Vivid Devianti, seorang kawan baik yang kini telah bertansformasi menjadi hipnoterapis yang laris dengan jadwal yang padat serta penulis buku “Single Parent: Move On, Bangkit dari Perceraian”, menuliskan ulang postingan sahabat baiknya, di laman facebook-nya (21/2). Saya pikir tulisan itu adalah tulisan yang baik, sayang jika tidak di-blog-kan. Tulisan tentang relasi cinta dan pernikahan, topik yang hingga detik ini saya masih mempercayai, bahwa tiap orang berhak mendefinisikan cinta sesuai definisi masing-masing.
Atas seijinnya, tulisan itu saya posting di sini dengan mengedit seperlunya.
***
MENIKAH ADALAH NASIB, MENCINTAI ADALAH TAKDIR
Suatu ketika di acara ILC, Sudjiwo Tedjo pernah berkata,
“Kalau beliau nanti macem-macem, berarti sudah nggak mencintai aku. Aku nggak akan mempertahankan. Buat apa. Cinta nggak bisa dipaksa. Menikah adalah nasib, mencintai adalah takdir.
Kau bisa berencana menikah dengan siapa tapi tak bisa kaurencanakan cintamu untuk siapa.
Manusia digerakkan oleh hanya 12% kesadaran. Itulah sebabnya banyak di antara kita yang mengambil keputusan tanpa sebetulnya tahu dengan jelas apa alasannya.
Cinta alamiah. Bukan kebudayaan. Karena bukan kebudayaan, maka sebetulnya tidak bisa direncanakan.
Cinta itu ada masanya. Ada waktunya. Dan kalau waktunya telah habis maka cinta bisa kadaluwarsa. Akhirnya sebenarnya yang terjadi, banyak orang cuma ngempet.”
Osho (saya sampai meng-googling siapa sosok ini, red) pun pernah berkata,
“Pernikahan sebetulnya dapat dianalogkan seperti bunga plastik. Segala sesuatu yang alamiah, akan layu pada waktunya. Begitu pun cinta. Pernikahan adalah sebuah upaya untuk mengawetkan apa yang sebetulnya sudah mati.”
Lalu untuk apa ada pernikahan? Menurutku, karena pernikahan itu perlu untuk terbentuknya suatu masyarakat yang tertib. Lembaga pernikahan adalah wadah paling kondusif untuk menciptakan generasi pengganti yang baik. Sehingga lembaga pernikahan diciptakan untuk kepentingan melestarikan ras manusia dan menjaga masyarakat. Lembaga pernikahan tak ada hubungannya dengan cinta.
Bayangkan saja demikian. Cinta antara dua orang manusia bisa kadaluarsa. Bagaimana jika cinta sudah mati, sementara mereka punya anak? Bagaimana jika tidak ada mekanisme yang bisa memaksa seorang lelaki dan seorang wanita tetap bertanggung jawab mengurus anak? Maka anak akan telantar.
Adalah benar, seorang dengan kesadaran, tidak perlu mekanisme pemaksa untuk bertanggung jawab. Tapi masalahnya, tidak semua manusia memiliki kesadaran … .
Maka di sanalah fungsi lembaga pernikahan. Alat pemaksa tanggung jawab. Walaupun tidak selalu efektif. Karena manusia yang takbertanggung jawab, tak akan bertanggung jawab walau ia sudah berada dalam lembaga pernikahan. Dan manusia yang bertanggung jawab, akan bertanggung jawab walau tanpa pernikahan.
Tapi daripada tidak ada jaring pengaman sama sekali, maka (jika) ada (akan) lebih baik … .
Ada satu adegan pada film The Ugly Truth yang bagiku sangat berkesan. Adegan tersebut demikian:
Sang tokoh wanita, Abby namanya, selalu memiliki list pria yang ia perkenankan menjadi pasangannya.
Pria tersebut haruslah:
– mapan, prefer dokter
– bergaya hidup sehat
– penyayang binatang
– dst… lupa
Sampai suatu ketika ia menyadari bahwa ia tertarik pada pria yang tak memenuhi satu pun syarat di list-nya.
Lalu pertanyaannya: cinta itu – apakah kerja otak atau kerja hati?
Jika kita punya sederet list, lalu kita menemukan pasangan yang cocok dengan semua item pada list, dan kita MERASA jatuh cinta, maka saat itu kita memperlakukan cinta sebagai kerja otak.
Tetapi jika kemudian kita menemukan bahwa kita tertarik pada orang, yang bahkan tak memiliki satu pun syarat pada list kita, maka saat itu kita jadi saksi bahwa cinta adalah kerja hati.
Dalam kasus Abby, bahkan kemudian dia menyadari, bahwa pada pria yang cocok dengan list-nya, ia tak merasa senyaman dengan ketika bersama pria yang tak memenuhi satu pun list-nya.
Ada banyak alasan seseorang menikah. Banyak yang karena memang cinta satu sama lain. Tapi ada yang karena banyak hal lain. Misalkan, untuk mendapatkan status di masyarakat, tuntutan lingkungan, kenyamanan finansial, mencari partner yang dapat diajak bekerjasama menjalani hidup, dst.
Suatu ketika pernah ngobrol bersama seorang teman yang mengataiku naif ketika aku berkata bahwa aku mencari cinta dari pasanganku. Dia berkata demikian,
“Ya elu selalu hidup berkecukupan jadi mudah saja kamu bilang bahwa cinta adalah hal paling penting dalam hidupmu dan semua keputusan berkenaan dg pasangan kamu dasarkan pada hal tersebut.
Bagi banyak orang, yang penting adalah dapat makan. Dapat tetap hidup. Jadi ketika mencari pasangan, mereka takpeduli dengan cinta. Yang mereka cari adalah: pasangan yang bisa diajak bekerja sama bahu membahu menghadapi beban kehidupan. Yang cekatan, takkeberatan bekerja keras, hemat dsb. Cinta romantis penuh gairah, takterpikirkan, atau nomer kesekian. Dari bekerja bahu membahu itulah akan tumbuh cinta.”
Aku paham…
Bagiku cinta mensyaratkan kesamaan frekuensi antara dua manusia. Kesamaan frekuensi itu akan membuat kedua manusia tersebut menjadi nyaman satu sama lain karena saling mengerti dengan mudah. Bahkan sepertinya hampir tanpa effort besar.
Boleh lah siapa saja bilang aku naif. Tapi aku menyimpulkan ini sesudah berelasi dengan beberapa orang yang berbeda. Dengan orang yang satu, aku harus mengerahkan effort luar biasa untuk coba mengerti. Pada yang lain, memahaminya jadi sesuatu yang terjadi secara alami.
Jadi…
Cinta adalah hadirnya rasa nyaman. Rasa diterima, rasa dimengerti. Cinta hadir ketika seseorang diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri.
Dan seperti kata Sudjiwo Tedjo, cinta tak bisa dipaksa. Jika ia sudah tak ada, maka kita bisa memilih jujur menerima, atau akan mempertahankan cangkang kosong dengan risiko hati kita hampa????
Tulisan Rani Rumita, one beautiful soul.
***
Begitulah. Anda punya teori lain tentang cinta?
[kkpp, 24.02.2018]