Laksamana Sukardi, mantan Menteri di era Presiden Abdurrahman Wahid dan di era Presiden Megawati Soekarnoputri, meluncurkan buku baru di bulan Agustus 2022 yang lalu. Pancasalah, judulnya. Saya termasuk yang dapat kiriman dari penulisnya langsung sebuah buku cetakan pertama yang ditandatangani beliau tertanggal 30 Agustus 2022. Buku tipis, 80 halaman yang ringan untuk dibaca, tetapi berat untuk direnungkan.
Dalam buku itu, Laksamana menyampaikan bahwa Pancasalah adalah lima kesalahan yang jika dibiarkan akan punya kemampuan destruktif atas keberlangsungan Indonesia. Menurut Laksamana yang pernah dinobatkan sebagai Banker of the Year (1993) oleh Majalah SWA, nasib Indonesia sangat dikhawatirkan jika kita tidak mampu menyelesaikan lima kesalahan, yaitu: salah kaprah, salah lihat, salah asuh, salah tafsir dan salah tata kelola. Negara-negara maju yang berpendapatan tinggi bisa maju seperti itu karena tidak memberikan ruang kepada pancasalah.

Bagi Laksamana, salah kaprah didefinisikan sebagai kesalahan yang sangat fatal. Dalam penjelasannya, salah kaprah di sini ada dua kategori, yaitu: pertama, pemimpin negara yang memimpin secara menyimpang, fasis, diktator dan otoriter, menindas rakyat serta rasis. Kedua, adalah pemimpin organisasi non pemerintah yang memaksakan kehendak untuk mengubah dasar konstitusi dan ideologi negara. Sedangkan pancasalah yang kedua adalah salah lihat. Salah lihat adalah kegagalan rakyat mencerna agitasi dan propaganda dari pemimpin politik. Jika rakyat salah lihat, maka celakalah negeri kita karena telah terpilih dari proses demokrasi para pemimpin politik berkualitas buruk.
Salah yang ketiga dan keempat adalah salah asuh dan salah tafsir. Salah asuh yang dimaksudkan Laksamana adalah kesalahan mengajarkan feodalisme, upeti-isme, cukong-isme, dzolimisme, serta egoisme. Kesalahasuhan ini menyebabkan tidak adanya kompetisi, hilangnya produktivitas, serta meniadakan semangat kerja keras. Mereka-mereka yang inovatif dan pekerja keras akan terpinggirkan oleh budaya menyembah atasan, mereka-mereka akan tersingkirkan dari persaingan karena menolak memberikan upeti serta terlibat relasi jahat penguasa dan pengusaha. Sedangkan salah tafsir, adalah penegakan hukum yang penafsiran atas hukumnya tergantung kepada siapa yang memperjualbelikannya.
Bagaimana dengan salah yang kelima, yaitu salah tata kelola? Dahlan Iskan, Menteri di pos yang sama dengan Laksamana yaitu Menteri BUMN, tetapi berbeda era setelahnya, menyoroti poin kelima dari pancasalah-nya Laksamana melalui Catatan Harian Dahlan yang berjudul “Pancasalah Laksamana” (25/08/22). Dahlan malah menggarisbawahi pernyataan Laksamana -di catatan itu Dahlan melukiskan Laksamana sebagai pendahulu yang tak pernah bertemu muka, karena meski sebagai pendahulu Menteri BUMN, Laksamana tak pernah datang memenuhi undangan Dahlan ke acara kementerian- tentang bagaimana ia setuju jika salah tata kelola sampai perlu dipertegas. Laksamana lebih memilih ‘salah tata kelola’ bukan sekedar ‘salah kelola’. Dahlan rupanya menyetujui, salah tata kelola bakal menimbulkan kerusakan yang jauh lebih destruktif dibandingkan salah kelola. Keduanya, Laksamana dan Dahlan mungkin menangkap benang merah yang sama saat keduanya sama-sama mengurus perusahaan-perusahaan plat merah yang telah salah tata kelolanya.
