Lambat laun kita, umat muslim Indonesia, mulai terbiasa dengan memulai Ramadhan ataupun mengakhirinya dengan tidak bersama dalam satu hari. Seperti tahun ini misalnya (2013M/1434H), penamaannya sih sama-sama 1 Ramadhan, tetapi ada yang memulai 1 Ramadhan di hari Selasa (9/7) dan ada yang memulai di hari Rabu (10/7). Sebuah kejadian yang juga terjadi beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya. Berkali-kali, hingga tak terasa kita kemudian terbiasa.
Iseng-iseng kemarin saya menemukan catatan menarik yang ditulis oleh Abdul Rachman, peneliti di bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN. Dari salah satu file yang bisa diunduh di sini, apa yang terjadi pada Ramadhan kali ini sudah bisa diprediksikan sejak dua tahun yang lalu sejak catatan itu di-posting-kan. Bahkan kejadian serupa dimungkinkan akan terjadi juga di Ramadhan tahun depan.
Interesting! Sebuah catatan yang sangat menarik karena sebenarnya secara ilmiah, kita, umat Islam Indonesia (lagi!), telah mempunyai kemampuan untuk menghitung posisi matahari dan bulan yang digunakan sebagai dasar waktu pelaksanaan ibadahnya. Bahkan, bisa juga digunakan untuk memprediksikan kemungkinan terjadinya perbedaan pelaksanaan di masa-masa yang akan datang dengan mempertimbangkan kriteria ataupun metode penghitungan yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam. Prediksi itu pun telah terbukti.
Lantas, seberapa penting catatan itu? Seberapa penting keperluan bagi umat Islam Indonesia mempertahankan perbedaan atau pun juga menyamakan waktu pelaksanaan ibadah dengan mempunyai satu kalender Islam Indonesia?
Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2007 telah berupaya untuk mencari jalan keluar atas perbedaan penetapan kalender Islam tersebut dengan mengundang ormas-ormas Islam. Namun enam tahun dari masa itu, perbedaan penetapan satu kalender Islam Indonesia belum menemukan titik temunya. Begitu halnya Majelis Ulama Indonesia sejak tahun 2004 telah memfatwa-wajibkan untuk mengikuti ketetapan pemerintah, sebaliknya rupanya bertahun-tahun umat memilih ketetapan yang diambil oleh ormasnya.
Ada yang salah? Tidak ada. Karena masing-masing pihak mempunyai dalil masing-masing. Dan karenanya pula sebaiknya kita membiasakan diri dengan perbedaan itu. Seperti yang saya tulis di awal, lama-lama toh terbiasa juga.
Tetapi, banyak umat yang merasa lega jika menemui suatu masa yang awal Ramadhan dan Syawal-nya ‘kebetulan’ jatuh bersamaan di hari yang sama. Lega, karena syiar Islam dengan perayaankemenangan di bulan Ramadhan dengan menunaikan sholat Id ke jalan-jalan dirayakan oleh seluruh umat tanpa terpisah hari. Lega, karena tak perlu lagi sungkan dengan tetangga untuk ber-Idul Fitri, padahal tetangga masih puasa. Lega, karena tak perlu lagi merasa minder karena merasa sebagai umat mayoritas menentukan kalender saja berselisih. Sayangnya tak banyak yang menyadari jika kebetulan jatuh di hari yang sama itu ditentukan oleh perbedaan kriteria dan metode. Kelegaan yang sementara.
Mencari satu kalender hijriah bagi umat Islam Indonesia, menurut Abdul Rachman (bisa baca di sini), masih bisa diupayakan asalkan perdebatan dalil mana yang paling sahih diakhiri dan selanjutnya perdebatan adalah dalam upaya menetapkan kriteria yang sama yang bisa diterima oleh kesemua dalil. Tanpa upaya menetapkan kriteria yang sama, perbedaan waktu pelaksanaan ibadah akan senantiasa berulang. Sidang itsbat hanyalah kesia-siaan.
[kkpp, 10.07.2013]
Sila mampir juga ke:
Ping-balik: Trettettet BIGREDS Surabaya 2013: Perjalanan | Kepingan Kakap Paling Pojok
Ping-balik: Berlomba dalam Kebajikan | Kepingan Kakap Paling Pojok