Hal terbesar yang membuat saya tak mengingini Jakarta sebagai homebase saya adalah macet. Padahal di sana ada mertua, serta banyak saudara dan kerabat, apalagi teman dan kawan. Jangan ditanya pula soal peluang kerja dan kesempatan karir. Tetapi itu semua kemudian terpinggirkan semata karena macet.
Karena macet, saya khawatir untuk menjadi tua di jalan. Berangkat lebih awal untuk beraktifitas, pulang lebih larut pula. Tak terbayangkan pula berapa waktu yang tandas untuk produktifitas karena terpenjara di atas roda. Bahkan kesempatan untuk bersilahturahmi dan berjejaring secara nyata adalah sebuah kemewahan tersendiri.
Untuk yang terakhir, beberapa kali upaya untuk mengumpulkan kawan-kawan di Jakarta di sebuah forum, benar-benar sebuah barang langka. Seringkali yang awalnya sudah mengkonfirmasi bisa hadir, ternyata kemudian meng-cancel-nya karena terjebak kemacetan. Atau malah ada yang sedari awal sudah memutuskan tidak bisa karena terbayang lokasi pertemuannya harus dilewati dengan menembus kemacetan.
Pernah memang, suatu saat saya sempat tergoda untuk hijrah ke Jakarta, namun tampaknya saya tidak ingin menambah beban kemacetan yang telah menimbulkan kerugian ekonomis, serta kerugian sosial dan psikis itu. Masih banyak tanah di negeri ini yang bisa dihuni sebagai tanah pengabdian. Mengapa harus Jakarta, pikir saya.
***
Kompas, media cetak nasional terkemuka, beberapa hari terakhir ini menyorot masalah momok yang mengakrabi warga Jakarta ini secara terus menerus di halaman pertamanya. Dalam hati saya turut berharap, upaya Kompas ini dapat menjadi pemicu upaya mengurai kemacetan yang mirip benang kusut.
Gubernur DKI Jakarta yang terpilih melalui proses demokrasi, Fauzi Bowo, tampaknya angkat tangan dengan mengusulkan agar pemerintah pusat lah yang perlu mengadakan perubahan mendasar dalam upaya mengurai kemacetan itu. Perubahan itu menyangkut tiga hal: regulasi, pendanaan, dan sumber daya manusia. “Salah satu yang terpenting adalah regulasi pembatasan kendaraan bermotor,” kata Gubernur (Kompas, 28/7/2010).
Sementara di halaman lain, A Sonny Keraf, pemerhati lingkungan hidup dan sekaligus dosen, mengusulkan terobosan yang lebih radikal dan revolusioner. Terobosan itu ada tiga: (i) memindahkan ibukota, (ii) menyebar kementrian ke penjuru Indonesia, (iii) pembatasan pembangunan di ibukota. Menurutnya, ketiga usul yang radikal tadi adalah hal yang harus dilakukan sembari membenahi transportasi umum serta upaya solusi lain yang bersifat tambal sulam.
***
Mari kita tinjau sedikit usulan dari Sonny Keraf tadi yang terlihat lebih radikal:
Pertama, memindahkan ibukota. Meski pernah diusulkan jaman Presiden Soekarno, tetapi realisasinya adalah sesuatu yang tampak mustahil. Apalagi di negeri penuh komentator ini. Dibutuhkan seorang Kepala Negara yang tak takut akan citra untuk mewujudkannya. Atau bila tidak, malah butuh sekumpulan konsultan pencitraan yang bisa membujuk Presiden bahwa ide ini adalah upaya mengangkat citra.
Usulan ini, bukan saja perlu diwacanakan, tetapi perealisasiannya membutuhkan dana yang luar biasa besar. Tetapi di sisi yang lain, biaya besar yang dikeluarkan dapat memacu lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan baru yang ditetapkan sebagai pengganti ibukota. Usulan ini pun membutuhkan waktu yang lebih panjang. Hal yang dikhawatirkan adalah biaya yang muncul akibat lobby politik dengan DPR, serta biaya yang melonjak atas pembebasan lahan, sebagaimana yang sering tampak pada upaya pembangunan jalan tol misalnya.
Kedua, menyebarkan kementrian ke penjuru Indonesia. Sonny Keraf mencontohkan bahwa tak seperlunya kementrian berkumpul dan terpusat di Jakarta. Misalnya, kementrian Kehutanan bisa di Kalimantan atau Papua, Kelautan dan Perikanan di Ambon, Pendidikan di Yogyakarta, Pariwisata di Denpasar, dan lain sebagainya.
Dengan usulan ini, upaya mendesentralisasikan kantor kementrian, akan memicu kalangan usaha untuk mendekati kantor kementrian yang sebidang. Masuk akal memang. Mari kita berhitung, seberapa banyak sih kalangan usaha level nasional yang kantor utama (head office)-nya tidak di Jakarta? Seberapa banyak sih, kalangan CEO dan managemen level atas yang berkantor tidak di Jakarta? Di Surabaya saja, yang notabene kota terbesar kedua, hanya bisa dihitung jari. Apalagi di kota-kota lain.
Di sisi yang lain, pemindahan kantor kementrian, sekaligus pemindahan kantor utama perusahaan swasta, juga akan men-deurbanisasi puluhan atau ratusan ribu karyawan dari Jakarta ke penjuru nusantara. Nah, tantangan dari usul kedua ini, siapkah para karyawan itu kemudian pindah dari Jakarta ke “daerah”?
Ketiga, pembatasan pembangunan di beberapa bidang. Dibandingkan dua usulan terdahulu, usulan ketiga ini terasa lebih ‘soft’ keradikalannya. Sonny Keraf mengusulkan bahwa di Jakarta terlarang untuk menambah mall, hotel, serta universitas baru.
***
Jadi, mana yang paling mungkin untuk mengurai macet Jakarta?
Baik usulan Pak Gubernur Fauzi Bowo serta Sonny Keraf, keduanya menunjuk kepada pemerintah pusat untuk menginisiasi langkah nyata-nya. Macet, harus diurai oleh keputusan politik Presiden dan kabinet, dengan persetujuan DPR, yang bisa jadi di awal akan terasa pahit bagi warga Jakarta.
Mengurai benang kusut, biasanya memang butuh gunting untuk menyelamatkan sisa benang yang lebih panjang.
(kkpp, 29.07.10)
nb. Baca juga:
Macet – 21 November 2007
negeri ini sudah sedemikian parah sakitnya, mungkin perlu obat yang radikal, menyakitkan tapi mujarab.
sebelum terlambat dan semakin sekarat, kenapa tidak? tapi ada syaratnya, politisi gak boleh terlalu banyak omong hehehe
salam kenal
SukaSuka