Arema, Aremania, Indonesiana, Kisah Kehidupan, Sepakbola

Hari Minggu Pertama Oktober yang Kelabu

Sudah lupa rasanya saya nonton Liga Indonesia sejak saya memutuskan untuk apatis bertahun-tahun yang lalu saat PSSI masih dinahkodai Nurdin Halid. Nahkoda boleh berganti-ganti, penumpang gelap tetaplah sama saja. Jadi buat apa mengharap sesuatu hasilnya berbeda dari proses yang tetap sama. Ya kan?

Tapi tadi pagi beda (2/10).

Berita duka tentang banyaknya korban yang meninggal saat nonton bola, dan banyak di antaranya adalah anak-anak membawa ingatan saya ke momen saat pertama kalinya saya diperbolehkan Ibu untuk nonton Arema di Stadion Gajayana. Sendiri. Tanpa Bapak. Tanpa teman barengan. Waktu itu saya masih SMP. Awalnya ketertarikan saya itu karena melihat betapa serunya ribuan suporter yang jalan kaki melintas depan rumah usai menonton di stadion. Sepertinya seru juga ya membayangkan Singgih Pitono dengan gondesnya merayakan gol kemenangan.

Jadilah saya berkeinginan untuk larut dalam euforia itu. Dan sebagai anak SMP yang baik, saya minta ijin dong ke Ibu untuk ikutan nonton juga. Saya pikir bakal ditolak, tapi malah diijinkan, asal bawa payung biar kalau nonton tidak kehujanan. Demi mendapatkan ijin, diiyain aja. Mungkin bagi beliau, payung itu mewakili harapan bahwa saay pulang dengan tetap sehat serta mengurangi was-was yang beliau rasakan. Sementara dalam hati, saya cuma membatin, bukannya kalau pakai payung, yang di belakang jadi terhalang menonton bukan? Sesampainya di stadion dan beneran hujan, payung itu sungguh tak berguna. Lha lebih seru menonton sepakbola sambil berhujan-hujan. Di pertandingan berikutnya, biar tetap diijinkan, saya membawa jas hujan yang saya culik dari vespa Bapak.

Ijin Ibu buat saya sungguh berarti meski itu diwakili oleh payung dan jas hujan. Restu buat sang anak yang diharapkan mendapatkan kesenangan dengan mendukung tim kesayangan dan tentu saja diharapkan pulang dengan selamat. Tapi apa yang didapatkan Ibu waktu itu, tak didapat dari ibu-ibu yang mengijinkan anaknya nonton Arema-Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Sabtu malam di hari pertama bulan Oktober. Ratusan ibu-ibu tak lagi bertemu dengan anak-anaknya yang pamit untuk pergi nonton bola. Mata saya panas dan basah. Tercekat, pagi itu segera saya telpon Ibu.

“Kowe gak popo le? Kok suaramu serak opo ndredheg?

“Mboten nopo-nopo bu. Kalih nyetir niki.” Obrolan berlanjut di Minggu pagi ngalor ngidul kemana-mana. Sambil mendengarkan ibu dhawuh saya tak sanggup membayangkan bagaimana sedihnya ibu-ibu yang karena tragedi Kanjuruhan tadi malam membuat pagi ini mereka telah kehilangan kesayangan. Tak sanggup membayangkan ibu-ibu itu terisak bertanya siapa yang bertanggung jawab atas bencana ini. Mana ada nyali kita menghibur ibu-ibu itu untuk ikhlas dan bersabar menanti keadilan.

Duka dan airmata tak berkesudahan. Sepanjang siang hingga malam. Seperti mendung dan hujan yang datang tiba-tiba tercurahkan beberapa hari belakangan. Kemarahan tak tahu mesti dilampiaskan ke siapa. Apakah kepada kita yang tak pernah bisa belajar dari kejadian. Atau kepada pejabat kita yang tak pernah malu dan mau mengaku salah serta bertanggung jawab. Atau kepada kita yang tak pernah menghargai manusia selain sebagai angka semata.

Siapa yang menjamin, tak kan lagi ada ibu-ibu yang kehilangan anaknya saat pamit nonton bola?

[kkpp, 02.10.2022]

Standar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s