Zaman masih SMP atau SMA beberapa teman sudah pada merokok. Saya belum. Pertemanan kami ya fine-fine saja. Ya paling kecipratan baunya saja. Kalau ibu nanya, ya saya bilang apa adanya. Percuma, beliau sepertinya punya lie detector untuk sekedar tahu apakah anak lanang-nya berbohong atau tidak, bisa diketahui dalam hitungan detik. Jadi tidak ada masalah kalau pulang ke rumah kemudian bau rokok.

Mulai merokok ketika di ITS, pas semester tiga ketika sudah ada gundul-gundul (angkatan baru) yang bisa dipisuhi. Di jurusan kami, gundul selalu diikutkan Gerak Jalan Mojokerto Surabaya. Semacam tradisi, yang jadi panitianya satu angkatan di atasnya. Seperti biasa latihan gerak jalan itu berkumpul di kantin pusat ITS. Nah, zaman 1994 itu kantin masih jadi sasaran para team SPG rokok. Jenenge arek ITS ya, ketemu SPG, ditawari rokok gratisan ya oke. Jadilah rokok pertama saya adalah rokok yang baru di-launching zaman itu: Djarum Cigarillos. Masih ada yang ingat? Mirip cerutu, tapi ukurannya lebih kecil. Pas, merokok ya kaget, tapi karena di hadapan gundul-gundul ya dikeren-kerenkan.
Begitulah, sejak itu saya jadi merokok. Apalagi kemudian di UK Bridge, tahun 1995, tim ITS yang disponsori Djarum menjadi juara ASEAN Junior. Rokok di UK Bridge tersedia.
Teman-teman yang kenal saya sejak zaman kuliah pasti tahu, seberapa ngepulnya saya merokok. Apalagi yang pernah ke kosan, pasti pernah melihat berbungkus-bungkus rokok saya susun di jendela kamar. Ketika saya berhenti merokok di bulan Juli 2013, sehari saya bisa menghabiskan 3 pak rokok.
Bagaimana bisa berhenti? Saya bertanya itu ke teman-teman cangkrukan di kantin yang dulu juga perokok tapi tiba-tiba bisa berhenti. Danang Sapputra TF91, Dwisetiono M34, juga ke Edo Sinaga TC92. Kata mereka, mau berhenti merokok ya berhenti saja. Saya masih geleng-geleng tak percaya mendengar jawaban mereka. Gak masuk akal, karena saya pernah mencoba berhenti tetapi gagal.
Tetapi akhirnya saya bisa memahami apa yang mereka maksudkan. Mau berhenti merokok, ya berhenti saja. Tidak perlu teori aneh-aneh. Misal diganti substitusi atau malah ikut terapi. Berhenti ya berhenti saja sebagaimana kesadaran dulu mulai merokok ya merokok saja.
Momentum itu ketika Liverpool FC datang ke Indonesia dan bermain di Gelora Bung Karno, Jakarta, Juli 2013. Usai pertandingan, waktu menunggu kawan-kawan Bigreds Surabaya kumpul di bus sebelum balik ke Surabaya, saya melihat pedagang terompet yang jualannya sama sekali tak laku. Kasihan juga. Cuma memang tadi itu sepanjang pertandingan di GBK tradisi nonton bola dengan terompet sebagaimana layaknya nonton sepakbola di Indonesia, sama sekali tidak ada terdengar satu suara terompet pun. Kami hanya nyanyi dan nge-chant yang tak berkesudahan oleh seluruh stadion. Bagaimana bisa, tradisi bisa berubah sedemikian cepat?
Lantas, berpikir singkat, kita bisa selama kita berpikir bisa. Maka jadilah saya niatkan saya berhenti merokok saat itu juga. Jadi biar gampang kalau ditanya, kapan berhenti merokok? Saya bisa menjawab lantang: ketika Liverpool datang ke Jakarta.
Maka, saya umumkanlah pak terakhir Marlboro Black Menthol ke teman-teman di bis: “Rek, iki (pak) rokokku terakhir. Ojok dijaluk yo, arep tak enak-enakno.”
Mereka tertawa tak percaya. Tapi beneran tidak ada yang meminta rokok dari pak rokok itu. Dan hingga kini, itulah pak rokok terakhir saya.
Percayalah, berhenti merokok itu mudah selama kita meyakini bisa untuk berhenti merokok. Belakangan saya tahu dari Ibu, kalau Bapak berhenti merokok ketika saya lahir.
Berhenti merokok itu mudah, hanya soal tekat belaka.
[kkpp, 22.01.2023]
Note:
- Photo by Aviz on Pexels.com

Tinggalkan komentar