Menurut Laksamana, tata kelola yang baik memiliki ciri yaitu tidak adanya pihak yang membuat peraturan untuk dirinya sendiri dan mengawasi dirinya sendiri. Ilustrasi tata kelola yang baik adalah seperti kisah seorang ibu yang punya seorang anak kandung dan seorang anak tiri. Ibu itu tidak akan bisa (dianggap) adil kalau membagi satu pisang untuk dua anak itu. Maka sebaiknya sang ibu jangan diberi tugas membagi pisang tadi. Harusnya orang lain yang memotong pisang itu. Yaitu orang yang tidak ada kepentingan apa pun dengan anak kandung dan anak tiri tadi. Kalau pun tidak bisa menemukan orang yang tidak ada kepentingan, maka bisa saja salah satu dari anak itu yang harus memotong pisang, tetapi anak satunya yang harus diberi hak memilih lebih dulu. Dengan demikian yang memotong pisang akan lebih hati-hati. Kalau memotongnya besar sebelah, maka potongan yang lebih besar akan diambil oleh yang lebih dulu memilih. Jadilah yang memotong akan rugi sendiri.
Idealnya, tata kelola haruslah baik. Sehingga kalau ada penyelewengan dalam pengelolaannya bisa dikembalikan merujuk ke tata kelola yang baik tersebut. Di buku pancasalah itu, suatu negara belum bisa maju bisa dilihat dari tata kelolanya. Misalnya dalam hal demokrasi. Bagaimana bisa peraturan yang menyangkut partai, diputuskan sendiri oleh DPR yang dikendalikan oleh partai. Itu sama saja dengan kisah ibu dengan anak kandung dan anak tiri tadi yang membagi pisang, tapi sang ibu yang memotong pisangnya, sang ibu pula yang memilihkan dan yang membagikannya.
Dahlan Iskan menutup catatannya tentang salah tata kelola tadi, dengan menulis begini: “Tata kelola seperti itulah (seperti ilustrasi seorang ibu tiri yang mebagi pisang yang akan dibagai ke anak kandung dan anak tirinya) yang sekarang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Justru karena mengelolanya sungguh-sungguh maka tata kelola yang salah tadi, salahnya menjadi sungguh-sungguh salah. Dan peristiwa Duren Tiga adalah contoh lain salah tata kelola yang dikelola dengan sebaik-baiknya. Karena itu hasilnya, salahnya, juga luar biasa.”
Berbeda dengan Dahlan Iskan yang menulis tentang poin kelima dari pancasalah, saya ingin menyoroti poin pertama pancasalah. Salah kaprah. Laksamana mendefinisikan salah kaprah sebagai kesalahan yang sangat fatal. Bagi saya, itu salah. Salah kaprah bukanlah kesalahan yang sangat fatal melainkan kesalahan yang karena seringnya dilakukan jadi terasa benar.
Jadi yang saya permasalahkan bukan penjelasan atas salah kaprah tadi tetapi atas penggunaan istilah ‘salah kaprah’-nya. Untuk penjelasan salah kaprah versi Laksamana, dari kedua kategori tadi saya malah sepakat bahwa kedua hal yang disebutkan memang akan mengancam kemajuan Indonesia serta bisa jadi membuyarkan Indonesia sebagaimana negara-negara gagal yang disebutkan oleh Laksamana di buku itu: Yaman, Suriah, Libya, Irak, Somalia, Korea Utara serta Lebanon.
Sebaiknya Laksamana mencari pengganti yang lebih tepat selain menggunakan ‘salah kaprah’ di pancasalah-nya. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah kaprah adalah kesalahan yang karena seringnya dilakukan jadi terasa benar. Salah satu contoh salah kaprah adalah penggunaan kata ‘dirgahayu’. Arti sebenarnya dari dirgahayu adalah ‘panjang umur’ dan bukan ‘selamat ulang tahun’. Tetapi karena ‘salah kaprah’, masih sering kita temui penggunaan kalimat: Dirgahayu TNI ke-77, misalnya. Penggunaan seperti itu salah, tapi karena banyak yang menggunakan jadi terasa benar.
