngobrol ngalor ngidul. “Aku iki mau ngrungokno perkoro Tamansiswa, malih eling Ki Kurnia,” sambil terengah-engah beliau meneruskan ceritanya penuh semangat. Saya jadi ikutan ketawa sambil merasa yakin bahwa selain teman-teman sekolah SD, SMP, SMA, maka tak banyak orang yang kemudian merelasikan saya dengan Tamansiswa. Saat menulis ini, saya jadi nyadar, betapa gati-nya beliau. Bukan hanya kepada saya, juga kepada customer, kolega, dan lawan bicara lainnya. Detil-detil personal begitu dari setiap orang yang beliau kenal beliau bisa ingat. Detil-detil personal yang bisa menghangatkan sebuah pembicaraan.
Pak Yono memang pribadi yang hangat. Apalagi dengan kemampuan beliau berkomunikasi dengan menggunakan dialek sebagaimana lawan bicara. Kadang bahasa Jawanya mlipis, di lain waktu ber-dialek Makassar dengan fasih. E tidak jiiii …
Selain hangat, usilnya almarhum itu yang gak nahan. Hihihi. Suatu hari di jalanan ibukota yang padat. dan tidak bisa dibuat menyalip karena hanya cukup buat berpapasan. Beliau menyetiri sendiri Rubicon long chassis. Saya tepat di sebelah kiri beliau. Beliau kemudian menggerutu, “Opo enak e, nyetiri mobil ngene iki … Gak onok bedane ambek nyetir avanza-mu.”
“Mosok gak beda, pak?” saya menyergah tak percaya.
“Temen, gak bedo. Podo-podo macete, malah wedi kebaret,” lanjut beliau. “Eh, tapi onok bedane. Engkuk tak kandhani yo,” ada senyum usil dari beliau, dan kami meneruskan perjalanan. Setelah sekian waktu, tiba-tiba mobil berbelok ke lobby Hotel Santika Taman Mini Indonesia Indah. “Iki lho Pak Kur bedane. Deloken yho, iku avanza kan diusir sekuriti gak oleh parkir kono (lobby) … ,” kata beliau menunjuk mobil di depan dan kemudian memarkir Rubicon di tengah lobby. Beliau turun dan bergegas datang ke sekuriti. “Pak, toilet di mana?”
Dari dalam mobil saya geleng-geleng dan tersenyum melihat sekuriti yang jadi sibuk mengalihkan mobil-mobil lain agar tak memasuki lobby karena si Rubicon yang parkir di tengah jalan bikin antrian di belakang.
Saat kembali ke mobil dengan tersenyum-senyum usil, beliau kemudian berkata, “Iku lho Pak Kur bedane, lek Rubicon, sekuriti gak wani nyeneni, coba Avanza … .”

Saya dan Pak YH. Satu dekade saya di perusahaan. Mei 2012. Foto oleh Tommy Nurcahyo.
Dalam episode yang lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Pak YH bagi saya juga pemimpin yang baik. Setidaknya prinsip ing madya mangun karsa, salah satu prinsip kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, beliau terapkan sedemikian rupa. Membangun semangat tim, membuka ruang komunikasi seluas-luasnya dengan tim, mengerti kesulitan tim di lapangan, tidak kebanyakan teori, memberi kebebasan kepada tim mencari solusi, mendukung tim sepenuhnya. Tetapi di akhir cerita saya kemudian menjadi meyakini bahwa kinerja bukanlah segalanya.
***
Ir. H. Yono Hermanto dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1956 berpulang ke Rahmatullah pada hari Kamis, 29 Juni 2017, saat Syawal 1438 Hijriah baru 5 hari.
Dalam suasana Idul Fitri, Pak YH pulang ke Sang Khaliq. Saya sempat merasa di-tilap atas kepergian beliau. Bagaimana tidak, lha pas terakhir bertemu beliau adalah usai beliau operasi di hari-28 Ramadan. Sempat cium tangan sebelum beliau harus istirahat, dan nyatanya itu adalah pertemuan terakhir sebelum beliau berpulang pas saya sedang perjalanan lebaran sehingga saya tak berkesempatan mengantarkan kepergian beliau. Meski demikian sepenuhnya saya sadar, Allah SWT -lah Pemilik Segala Rencana.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun.
Selamat jalan, Pak!
Semoga ampunan dan rahmat Allah SWT buat Pak YH. Semoga pula segala kebaikan, kebajikan serta amal ibadah mendapatkan ganjaran dari Allah SWT.
[kkpp, 09.07.2017]