Indonesiana, kuliner

Indonesia Mampir Makan: Rawon Nguling

Tak banyak yang berubah dari Rumah Makan Rawon Nguling yang terletak di jalan raya menghubungkan Pasuruan-Probolinggo. Susunan meja kursinya masih sama. Bedanya, pohon trembesi (albizia saman) yang diameternya semeteran di depan rumah makan sudah diganti dengan pohon trembesi yang baru. Pengunjungnya pagi itu (4/2) tak seramai dulu meski beberapa meja tetap saja terisi beberapa rombongan pengunjung lainnya. Sepi mungkin karena hari Sabtu, atau bisa jadi terpengaruh efek Jalan Tol Trans Jawa yang sudah berujung ke Gerbang Probolinggo Timur yang menyebabkan pelintas ke Jember, Banyuwangi ataupun Bali lebih memilih rute jalan tol dibandingkan melalui kjalur pantura jalan raya Pasuruan-Probolinggo. Entahlah.

Saya mengenal nama Rawon Nguling sejak 2001, sewaktu ujian sales (saat sales trainee melakukan ujian dengan melakukan presentasi di hadapan Direksi dan para Vice President Division, tentang product knowledge, tentang street fighter, tentang business process ) di perusahaan terdahulu. Di luar materi presentasi, Pak Soemarno, Pak Presdir, menanyakan di sesi tanya jawab: kuliah di Surabaya kan? Rawon apa paling enak di sana?

Baca lebih lanjut
Standar
ITS, kuliner

Kantin ITS Reborn

Beberapa hari belakangan beredar flyer tentang Kantin Pusat ITS Reborn yang soft opening-nya dilakukan kemarin (17/5). Nama ‘Reborn’ mengingatkan kepada ‘Padi Reborn’. Keren sih. Meski bisa jadi kalau dipermasalahkan, mengapa pakai nama keminggris. Mungkin harapannya sama dengan grup band legenda yang direvitalisasi kembali, makin kinclong dibuatnya. Mungkin begitu halnya dengan Kantin Pusat ITS Reborn. Entahlah, saya hanya mengira-ngira karena belum bertemu langsung dengan penggagasnya. Kantin Pusat ITS adalah legenda, perlu direvitalisasi dengan membuat kinclong. Kira-kira begitu.

Baca lebih lanjut
Standar
Bisnis, kuliner, Marketing, Travelling

Oleh-oleh dari Mekarsari

Malam ini (7/5/11) saya turut berbangga dan berbahagia menjadi salah satu undangan dari hampir seribuan orang yang memenuhi jalan di perumahan Pondok Jati Sidoarjo yang disulap menjadi tempat acara Grand Opening Mekarsari Tour & Travel sekaligus perayaan ulang tahun kedua Roemah Snack Mekarsari.

Pengundangnya adalah M Haris Setiawan, teman sejurusan setahun di atas saya, yang bersama istrinya, Ida Widyastuti, telah merintis dan mengelola usaha mereka tersebut sejak tahun 2001-an.

Haris, pada semarak acara grand launching (foto courtessy M. Haris Setiawan on FB)

Acaranya memang semarak, dipandu duet Djadi dan Priyo Galajapo, yang juga belakangan jadi endorser-nya Mekarsari, dengan dihadiri oleh para pelanggan, pemasok, rekanan, karyawan, tetangga dan kawan-kawan. Tetapi yang lebih menyemarakkan hati adalah melihat kesuksesan yang telah dicapai seorang kawan. Kesuksesan yang merupakan buah dari kerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi.

Haris, setelah meyelesaikan kuliah di jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, sempat bergabung di Astra-Toyota. Kemudian memilih keluar dari zona nyamannya dengan menekuni bisnis oleh-oleh. Pada lain kesempatan Haris sempat bercerita, bahwa pada awal menekuni bisnis tersebut dia harus rela keluar masuk pasar tradisional yang becek. Pilihan yang menurut beberapa orang bukanlah pilihan yang dengan mudah dilakukan.

Tetapi pilihan beberapa tahun yang lalu untuk berbecek-becek itu kini telah berbuah. Sejak dua tahun lalu, bisnisnya sudah mempunyai brand sendiri: Roemah Snack Mekarsari, dan malam ini, bisnisnya mulai mengepakkan sayap ke bidang yang lain. Bayangkan, pada sebuah kesaksian seorang supplier, untuk sebuah kue penganan saja, kini sudah memerlukan 3 kuintal bahan baku per hari. Jumlah yang saya yakini dan doakan untuk membesar di masa depan.

Oleh-oleh lain dari pasangan Haris dan Ida adalah melihat bagaimana mereka sukses tumbuh bersama dengan para supplier-nya, para pengusaha usaha kecil menengah (UKM). Tanpa perlu jargon, rupanya Haris dan Ida telah menggerakkan sektor riil.

Jika memang pengin mampir cari oleh-oleh sendiri ke Sidoarjo, gak ada salahnya datang ke Pondok Jati, tak jauh dari pintu tol Sidoarjo. Atau jika tak sempat bisa mampir ke online shoppingnya di sini.

Ah, sungguh banyak oleh-oleh malam ini dari Roemah Snack Mekarsari sebagaimana tema di panggung utama malam itu: Inspiring Your Dream.

