Linimasa yang saya ikuti tetiba ramai dengan kartu kuning, padahal tak ada kejadian kartu kuning di pertandingan sepakbola sesungguhnya belakangan ini yang pantas diperbincangkan sedemikian hebohnya. Usut punya usut, rupanya, kemarin (2/2) ada kejadian Presiden BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Indonesia memberikan kartu kuning kepada Presiden Republik Indonesia. Hal biasa saja tetapi kemudian ramai sedemikian rupa dengan segala bumbu apa saja dari segala penjuru.
Apa yang aneh dengan mahasiswa mendemo Presiden Indonesia?
Di salah satu grup whatsapp kemudian saya ikutan nimbrung begini:
yang dalam bahasa Indonesia seperti ini:
Ini bukan (masalah) lebay Tok. Coba kamu pas pidato di hadapan khalayak kemudian mendapati bunyi peluit dan mendapat kartu kuning. Kamu kehilangan muka tidak?
Saya menjawab: kalau hatiku seluas hatinya Pak Jokowi ya (saya) tidak perlu merasa malu. Kalau hati saya sesempit Pak Harto, ya sudah saya tembak si pemberi kartu tadi. Kalau hati saya seperti hati Pak SBY, ya tinggal besoknya saya bikin pernyataan: saya prihatin … kemudian bikin album. Hahaha.
Buat saya, sah-sah saja mahasiswa kemudian bersikap kritis kepada pemerintahan. Bukankah dalam struktur kemasyarakatan kita mahasiswa sudah ditempatkan sedemikian rupa. Siapa suruh memberi kata maha di depan siswa? Apakah sekedar untuk membedakan antara siswa SMA seperti Dilan harus berseragam dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak berseragam lagi? Tentunya tidak begitu bukan? Ada sejarah yang menempatkan mahasiswa Indonesia sedemikian rupa di perjalanan sejarah keindonesiaan. Dan sepertinya sampai hari ini, belum ada rencana menghapus kata mahasiswa menjadi siswa universitas, siswa institut atau siswa politeknik, layaknya kata “student” dalam khasanah bahasa Inggris.
Jadi, mumpung masih menyandang mahasiswa, teruslah kritis, mahasiswa Indonesia!
Asahlah empati kepada rakyat yang belum tentu mendapat kesempatan seperti kalian untuk mengecap bangku perkuliahan. Cerahkanlah mereka, berpihaklah kepada mereka yang tertindas karena dikesampingkan kekuasaan.
Teruslah kritis, mahasiswa Indonesia!
Jangan pedulikan kalau kami-kami yang menua ini menuntut kalian untuk memberikan solusi atas permasalahan yang kalian kritisi. Jawab saja, buat apa pemerintah punya sekian pejabat eselon 1 hingga eselon 3 berpendidikan S3, tapi masih mempertanyakan solusi kepada kami yang masih belum selesai S1? Apalagi pemerintah memiliki segalanya, termasuk infrastruktur, birokrasi dan anggaran. Lha kok masih mempertanyakan mahasiswa yang penuh keterbatasan. Maju saja! Terus kritis!
Tapi jangan lupa! Yang terpenting kalian ingat adalah masa sebagai mahasiswa bagi kalian cuma sebentar saja. Belajarlah yang banyak! Belajarlah agar kalian tidak mengikuti jejak-jejak mahasiswa terdahulu, yang ketika jaman mahasiswa berteriak membela rakyat tapi ketika beneran terpilih sebagai wakil rakyat malah memperjualbelikan rakyat. Berjanjilah untuk tidak menjadi pejabat yang korup, berjanjilah untuk membela yang benar bukan membela yang bayar.
Teruslah kritis, mahasiswa Indonesia!
Tapi … , jangan pernah lupa. Ketika kalian bergerak, gerakan kalian kemudian dipahami oleh kaum-kaum yang menua sebagai gerakan politis yang bisa ditunggangi siapa saja. Digoreng dan dibumbui, tapi kemudian kalian terlarut di dalam lautan bumbu doktrin partai politik yang membuai. Ingat! Jika ternyata masakan mereka keasinan, kalian kemudian dicampakkan begitu saja di pojok dapur tak bertuan.
Kritis boleh, bebal jangan.
[kkpp, 03.02.2017]