“Tiada yang abadi selain perubahan”
Awal Oktober tahun 2015 ini, perjalanan waktu mengantarkan sang perubahan itu atas Liverpool FC. Brendan Rodgers dipecat dan datanglah Jurgen Klopp.
Nama Klopp sendiri sudah disebut-sebut sebagai kandidat pengganti Brendan Rodgers sejak penampilan tak meyakinkan LFC di musim 2014-2015. Musim ketiga Brendan Rodgers, musim paceklik gol, musim terakhir Steven Gerrard Sang Kapten Fantastik, serta musim yang berbeda 180 derajat dari musim sebelumnya.
Setelah musim berganti, performa LFC pun tak berubah. Padahal sejak awal musim keempat, Brendan Rodgers tak lagi ditemani para asisten yang dibawanya sejak di Swansea City FC. Di awal musim itu, sebagaimana dikatakan kepada Liverpool Echo tentang asisten-asisten barunya, Brendan Rodgers mengatakan harapannya, “Aku membuat penunjukan-penunjukan ini karena aku ingin mempunyai sebuah arah baru secara teknikal, dalam artian pelatihan. Aku yakin seluruh perubahan ini akan menguntungkan tim utama dan aku sangat merasa positif dan tertarik dengan apa yang kelak bisa kami raih, sebagai sebuah grup.”
Nyatanya kemudian, perubahan yang diharapkannya tidak kunjung terlihat. Hilal tak tampak. Kehadiran Sean O’Driscoll sebagai asisten baru tidak membawa perubahan yang signifikan. Tidak ada beda apa peran Sean O’Driscoll dengan peran Colin Pascoe. Kehadiran James Milner serta pemain-pemain baru lainnya juga tidak membawa aura LFC yang lebih menjanjikan. Perubahan skema permainan dari empat pemain belakang menjadi tiga pemain belakang juga sama saja. Secara statistik angka kekalahan tidaklah terlalu buruk, tetapi secara permainan LFC masih sebagaimana wajah musim sebelumnya.
Seandainya Brendan Rodgers memang harus dikambinghitamkan dan menjadi tumbal atas perubahan di LFC, namun pada waktu itu lebih banyak pihak yang meragukan jika pemberhentiannya berakhir di tengah jalan. Banyak yang mengira jika langkah eksekusi Brendan akan dilakukan di paruh musim atau di akhir musim. Tetapi, sejarah mencatat Brendan Rodgers mengakhiri karirnya sebagai manager LFC di musim keempat hanya dengan 11 pertandingan resmi dengan empat menang (satu dengan adu penalti di Piala Liga melawan Carlisle United), 5 kali imbang, dua kali kekalahan dan keduanya kekalahan dengan masing-masing kemasukan tiga gol.
Secara keseluruhan, Brendan Rodgers mencatat 166 pertandingan bersama LFC dengan persis separuhnya berakhir dengan kemenangan (83 kali), imbang 41 kali dan kalah 42 kali. Jika semata melihat angka statistik mungkin tidak terlalu buruk. Apalagi di musim keduanya, Brendan Rodgers nyaris mengantarkan LFC menjadi juara liga Inggris. Sebagian supporter LFC menilai bahwa pemecatan atas pria kelahiran Carnlough, sebuah harbor-village di pantai barat Irlandia Utara itu terlalu prematur.
Tetapi ibarat persamaan matematika, elemen-elemen yang ada di LFC pada saat itu dianggap hanyalah konstanta-konstanta belaka. Nilai mati yang tidak mengubah hasil akhir. Untuk berubah, secara matematis diperlukan faktor peubah (variable). Bagaimana bisa berharap ada perubahan jika siapa, apa dan bagaimananya tidak berubah. Bagaimana bisa berharap rasa sebuah masakan berubah jika resep, bumbu, bahan, tata urutan serta takaran dan koki pemasaknya tidak ada yang berubah.