It’s true, Ris. You’re inspiring our dream!

[kkpp, 07.05.2011]

Standar
Bisnis, Celoteh Nuha, Kisah Kehidupan, kuliner

Celoteh Nuha: Ayam Kakung

Cerita ini bukan tentang seekor jago yang ayam jantan itu. Meski ‘kakung‘, dalam bahasa Jawa adalah merujuk pada laki-laki. Bukan pula cerita tentang Eyang Kakung, bapak saya yang akrab dipanggil Nuha dengan Kakung, yang punya kegemaran memelihara ayam.

Tetapi ini adalah cerita soal KFC, waralaba ayam goreng yang berasal dari Kentucky, Amerika Serikat.

Kok bisa? Lantas, apa hubungannya dengan judul celotehan Nuha -anak perempuan saya yang September nanti baru genap enam tahun- di atas?

Ini terkait dengan logo KFC yang menggunakan foto Colonel Harland Sanders sebagai penanda mereknya. Bagi Nuha, foto sang pendiri KFC yang lahir 9 September 1890, dipahami sebagai foto eyang kakungnya, bapak saya.

Awalnya, saya dan bundanya Nuha, bingung juga memahaminya waktu setahun lalu, ketika dalam perjalanan mudik ke Jakarta yang melelahkan, Nuha bilang kepengin ‘ayam kakung’. Baru ngeh dan ketawa, saat menunjuk lambang KFC yang terdapat di sebuah kota jalan pantura seraya berkata, “Itu lho Yah, masak ndak tahu fotonya Kakung…”

Hahaha, ada-ada saja. Dengan rambut putih, jenggot dan kacamata, jadi agak mirip juga sih.

Logo KFC (kiri) dan Eyang Kakungnya Nuha (kanan)

Jadilah sejak itu Nuha punya sebutan lain untuk KFC: ayam kakung. Bisa jadi, KFC = Kakung Fried Chicken. Hehehehe.

***

Suatu ketika Nuha yang waktu itu masih TK pernah bilang, “Aku ndak mau makan di ayam kakung lagi”. Bundanya yang senang mendengar hal itu karena berharap putrinya untuk tidak menyukai makanan instan, lantas bertanya, “Kenapa, mbak?”

Nuha lantas menjawab segera, “Ustadzah tadi bilang, uangnya KFC itu dipakai untuk membunuh saudara-saudara di Palestina”.

Sebelum kebingungan menjelaskan kaitan antara KFC dan Palestina secara mudah buat anak berusia lima tahunan, Bundanya ngeles, “Bukannya selama ini yang minta makan di KFC adalah Nuha, bukan? Kapan ayah dan bunda ngajak ke KFC?”

Nuha terdiam. Untuk beberapa waktu kemudian tidak pernah mengajak makan di sana lagi, tetapi sekarang sudah lupa, karena awal Agustus kemarin mulai merengek-rengek lagi, “Ayo Yah, makan di ayam kakung. Aku lapar …”

[kkpp, ramadan 1431 hari kedua, 12.08.2011]

Standar
kuliner

Mbah Jingkrak

Di perusahaan tempat saya kini mencangkul, ada budaya untuk berburu makanan dan atau tempat makan yang enak. Maklum, kesibukan kerjaan yang sering keluar kota terkadang terlihat melelahkan. Tak salah bila kami menempatkan acara berburu makanan dan tempat makanan yang khas sebagai hiburan diantara padatnya pekerjaan.

 

Biasanya kami saling berbagi informasi mengenai tempat buruan. Dari rekomendasi seorang kawan kantor itulah, akhirnya beberapa minggu yang lalu, saat saya berkesempatan untuk melakukan kunjungan dinas ke Madiun, saya mencoba menelusuri informasi tentang Mbah Jingkrak.

 

Semula yang terpikir adalah tempat makan tradisional yang harus nylempit masuk  ke gang. Namun perkiraan saya salah besar. Lokasi Mbah Jingkrak sangat mudah ditemukan. Dari arah Surabaya tinggal mencari lokasi Sri Ratu, salah satu toserba besar di Madiun, dan sebelum Sri Ratu, tinggal belok kiri. Hanya beberapa puluh meter kemudian, lokasi Mbah Jingkrak langsung ketemu di kiri jalan. Tepatnya jaln Kalimantan 18, Madiun.

 

Gedungnya baru dengan penataan tradisional yang asri. Patung seorang nenek dengan pakaian khas Jawa yang menari berjingkrak berdiri tepat sebelum tangga ke lantai dua. Saya biasanya memilih di lantai satu saja yang cukup sejuk karena memang tanpa dinding pembatas. Sehingga hembusan angin cukup menyejukkan suasana. Tersedia pula meeting room di sana.Bila ingin sambil ber-wifi-ria, tinggal beli voucher, tergantung berapa lama Anda ingin berselancar.

Sedangkan menunya adalah khas Jawa yang jarang ditemui di Surabaya. Pengunjung tinggal memilih dan para penyaji telah siap melayani dengan ramah. Tapi hati-hati, menu-menu khas Jawa itu disajikan dengan pedas. Jadi, bila Anda tak menyukai rasa pedas, pastikan Anda bertanya terlebih dulu. Bila tidak, maka siap-siaplah berjingkrak

 

[kkpp, 31.03.08] 

Standar