Hajatan demokrasi kali ini, tanggal 9 April 2014 hanya menunggu jam. Di kompleks perumahan saya, terop sudah terpasang di tempat yang sudah direncanakan sejak sehari sebelumnya. Undangan pun sudah sampai. Akankah saya datang untuk mencelupkan jari dengan tinta? Rasanya iya, meski harus diakui saya belum mempunyai referensi untuk semua hak yang didapat besok: memilih anggota DPD, DPR RI, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten. Ya bukan nol puthul sih, tapi setidaknya fifty-fifty lah … Sudah ada yang terang benderang, tetapi sebagian masih gelap gulita.
Datang atau tidak sih sebenarnya adalah hak. Tidak ada urusannya dengan mereka yang kemudian menaikkan level dari hak menjadi kewajiban. Menjadi berlebihan seandainya menghubungkan hak tersebut dengan kesempatan kerja dan karier, atau malah super keterlaluan jika hak tersebut sekonyong-konyong dihubungkan dengan sorga dan neraka. Tetapi kisah tersebut sungguh ada dan nyata adanya. Konyol.
Pemilu tahun 1997, saya mengambil sikap untuk tidak memilih dan terlibat pemilihan tersebut. Masih ingat betul, saya gundul plonthos pada waktu itu. Seumur-umur saya plonthos, yang pertama pas lahiran (cerita Bapak dan Ibu sih) dan kedua kalinya pas jadi mahasiswa baru ITS, yang ketiga ya tahun 1997 tersebut sebagai cermin ke-golput-an saya. Untunglah, Bapak saya bukan pegawai negeri ataupun tentara, yang bakal gundah gulana seandainya ada keluarganya yang tiba-tiba tidak menggunakan hak suaranya. Jaman segitu, banyak teman yang dengan terpaksa untuk pulang ke kampung halaman demi menyenangkan orang tua yang diancam rezim sekian puluh tahun.
Golput di era Orde Baru masih merupakan bentuk pembangkangan atas sistem yang dianggap tidak demokratis. Tetapi saat ini, golput adalah segala hal yang berarti tidak turut serta dalam proses pemilu. Sebagian kecil yang dikarenakan pembangkangan, sebagian yang lain karena skeptis, sebagian yang lain karena kehilangan hak karena masalah administratif, sebagian yang lain karena tidak mau tahu dan tidak ingin tahu dalam proses demokrasi tersebut. Sebagian yang lain karena bingung karena berkembangnya banyak pilihan. Jaman Orde Baru hanya ada tiga pilihan, kini menjadi sedemikian banyaknya.
Ya, mau memilih atau tidak adalah sepenuhnya hak kita semua. Mau meluangkan waktu sejenak ke TPS (tempat pemungutan suara) atau langsung berlibur dengan keluarga adalah hak kita semua.
Tetapi hanya dengan pemilihan umum inilah mekanisme untuk meregenerasi kepemimpinan nasional. Kapan lagi kalau bukan sekarang. Memang bukan pilihan untuk memilih presiden yang baru, tetapi hanya memilih parlemen. Tetapi kekuatan parlemen ini juga akan mempengaruhi peta kepemimpinan nasional, karena konstitusi mensyaratkan hanya partai dengan perolehan sekian persen yang berhak mengajukan calon presidennya.
Ya, kapan lagi kalau bukan sekarang, saat tepat memilih mereka yang bisa duduk di lembaga yang bertugas menentukan semua peraturan. Mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah. Jika yang terpilih adalah mereka yang tidak kompeten, walhasil produk peraturan yang dihasilkannya pun juga bakal acakadul.
Tetapi memilih begitu saja bukan hal yang mudah. Kita masih sering terpukau oleh halo efek (soal halo efek, bisa dibaca di sini). Kita juga bangsa pemaaf yang segera saja melupakan masa lalu dan melupakan rekam jejak dari seseorang pun partai peserta pemilu. Ya, kita masih sering terpesona oleh janji palsu, penampakan citra, serta beberapa kesamaan dengan sang calon. Kita masih harus belajar memilih dengan obyektif. Jangankan untuk pemilu, untuk ajang pencarian bakat menyanyi saja kita masih mengedepankan penampilan serta asal daerah sang peserta dibandingkan dengan kualitas olah vokal sang peserta.
Ya, mau memilih atau tidak adalah sepenuhnya hak kita semua. Tidak ada yang salah. Mau meluangkan waktu sejenak ke TPS (tempat pemungutan suara) atau langsung berlibur dengan keluarga adalah hak kita semua.
Tetapi inilah saat yang tepat untuk menghukum para petahana (incumbent) dan menguji calon yang sama sekali baru. Jika Anda termasuk yang kecewa dengan kinerja para petahana, jangan sekali-kali dipilih kembali. Bagaimana bisa mengharapkan sebuah perubahan jika orang-orangnya masih itu-itu saja. Layaknya pemilik klub yang kecewa atas kinerja klub di klasemen liga, manajer tim bisa kapan saja dipecat. Ya karena kitalah pemilik klub Republik Indonesia, kitalah yang secara bersama-sama menentukan mau bagaimana nasib republik ini ke depan.
Selamat memilih, Indonesia.
[kkpp, 09.04.2014]
pilih yang paling tahu diri bukan yang tahu banyak nanti malah bingung
SukaSuka