Contoh salah kaprah lainnya adalah orang merasa tidak perlu menggunakan helm ketika mengenakan peci/songkok ketika hendak berangkat ke tempat ibadah dengan mengendarai kendaraan roda dua. Padahal secara peraturan, Undang-undang Lalu Lintas mengatur ya mestinya tetap pakai helm. Tetapi karena umumnya melakukan seperti itu, jadi terasa benar. Itulah salah kaprah.
Contoh lain salah kaprah adalah ‘pitch invasion’ seperti kejadian yang ‘diduga’mengawali Tragedi Kanjuruhan yang memakan korban jiwa sedemikian besar hari Sabtu (1/10) yang lalu. Dari banyak perspektif, pertandingan Arema-Persebaya berjalan lancar meski pihak tuan rumah harus kalah 2-3, kekalahan kandang pertama sejak 23 tahun. Tentu kekalahan yang menyesakkan. Kalah dari rival, kalah di kandang, setelah 23 tahun pula. Malam itu suporter banyak yang masih bertahan di dalam stadion, kemudian tersulut ketika ada suporter yang berhasil melompati pagar dan memasuki lapangan pertandingan. Satu berhasil masuk ke lapangan, disusul oleh hampir tiga ribuan suporter yang lain ikut masuk ke lapangan. Pitch invasion!! Polisi panik. Tembakan gas air mata ditembakkan ke suporter termasuk yang juga ada di tribun penonton. Yang di tribun ikutan panik. Gas air mata yang memang didesain untuk membuyarkan kerumunan masa dengan membuat panik, tak ayal membuat siapa saja semburat. Tak ayal, korban berjatuhan hingga ratusan dan menempatkan Kanjuruhan menjadi duka seluruh dunia. Kanjuruhan mendunia tapi dengan cara yang tak disangka-sangka dan banjir air mata dan duka.
Sebenarnya, tidak ada yang membenarkan serbuan ke lapangan. Pitch invasion ini terlarang. Bisa dikenai hukuman mulai denda, pelakunya dilarang untuk masuk ke stadion lagi seumur hidup, hingga hukuman penjara. Di Inggris bahkan menjadi bagian dari Undang-undang. Sementara di PSSI pun juga sudah ada klausulnya. Lantas mengapa masih saja ada suporter yang melakukannya?
Biasanya pitch invasion dilakukan oleh suporter yang merayakan sesuatu, atau melakukan protes atas sesuatu, atau melakukannya demi ketenaran pribadi sang pelaku atau bisa juga untuk mengkampanyekan sesuatu isu-isu tertentu. Tidak hanya di sepakbola, di olahraga lainnya juga pernah ada kejadian yang serupa. Baseball dan basket di Amerika juga pernah terjadi. Lantas mengapa pitch invasion ini terlarang? Alasan utama tentu saja adalah alasan keamanan. Pemain ataupun perangkat pertandingan rentan menjadi korban ketidakpuasan, kekecewaan, serta kemarahan penonton. Bayangkan, jika pelaku pitch invasion tak hanya satu orang saja tapi ribuan, pasti kerusuhan bagai menunggu api di lintasan yang penuh dengan minyak.
Begitulah. Pitch invasion adalah perilaku yang salah, tetapi karena kemudian banyak yang melakukan dan tidak ada hukuman yang membuat jera, jadilah pitch invasion adalah salah satu contoh tentang apa itu salah kaprah di negeri kita.
Sebagaimana esai Laksamana tentang Pancasalah, sepertinya saya sepakat jika pancasalah juga berlaku tak hanya buat Indonesia tetapi juga di sepakbola Indonesia. Cukup kena tiga dari lima saja kita sudah tak berdaya. Bukankah sepakbola kita juga susah maju jika kita masih salah kaprah memperlakukan suporter, juga jika kita salah asuh membina pemain-pemain bertalenta kita, serta jika organisasi PSSI dan kepolisian salah tata kelola-nya?
[kkpp, 05.10.2022]