Perlunya penggunaan bahan bakar minyak (bbm) bagi kehidupan sehari-hari kita, memang tidak dapat dipungkiri. Saking pentingnya, negara mengambil peran utama untuk penggunaan bbm tersebut. Sayangnya, akhir-akhir ini sepertinya penyelenggara negara tergagap bagaimana mengurusinya. Sebagaimana dilansir VOANews.com (baca di sini), institusi-institusi terkait malah terlihat berbeda sikap menanggapi subsidi bbm yang besarannya kian membebani anggaran negara.
Bagaimanapun, menaikkan harga bbm dianggap bukan opsi karena sama sekali bukan isu yang populis. Bagi penganut madzab pencitraan, isu tidak populis haruslah disingkirkan jauh-jauh. Sebagaimana penganut genre ‘anak gaul’, tampil dengan dandanan konvensional juga harus disingkirkan jauh-jauh.
Kembali ke soal kegagapan tadi, beberapa hari terakhir, kita malah dicekoki berita bahwa penggunaan premium bagi kalangan mampu diseret ke hal yang halal-haram. Terlepas mana yang bener, apakah si wartawan yang lebay dalam mengutip seorang kyai di Majelis Ulama Indonesia, atau memang benar ada upaya dari penyelenggara negara untuk melibatkan lembaga keagamaan agar umat lebih mempercayai upaya penyelenggara negara tersebut.
Entahlah. Tetapi jika benar yang kedua, maka benar-benar sang penyelenggara negara tak mampu mengelola bbm kita. Setelah beredarnya spanduk himbauan tentang premium adalah diperuntukkan bagi kalangan yang tidak mampu yang dipasang di berbagai SPBU, –tetapi sebagaimana biasa, kita tak cukup sekedar dihimbau–. Entah mengapa, kemudian malah melibatkan polemik dengan lembaga keagamaan.
Kita mungkin bertanya, dimana sebenarnya fungsi kementrian ESDM? Tidak adakah arahan yang lebih konsepsional? Bagaimana juga fungsi PERTAMINA, badan usaha milik negara yang ditugasi untuk itu? Sekedar sapi perahan bagi yang mumpung jadi penguasa?
***
Masih ingat Shell? Yang stasiun-stasiun pengisi bahan bakarnya mulai tumbuh di Jakarta Raya dan Jawa Timur untuk menyaingi hegemoni stasiun-stasiun SPBU punya Pertamina?
Shell ini memang perusahaan global berkantor pusat di Belanda dengan berinduk pada Royal Dutch Shell Plc, perusahaan yang berstatus legal di Inggris dan Wales.
Di level SPBU, selama ini Pertamina cukup antisipatif dengan merubah layanannya yang lebih ramah, kepastian takaran, serta adanya fasilitas penunjang di SPBU-nya. Tak salah bila Pertamina masih menjadi pilihan masyarakat. Atau, apakah masyarakat memilih Pertamina semata harganya yang lebih miring daripada Shell, karena masih ada subsidi bagi kalangan tidak mampu? Per awal Juli 2011 misalnya, Shell mematok harga di kisaran Rp. 8,500 per liter untuk kategori super extra di daerah Jakarta Raya, sementara harga Pertamax di kisaran Rp. 8,300 per liter dan premium Rp. 4,500 per liter.
Berdasarkan hasil kinerja yang disetor pada RUPS-nya Juni kemarin, Pertamina telah memprestasikan laba sebesar 16,7 7 trilyun rupiah. Itupun karena ada kerugian di bbm subsidi dan bisnis LPG non subsidi (12 kg dan 50 kg). Keduanya senilai 5,74 trilyun. Andai tidak ada kerugian, Pertamina berharap bisa membukukan laba sebesar 22,51 trilyun.
Di RUPS itu pula, Pertamina mengubah visinya dari semula “Perusahaan Migas Nasional Kelas Dunia” menjadi “Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Dengan perubahan visi ini Pertamina berkomitmen untuk merambah juga untuk mengembangkan energi alternatif serta energi baru dan terbarukan.
Lantas, salahkah bila kemudian membandingkan vis a vis, Pertamina versus Shell? Sama-sama memvisikan dirinya sebagai pemain kelas dunia lho. Pertamina telah beroperasi di 15 negara, Shell beraoperasi di lebih 90 negara.
Pertamina telah berkomitmen untuk mengembangkan energi alternatif dan terbarukan, Shell telah melangkah membuat ajang tahunan yang melibatkan para pelajar dan anak muda dari penjuru dunia, nama event-nya adalah Shell Eco Marathon.
***
Shell Eco Marathon, adalah ajang bagi perguruan tinggi dan siswa sekolah menengah tingkat atas untuk bertarung mendesain, membuat dan mengetes mobil yang paling irit penggunaan bahan bakarnya. Ajang ini diselenggarakan untuk tiga kawasan: Amerika, Eropa dan Asia. Untuk kawasan Eropa, penyelenggaraan tahun 2011 ini adalah penyelenggaraan ke-27 kalinya.
Ada dua kategori yang diperlombakan: kelas Prototype dan juga kelas UrbanConcept. Kedua kategori diikuti oleh 94 team dari 12 negara.
Beda dua kategori tersebut, di kelas UrbanConcept, lebih menitikberatkan pada kendaraan yang dapat digunakan di jalan-jalan. Sedangkan keduanya, bisa menggunakan mesin bakar dalam (internal combustion engine) berbahan bakar gasoline (EN 228), diesel fuel (EN 590), Shell Gas To Liquid (GTL), fatty acid methyl esther (FAME), ethanol E100, juga bisa menggunakan mobil listrik (Hydrogen, Solar, ‘Plug-In’ Electricity).
Untuk kawasan Asia, penyelenggaraan tahun 2011 dilaksanakan di Sirkuit Sepang, Malaysia pada tanggal 6-9 Juli 2011. Di kelas prototype, team dari Thailand memcatat prestasi 2.213,4 km pada penggunaan 1 liter ethanol, setara dari Kuala Lumpur (Malaysia) ke Chiang Mai (Thailand).
Bagaimana dengan anak negeri? Jika team Thailand menjuarai kategori Prototype, justru di kelas UrbanConcept, team adik-adik Mesin ITS menjuarainya dengan membukukan prestasi 149,8 km per liter FAME.
Kebayang pakai satu liter bisa untuk sekian ratus bahkan ribu kilometer? Ngirit kan?
Prestasi yang membanggakan. Sungguh!
Jadi, kalo yang muda saja bisa ngurusin bahan bakar dengan irit, mengapa para pemangku kebijakan soal bbm tidak bisa? Atau biarkan yang muda saja yang urus?
[kkpp, 11.07.2011]
Tok, moga-moga realisasi untuk komersialisasi-nya bisa lancar. Kebanyakan hasil lomba tidak bisa langsung diaplikasikan. Aku dadi penasaran pengen weruh koyok opo seh…. Viva ITS!
SukaSuka
Soal realisasi, entahlah. Tak banyak harap. Jangankan mobil irit, mobil nasional pun yang sudah dicanangkan bertahun-tahun yang lalu juga tak jelas kemana rimbanya. Yang khawatir adalah, teknologi itu kemudian di-adopt oleh pihak asing. Penyelenggaranya mereka, bukan?
SukaSuka