If you can’t measure it, you can’t manage it ~ Peter Drucker
Jika Anda biasa mengemudi, pernahkah Anda menengok speedometer di depan Anda? Bayangkan, bagaimana jika Anda kemudian mengemudi sebuah kendaraan tanpa speedometer? Apakah ada yang berbeda antara mengemudi dengan speedometer dengan mengemudi tanpa speedometer?
Bagaimana dengan odometer yang juga merupakan kelengkapan standar dari kendaraan selain speedometer? Pernahkah Anda menengoknya barang sesaat?
Atau, jika Anda tidak terbiasa mengemudi, ada ilustrasi lain: seberapa seringkah Anda mengukur berat badan? Punyakah Anda timbangan berat badan di rumah?
***
Dari ketiga ilustrasi di atas, baik speedometer, odometer, maupun timbangan berat badan, adalah alat ukur untuk memberikan gambaran bagi kita sebelum ditindaklanjuti tindakan-tindakan lain yang diperlukan.
Saya pernah menjumpai saat naik taksi, ternyata speedometer-nya dilengkapi dengan alarm penanda batas. Saat menyentuh kecepatan 100 km/jam, alarm berbunyi. Sopir taksi kemudian mengurangi kecepatan karena suara alarm itu terasa mengganggu. Selain sebagai penanda keselamatan, bisa jadi managemen taksi sedang me-maintain konsumsi bahan bakar, dimana atas perhitungannya, makin tinggi kecepatan, maka makin tidak ekonomis pengoperasian taksi.
Sedangkan odometer, biasanya digunakan sebagai penanda kapan kendaraan harus menjalani perawatan berkalanya. Ganti oli, cek spare part tertentu, dan dapat dipergunakan untuk dasar penghitungan ratio konsumsi bahan bakar.
Sedangkan timbangan berat badan biasanya dipunyai oleh mereka yang secara sadar ingin mengendalikan berat badannya. Atau dipunyai juga oleh para orang tua yang ingin memantau tumbuh kembang buah hatinya.
Apa jadinya jika kita tidak mempunyai alat-alat pengukur tersebut, sebangsa speedometer, odometer, timbangan, termometer, dan lain sebagainya? Rasanya bisa saja kita mengambil tindakan tertentu atas sebuah kejadian. Tetapi, dengan fakir alat ukur, tindakan-tindakan itu akan diambil atas prasangka, intuisi serta kebiasaan, dan bukan atas sebuah fakta yang valid datanya.
Bayangkan jika Anda dan beberapa orang lain, di sebuah acara, diminta untuk mencoba memasak untuk resep masakan yang sama, sementara resep masakan yang hendak dibuat hanya menyertakan bahan tanpa disertai petunjuk ukuran: sekian sendok teh mentega, sekian cc madu, sekian gram gulam pasir, misalnya. Kira-kira apa jadinya? Akankah di akhir acara tersaji masakan dengan cita rasa yang sama?
***
Sewaktu kejadian banjir yang melanda Jakarta kapan hari, berkembang diskusi sepele, tentang keluhan penggunaan ukuran kedalaman banjir dengan menggunakan ukuran tubuh manusia (sebetis, sepinggang, semata kaki) dibandingkan dengan menggunakan ukuran bersatuan (centimeter, meter). Keluhan itu bisa dibaca di sini serta dijumpai via broadcasting-an dari group ke group bbm.
Bagi penulis artikel yang menggunakan ukuran tubuh manusia, merasa bahwa tulisannya sudah memberikan gambaran bagi pembacanya. Sementara bagi sebagian pembacanya, ukuran yang diberikan tidaklah valid. Sebetis bagi orang berketinggian 170 cm tentu berbeda dengan sebetisnya orang berketinggian 155 cm.
Tetapi sulit juga bagi penulis untuk mewartakan berapa centimeter kedalaman, karena tidak ada meteran yang bisa dijadikan rujukan sebagaimana keberadaan meteran ini di tanggul ataupun waduk.
Ya, hanya masalah kebiasaan. Seandainya penulis berita itu terbiasa dengan men-centimeter-kan tinggi atau lebar sesuatu, mengira-ngira sebuah kedalaman dari sebetis menjadi sekian centimeter juga bukanlah hal yang sulit.
***
Not everything that can be counted counts, and not everything that counts can be counted. ~ Albert Einstein
The most important things cannot be measured ~ W. Edwards Deming
Ada kalanya, tak semua hal bisa diukur. Ada faktor-faktor yang pengukurannya membutuhkan metode dan cara yang lebih kompleks. Tak semata dengan menggantungkan pada alat ukur.
Begitu halnya, ada kalanya situasi saat pengambilan keputusan lebih membutuhkan intuisi dan pengalaman dibandingkan data-data yang kasat mata.
Tetapi tak ada salahnya, memulai untuk mengukur hal-hal sederhana untuk memperoleh wawasan yang lebih luas.
Misalnya saja dengan mencatat pengeluaran agar tidak kejadian besar pasak daripada tiang.
Atau mengisi penuh tangki bahan bakar kendaraan dan kemudian mencatat angka di odometer, untuk mendapatkan ratio konsumsi bahan bakar, dan membandingkannya dengan catatan-catatan sebelumnya. Jika kendaraan makin boros, apakah sudah saatnya untuk masuk bengkel lagi ataukah borosnya itu karena kita lupa mengukur tekanan ban secara berkala.
Bagaimana? Tidak ada salahnya kan, ukur agar tak salah urus.
[kkpp, 13.02.2013]