Saat kerja di media dulu, Mas Luthfi, pimred saya waktu itu, pernah menantang saya untuk bikin artikel tentang sesuatu yang terkait dengan perkuliahan saya di Fakultas Teknologi Kelautan. “Kerjakan sesempatnya saja,” kata Mas Luthfi waktu itu. Maklum, tantangan tersebut adalah di luar tugas pokok saya di desk politik/pemerintahan kota Surabaya.
Saya iyakan saja tantangan itu tapi karena ada embel-embel ‘sesempatnya’ makanya tidak segera terealisasikan. Rupanya Mas Luthfi cukup serius. Beberapa kali beliau menanyakan tulisan saya tersebut. Gerah, akhirnya jadi juga artikel yang dimaksud. Sehingga saat beliau menanyakan di lain waktu, saya bisa menjawab dengan cergas, “sudah selesai, Mas,” sambil menyebutkan nama folder dimana saya menyimpan draft artikel tersebut. “Oke. Nanti aku periksa kalau longgar,” jawab Mas Luthfi.
Beberapa hari kemudian, Mas Luthfi memanggil saya pas kondisi kantor di Graha Pena masih lengang. “Aku sudah cek artikelmu. Apik!” Segera aku teringat Pak Tino Sidin, host acara melukis buat anak-anak di TVRI jaman masih kanak-kanak dulu.
“Tapi gaya penulisanmu mestinya cocok untuk dimuat di Kompas, bukan di sini.” Saat itu saya bingung, apakah itu sebuah pujian atau memang benar-benar style Pak Tino Sidin yang memuji semua lukisan yang masuk ke mejanya tanpa peduli kualitasnya memang bagus atau tidak, semata memberikan motivasi untuk anak-anak. “Layak muat. Sayang aku gak punya halaman kosong untuk artikel itu,” Mas Luthfi menutup pembicaraan.
Saat harapan melihat tulisan itu punah, beberapa hari kemudian, semua artikel-artikel itu malah dimuat satu halaman penuh.
***
Beberapa waktu lalu, beberapa kawan di dunia twitter yang keranjingan me-mention @fiksimini dan @sajak_kata mendiskusikan bagaimana mendapatkan sebuah retweet (RT).
Dalam diskusi itu, sempat terlontar tentang bagaimana para moderator atau admin-nya (yang berkuasa me-RT) bersikap tebang pilih. Sementara dari timeline moderator dan admin juga sempat mengeluhkan ketidakkreatifan para follower yang berlomba-lomba mengekor tweet yang telah di-RT.
Mendapat RT, layaknya sebuah tulisan dimuat. Juga setara dengan lagu atau album yang mendapat payung dari major label. Karenanya, bagi sebagian orang ada sebuah kepuasan tersendiri ketika mendapat RT.
Masalahnya adalah ada penilaian bahwa RT kok begitu-begitu aja. Mengapa hanya berlaku pada orang-orang tertentu saja.
Bagi saya sih sederhana. Selera tidak bisa dipaksakan. Jika Anda sekarang bosan dengan lagu kemelayu-melayuan yang tengah booming di dunia musik anak negeri saat ini, apakah kemudian Anda menyalahkan para music director dari industri musik saat ini? Atau apakah Anda kemudian malah membikin sendiri indie label?
Demikian halnya di industri media cetak. Kewenangan artikel atau berita apa yang dimuat terletak di tangan dewan redaksi.
Pada bagian awal tulisan ini misalnya, Mas Luthfi yang bertindak sebagai pribadi tidak bisa seenaknya memuat hal dengan kacamata pribadi. Ada ketentuan-ketentuan tak tertulis yang menyebabkan suatu artikel bisa dimuat di media tertentu tetapi tidak bisa dimuat di media tertentu lainnya. Gaya bahasa, target pasar yang dibidik, kecenderungan kebijakan dewan redaksi, dll, dll, adalah pakem yang harus diikuti oleh wartawan ataupun penulis lepas.
Begitu halnya dengan penulis buku yang harus bernegosiasi dengan pihak penerbit. Kalau tak menemukan penerbit tetapi tetap pengin melihat bukunya terbit, mau tidak mau ya harus menerbitkan bukunya sendiri.
Saran saya, kalau pengin selalu mendapat RT ya ikuti kemauan yang punya kuasa me-RT. Atau, jadilah orang beken dengan sekian ribu follower, pasti pihak yang punya kuasa me-RT tak bisa mengelak dari efek halo. Dengan hanya 140 karakter, bisa jadi banyak pengulangan. Bila mirip-mirip, orang pasti me-RT dari akun orang beken dibandingkan orang yang kurang beken.
Bila tidak mau mengikuti dua opsi di atas, saran saya terakhir adalah tetaplah menulis apapun yang ingin dituliskan. Masalah di-RT itu adalah bonus.
[kkpp.19.05.11]