Memang, ada nasehat dari para motivator dan trainer motivasi: tetes air yang menetes secara terus menerus pada akhirnya akan membuat batu berlubang juga. Tetapi Fenway Sports Group (FSG) sang pemilik modal, tak sesabar para motivator itu. FSG pun juga seolah ingin menepis bahwa dirinya pelit dan kikir karena tak bisa membayar kompensasi pemecatan Brendan Rodgers. Maka datanglah Jurgen Klopp bersama rombongan para asisten terpercayanya di awal Oktober 2015.
Sebuah era baru dimulai.
***
Jurgen Norbert Klopp. Pria kelahiran Stuttgart 48 tahun yang lalu ini, hingga tulisan ini dibuat, telah melewati tiga belas pertandingan bersama LFC. Jumat dini hari waktu Indonesia (12/11) LFC memastikan untuk menjadi juara Grup B UEFA Europa League meski hanya ditahan tanpa gol oleh FC Sion. Saat Klopp mengambil alih kepemimpinan di LFC, pada dua laga awal di Grup B sebelumnya, LFC hanya bermain imbang. Klopp melanjutkan dengan dua kali kemenangan dan dua kali imbang. Tak terkalahkan dan memuncaki klasemen serta memastikan ke babak selanjutnya.
Bagaimana dengan ajang yang lain? Di Piala Liga Klopp memastikan satu tempat di semifinal setelah mengalahkan Bournemouth satu gol tanpa balas di Anfield serta menghajar pasukan Ronald Koeman di St. Mary Stadium dengan skor layaknya skor tenis lapangan: 6-1.
Sementara itu di tujuh partai English Premiere League (EPL), LFC mencatat tiga kemenangan, dua imbang dan dua kalah. Dua di antara tiga kemenangan itu dicatat dengan mengesankan. Atas dua tim langganan juara EPL di beberapa musim terakhir, di kandang lawan, dengan skor telak, dan permainan yang mengesankan. Tetapi kekalahannya pun juga atas dua tim yang secara sejarahpun mestinya gampang ditaklukkan.
Ya, Jurgen Klopp bukanlah sosok yang sempurna. Jaman di Mainz, klub pertamanya sebagai manager, Jurgen Klopp hanya memenangi 34 dari 117 laga (29.06%). Di Borussia Dortmund, Jurgen Klopp memenangi 177 dari 316 laga (56.01%).
Kini di 13 partai pertamanya bersama LFC, win-rate nya adalah 57.14%, tepatnya 7 menang 4 imbang dan 2 kalah. Bandingkan dengan 11 partai terakhir Brendan Rodgers, 4 menang 5 imbang dan 2 kalah.
Apa yang membedakan antara keduanya?
Gol. Sebelas gol dari 11 pertandingan terakhir Brendan Rodgers, 21 gol dari 13 pertandingan terakhir Jurgen Klopp. Hampir dua kalinya.
Kebobolan. Tigabelas gol kebobolan dari 11 pertandingan era Brendan, 10 gol kebobolan di era Jurgen.
Apalagi? Bukankah sepakbola hanyalah soal gol dan berusaha tidak kebobolan?
Tidak hanya itu sih. Sering suporter juga menilai dari bagaimana para pemain bermain di lapangan. Di era Jurgen yang tak segan berpelukan dengan pemainnya dan ekspresif manakala pemain LFC memasukkan gol, kepercayaan diri pemain LFC sebagai individu dan sebagai tim meningkat jauh. Penguasaan bola dan daya jelajah terlihat meningkat. Keinginan untuk menang terlihat dengan jelas.
Nah, kembali ke pertanyaan semula: apa yang membedakan antara Brendan dan Jurgen? Bukankah dari 11 pertandingan era Brendan dan 13 pertandingan era Jurgen, pemain yang dikelola keduanya adalah sama. Tetapi bagaimana bisa kemudian hasilnya berbeda?
Memang, sepakbola bukanlah hal matematis. Katanya, selama bola itu bulat (bukan bundar lho ya), apapun bisa terjadi. Tetapi apa yang dialami LFC di 24 pertandingan awal musim ini menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah salah satu peubah (variable) dari persamaan matematika.
