Indonesiana, Islam

Berlomba dalam Kebajikan

Semalam (4/8), penceramah sholat tarawih menyampaikan bahwasanya jelang akhir Ramadhan semacam tadi malam ada dua bahasan yang sering dijadikan topik: pertama soal malam Qadr dan yang kedua adalah tentang zakat.

Tentang hal yang pertama, beliau menyampaikan pertama bahwasanya tak perlu lagi mempermasalahkan kapan tepatnya malam Qadr akan jatuh: pada malam genap atau ganjil. Apalagi pada Ramadhan 1434 ini ganjil-genap menjadi tidak relevan lagi. Sebagian ada yang meyakini jika malam ini adalah genap sementara yang lain meyakini malam ini adalah malam ganjil. Begitu sebaliknya. (Soal ganjil-genap terkait beda awal Ramadhan, bisa baca juga di sini). Maka, saya manggut-manggut saja saat penceramah menawarkan solusinya adalah semata-mata memperbanyak amalan selama sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Tentang hal yang kedua, beliau menyampaikan keresahan beliau tentang sedikitnya zakat yang bisa terhimpun. Sayangnya, penyampaian secara ringkas tak banyak menyajikan data. Maklum karena sifat ceramahnya hanyalah ringkas-ringkas saja sembari menunggu pelaksanaan tarawih. Keresahan beliau hanya didasarkan pada perbandingan besaran antara zakat fitrah dengan besaran pajak, juga besaran batas minimal wajib zakat maal yang nilainya terlalu besar bagi pendapatan rata-rata masyarakat muslim Indonesia.

***

Terkait zakat yang kebetulan tadi malam juga menjadi bahasan, beberapa hari terakhir saya juga kepikiran untuk menuliskannya di blog ini. Bukan tentang kesadaran bahwa zakat sebagai salah satu ritual ibadah wajib, bukan pula tentang besarannya dan macam-macamnya. Melainkan tentang banyaknya spanduk dan baliho dari lembaga pengelola zakat yang betebaran sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor. Malah, pas kemarin pulang ke Malang, ada salah satu lembaga pengelola zakat memasang iklan besar melintang di jalan.

Pertanyaannya berawal sederhana: sedemikian perlunya kah berebut wajib zakat, sampai-sampai para lembaga pengelola zakat saling adu iklan? Pertanyaan yang kemudian beranak pinak sedemikian rupa tentang pengelolanya: Amil Zakat.

***

Sebagai sebuah ritual dan aksi sosial, kemana selama ini kita menyalurkan kewajiban zakat kita? Melalui Badan Amil Zakat, atau melalui Lembaga Amil Zakat, atau melalui Panitia Zakat di masjid terdekat atau Panitia Zakat di sekolah-sekolah anak kita? Atau, menyalurkan sendiri kepada para mustahik?

Jika Anda mempercayakan kepada Amil Zakat, entah yang berbentuk Badan, Lembaga pun Panitia, pernahkah kita mengecek apakah zakat kita sampai pada tangan yang berhak menerimanya? Atau sekedar percaya, bahwa amil zakat pasti menunaikan amanahnya? Jika iya, setelah bertahun-tahun kita menunaikan ibadah zakat, sejauh mana implikasinya padanya kemiskinan umat? Bagaimana cara mengukur kinerja dan efektifitas zakat kita?  Bagaimana cara mengukur kinerja dan efektifitas amil zakat kita?

Omong-omong, eh, tahu gak sih kita beda antara Badan Amil Zakat dengan Lembaga Amil Zakat serta dengan Panitia Amil Zakat? Mengapa kemudian kita memilih salah satu diantaranya dibandingkan dengan yang lain? Karena faktor kedekatan (geografis pun ideologis), atau karena kesesuaian program dengan tujuan yang kita inginkan, atau karena  kemudahan cara pembayaran? Pernahkah kita memperbandingkan satu dengan yang lain? Pernah mendengar rating pengelola zakat?

Atau daripada bingung, adakah di antara kita yang kemudian memilih untuk membayar zakat ke beberapa lembaga pengelola sehingga besaran nominal juga menjadi lebih kecil jika disalurkan ke satu saja lembaga pengelola?

Pedulikah kita bahwasanya zakat ini sudah diundang-undangkan? Pedulikah kita berapa besar dana yang bisa dihimpun oleh zakat ini pertahunnya? Tahukah kita zakat ini ternyata bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak? Adakah yang melampirkan bukti setor zakat sebagai pengurang laporan pajak tahunan kita?

***

Lantas, balik ke pertanyaan induk, masih efektifkah iklan-iklan, spanduk-spanduk, baliho-baliho dari para lembaga pengelola zakat bagi keputusan kita menyalurkan zakat akan menggunakan lembaga pengelola zakat yang mana?

Saya sih menganggapnya sebagai sebuah perlombaan. Ya, (semata) perlombaan mengingatkan untuk berbuat kebajikan. Semakin banyak iklan untuk berzakat, semakin banyak peserta lomba berbuat kebajikan.

[kkpp, 05.08.2013]

Standar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s