Pluvio; (n) hujan; air.
Pluviophile; pengagum hujan; pemuja hujan; pecinta hujan.
Mood seharian berantakan. Seolah ada dementor mencecap kebahagiaan dan memenjarakan pikiran dalam dinginnya dinding penjara Azkaban. Yang sengaja menghilang sungguh tak tergantikan.
Menulis sepertinya sebuah cara meredakan badai yang memporakporandakan mood. Menulis pula yang mengantarkan pulang dari meja kerja sorean dan sesampai di rumah disambut ajakan si bungsu untuk mengantarkannya ke tukang cukur rambut.
Beneran?
Senyum malunya sudah mengatakan iya sebagaimana biasanya.
Besok saja bagaimana?
Aku mencoba menawar.
Sekarang!
Emang kenapa?
Lagi-lagi senyum malunya mengantarkan jawaban yang tak terucapkan: ditegur Bu Guru.
Lha kemarin-kemarin (sudah diajak) tapi gak mau gitu …
Lagi-lagi senyum malunya mengantarkan jawaban. Kali ini sebuah pengakuan: iya, saya salah.
Sholat dulu ya, sepulangnya dari tukang cukur nanti harus mandi lagi …
Aku mengajukan sebuah prasyarat. Seperti iklan, syarat dan ketentuan berlaku. Si bungsu berlari bersegera mengambil wudlu tanda setuju.
***
Si bungsu bersenandung di boncengan. Lamat-lamat terdengar: I believe I can fly … (ia tak tahu lagunya secara utuh).
Berdua kami naik sepeda motor menuju tukang cukur langganan. Si Tukang Cukur ini baru buka setahun belakangan. Lokasi kiosnya tak jauh dari salah satu gerbang perumahan. Pernah bercerita, ia dulu adalah seorang karyawan pabrik dengan anak-anak yang beranjak dewasa. Pagi kerja pabrik, habis maghrib baru buka buat menambah penghasilan. Makin hari makin ramai dan akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari pabrik agar bisa buka kios potong rambutnya tiap pagi hingga dhuhur dan buka yang malam lebih sorean.
Tutup. Tumben. Terpaksa mencari tukang cukur lainnya. Cukup jauh letaknya. Ternyata sama. Tukang cukur kedua tutup juga. Tak hanya kami, tetapi juga ada calon pelanggan lain yang kecele juga.
Hmmm, kok bisa mereka kompak ya.
Terpaksa mencari tukang cukur lainnya. Lebih jauh lagi di rumah malah saling berlawanan arah. Alhamdulillah buka dan tak banyak antrian. Satu yang sedang potong, satu dalam antrian. Begitu parkir, segera disambut pak tukang cukur ketiga yang belum pernah ketemu sebelumnya
Badhe potong Pak? Lha niki badhe tutup Pak. Malem Jumat kan niki? Kula badhe tahlilan mangke bar Isya …
(Mau potong Pak? Lha ini malah mau tutup. Malam Jumat kan sekarang? Rencana saya mau berangkat tahlilan habis Isya nanti …).
Saya mengangguk dan bersegera mencari tukang cukur lainnya. Dalam hati saya bergumam, mungkin yang lain juga tutup dengan alasan yang sama. Alasan kebaikan. Salah saya juga sih, gak pernah memperhatikan bahwa mereka para tukang cukur itu punya jadwal yang sama: libur tiap malam Jumat. Ya bagaimana dong, setahun belakangan nyaris tak ke tukang cukur.
Sampai juga ke tukang cukur keempat yang lebih jauh lagi. Si tukang cukur adalah bapak-bapak cucunya empat. Badannya tinggi besar. Rambutnya tipis tertata dengan kumis ala Pak Raden. Yang jadi kios ini adalah pilihan terakhir adalah lantai kios yang penuh dengan potongan rambut yang berserakan, yang lain bisanya potongan rambut tersapu rapi dan terkumpul di pojokan, serta yang bikin males, jika Pak Tukang Cukur ini ngomong jadi merasa gimana gitu. Satu-satunya hiburan di kios tukang cukur keempat ini adalah semerbak tahu thek dari kios sebelah.
Tak banyak antrian buat si bungsu. Pas selesai pas gerimis datang. Bergegas pulang. Tapi hujan makin deras. Pengin hujan-hujan agar merapikan mood yang berantakan sejak sepagian tadi, tapi teringat ada si bungsu dan handphone yang harus diselamatkan. Jadilah memutuskan untuk menepi dan membuka jok untuk mencari jas hujan.
Maafkan aku, hujan. Baumu, bunyimu, basahmu yang menyapa kulitku serta dinginmu yang menyegarkanku, jadi hal yang tak sempurna. Kadang kebahagiaan harus mengalah kepada kebijakan akal sehat.
[kkpp, 06.01.2017]