Semalam (19/6) ketika ketiban sampur menjadi moderator diskusi rutin Kelompok Kajian Jumat Malam (K-JAM, tentang aktivitasnya bisa baca di sini), saya diingatkan akan sebuah kata yang nyaris terlupakan: pagebluk. Bang Teddy Wibisina yang malam itu menjadi pembicara tamu, menyampaikan materi tentang kesiapan kesediaan pasokan obat dan APD (alat pelindung diri, banyak yang sering kepleset jadi ADP, inisial artis yang mestinya layak jadi maestro tapi sayangnya malah kepleset jadi artis fenomenal, eh … ) menghadapi pandemik Covid-19.
Tetapi sebagaimana pembahasan tiap Diskusi K-JAM yang hanya menampilkan satu pembicara tamu saja, kesempatan ngobrol ngalor ngidur bali ngulon terasa lebih mengasyikkan. Termasuk kemudian melebar hingga menyebut kata pagebluk. Kata Bang Teddy, mestinya kita lebih menggunakan istilah-istilah yang lebih bisa diterima masyarakat daripada dengan menjejalkan istilah-istilah baru. Pagebluk misalnya, lebih bisa diterima daripada istilah pandemik. Kebiasaan baru misalnya, lebih bisa diterima daripada istilah new normal.
Pagebluk sendiri adalah kata serapan. Diambil dari bahasa Jawa, kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikannya sebagai
pagebluk/pa·geb·luk/ Jw n wabah (penyakit); epidemi
Sementara pandemik sendiri juga sudah diserap menjadi bahasa Indonesia. KBBI mencatat:
pandemik/pan·de·mik/ /pandémik/ Dok 1 a tersebar luas (tentang penyakit) di suatu kawasan, benua, atau di seluruh dunia; 2 n penyakit epidemik yang tersebar luas
Kedua kata sama-sama unsur serapan. Yang satu dari bahasa Jawa, yang satu dari bahasa Inggris. Bisa juga sebenarnya menggunakan kata ketiga: wabah.
wabah/wa·bah/ n penyakit menular yang berjangkit dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas (seperti wabah cacar, disentri, kolera); epidemi;
Tak ada salahnya menggunakan salah satu dari ketiga kata tadi. Ketiganya sudah ada di KBBI. Tapi memang dari segi ketepatan strategi komunikasi bisa jadi penggunaanya bisa berbeda hasil.
Saya setuju dengan Bang Teddy. Menggunakan kata pagebluk kali ini bisa saja lebih tepat sasaran. Pagebluk (kalau di bahasa Jawa dituliskan dengan menggunakan huruf ‘g’) lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas dibandingkan dengan penggunaan kata-kata keminggris. Di alam bawah sadar masyarakat, menggunakan kata pagebluk langsung menyalakan saklar kewaspadaan. Menggunakan kata-kata keminggris justru memunculkan antipati bahwa problem itu adalah milik kelas sosial yang paham artinya. Menjelaskan istilah baru tentu lebih makan waktu. Jadi yang jangan disalahkan jika kemudian masyarakat tak lekas waspada. Apalagi tanpa keteladanan kepemimpinan dibumbui dengan derasnya arus informasi yang untuk memilahnya saja, tak semua orang punya keterampilan.
Tentang pagebluk dan ritus penolak bala, Etnis menuliskan,
Bagi masyarakat Jawa, pageblug memang menakutkan, tapi tetap memberi mereka kesadaran dan kemawasan diri lewat laku ruwatan. Bagaimanapun juga, pageblug tidak hanya dapat dilawan dengan obat-obatan, tetapi juga “siraman spiritual” sebagai bekal menjaga batin tetap kuat.
Ruwatan-ruwatan itu menjelma tidak saja sebagai laku religius ala orang Jawa, tetapi berpendar menjadi “pertunjukan” yang menghibur, bahkan tidak jarang membuat tertawa (lakon wayang: gara-gara). Hal itu menjadi semacam oase yang menyejukkan di tengah gersang dan panasnya kemelut berita tentang Covid-19.
Salah satu laku ruwatan itu sempat saya diskusikan dengan Ibu via whatsapp di bulan akhir Maret ketika saya nemu meme di satu whatsapp group. Lha, gimana, ruwatan yang saya baca itu terkait dengan masakan dan ada salah satunya saya gak ngerti.

Apakah kemudian laku ruwatan tolak bala itu membuat kita keluar dari situasi wabah ini? Rasanya sih kini lebih banyak yang menyepelekannya. Apalagi ruwatan-ruwatan semacam itu kini lebih dianggap tak ilmiah selain juga sebagai tahayul yang dibenturkan dengan dogma agama, juga ruwatan-ruwatan itu dikecilkan perannya karena dianggap hanya sebagai obyek wisata semata.
Tawaran saya, bagaimana jika kita menggunakan ruwatan-ruwatan itu dengan laku yang berbeda? Menggunakan pagebluk sebagai penanda alarm bahwa ada kekuatan bahaya besar dari tangan tak kasat mata yang sedang mengancam dan membahayakan eksistensi manusia. Menggunakan laku ruwatan dengan kacamata kebiasaan baru: memotong rantai penyebaran dengan tidak mementingkan keinginan diri sendiri, menghindari kerumunan, menggunakan alat pelindung diri ketika kita terpaksa harus berinteraksi, mencuci tangan dan mengganti baju ketika usai berinteraksi dengan kerumunan serta tentu saja berdoa kepada Sang Maha Kuasa agar para tenaga kesehatan yang makin kewalahan dari hari ke hari karena jumlah pasien dalam perawatan meningkat diberikan kekuatan dan kebersamaan menolong mereka yang sudah terinfeksi menjadi sembuh kembali.
[kkpp, 20.06.2020]
Ping-balik: Catatan tentang Corona: Pagebluk - K-JAM