Saya percaya, kepercayaan diri pemimpin pada sebuah tim, kepercayaan diri pemimpin pada sebuah organisasi adalah hal yang menular. Kepercayaan diri pemimpin itu akan dinilai oleh anggota tim beradasarkan pengalaman dan kompetensi. Anggota tim yang percaya diri dan terlatih dengan strategi pemimpin untuk bergerak secara organisatoris akan jauh lebih memudahkan untuk memenangkan sebuah laga dibandingkan dengan tim yang tak percaya diri dan tim yang tak punya strategi.
Jurgen Klopp setidaknya di masa yang singkat ini telah membuat banyak orang jatuh cinta. Dari caranya meng-handle pemain, menghadapi media dengan pernyataannya yang quotable, caranya tertawa dan bahasa tubuhnya di hadapan media sungguh mempesona. Jurgen Klopp membuat pemain dan supporter nyaman dari caranya berada di sisi lapangan saat pertandingan.
Ia telah menularkan kepercayaan diri kepada pemain-pemainnya. Lihat saja bagaimana caranya memperlakukan Lucas, mengembalikan Emre Can ke posisi terbaiknya, memberi kepercayaan kepada Moreno, Lovren, serta bagaimana Jurgen memberikan kesempatan kepada Randall, Brannagan, Smith, hingga kepada Divock Origi. Serta bagaimana ia memberi apresiasi kepada para pemain bintangnya.
Jurgen Klopp setidaknya sudah menunjukkan bagaimana pemimpin yang baik itu. Pemimpin yang baik tahu bagaimana memanfaatkan baik-buruk aset yang ia punya. Sebaliknya, biar sebagus apapun aset tim dan organisasi, jika dikelola oleh pemimpin yang buruk, maka tim dan organisasi itu hanyalah semacam ayam kehilangan taji, semacam macan bertaring om(p)ong.
Kini, kepercayaan diri tim itu pun lambat laun menular kepada suporter. Masih ingat bagaimana Jurgen menyindir penonton yang pulang duluan sebelum final whistle?
Bahkan yang suporter dulunya pengin minta pemain ini itu di jeda transfer, menyampaikan tak perlu lagi tambahan pemain baru. Cukup tim ini saja maka Liverpool sudah kembali ke habitatnya: menangan dan soal piala hanya masalah waktu belaka.
Whatttttt?
Saya sih termasuk juga jamaah Liverpuldiyah yang ingin juga LFC kembali menangan dan sesegera mungkin angkat piala. [Amin amin yra – 1892 kali]
Tapi jalan masih panjang. Masih banyak ujian buat Jurgen Klopp.
Bagaimana ia harus meng-handle transfer pemain, bagaimana ia harus menghadapi jadwal padat di kemudian hari plus bagaimana ia harus meng-handle rotasi pemain jika semua pemain segar bugar. Yang juga harus diantisipasi juga adalah bagaimana ia harus mengalahkan lawan yang mulai paham bagaimana LFC bermain dengan gegenpressing ala Klopp.
Masih perlu waktu untuk menunggu seberapa jauh Klopp mencatat sejarah bersama LFC. Doa yang terbaik senantiasa dari kami, tetapi bagaimanapun kami harus menyadari bahwa tidak ada Klopp yang tak retak.
[kkpp, 12.12.2015]
Catatan:
- tulisan ini dibuat untuk dimuat di laman BIGREDS (bisa baca di sini) atas inisiasi beberapa kawan baik. tengkyu, brother!
- saat tulisan ini diposting ulang di blog ini [06.01.2016], Jurgen Klopp masih bertahan di semua ajang, bahkan menatap final di Wembley akhir bulan Februari ini, sementara di liga Liverpool FC baru saja dihajar oleh calon top scorer EPL, Jamie Vardy, dengan gol pertamanya ke gawang Mignolet sangat layak jadi kandidat goal of the season, serta jendela transfer telah terlewati dengan hanya dua pemain yang masuk: Steven Caulker sebagai status pinjaman hingga akhir musim, serta Marko Grujic yang masuk tapi dipinjamkan. Walhasil, di semua ajang, Jurgen Klopp hanya memanfaatkan pemain-pemain peninggalan pendahulunya, Brendan Rodgers.